Bupati Bogor Nurhayanti: Perlu Duduk Bersama untuk Menata Puncak
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2F20180218ILO-Bupati-Bogor-1.jpg)
Bupati Bogor Nurhayanti
Senin (5/2) sekitar pukul 09.00, bencana tanah longsor terjadi di lima titik di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Seorang pedagang kaki lima tewas, beberapa orang terluka, dan beberapa bangunan ambruk. Pemerintah Kabupaten Bogor memutuskan untuk menutup Jalan Raya Puncak selama 10 hari yang rusak karena tertimpa reruntuhan tanah.
Bencana longsor itu dinilai sebagai akibat dari kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan yang masif di Puncak. Pemerintah Kabupaten Bogor sempat melakukan pembongkaran 239 vila ilegal di Puncak pada akhir 2013. Namun, program itu belum dilanjutkan lagi.
Lalu, langkah apa yang akan dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk merehabilitasi kawasan Puncak dan mengatasi kerusakan lingkungan? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Bupati Bogor Nurhayanti di rumah dinas Bupati Bogor di Cibinong, Selasa (13/2).
Apa yang akan dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk merehabilitasi kawasan Puncak pascabencana longsor?
Kawasan Puncak itu kepadatannya sangat tinggi. Kelihatannya bebannya itu terlalu besar. Terkait bencana kemarin, yang pertama dilakukan adalah tanggap bencana, bagaimana melakukan evakuasi terhadap longsor yang terjadi di Jalan Raya Puncak.
Kemudian juga, Dirjen Binamarga Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) ingin melakukan rehabilitasi longsor dalam waktu 10 hari terhadap daerah yang rawan bencana. Mereka minta bantuan pemerintah daerah untuk merelokasi para PKL yang berdagang di lokasi rawan.
Kebetulan relokasi sudah merupakan program kita karena pemerintah pusat mempunyai program pelebaran (jalan) Puncak dan itu sudah mulai dilakukan dari Gadog sampai belokan Taman Safari. Kemudian yang tahap kedua memang sudah direncanakan, dari persimpangan Taman Safari sampai ke Masjid Atta’awun.
Kami awalnya tidak akan membongkar (PKL) dulu, tapi akan menyiapkan dulu relokasinya. Namun, ini, kan, kondisi darurat. Artinya, saya harus memberikan perasaan aman dan nyaman kepada para pedagang kami. Oleh karena itu, kami sepakat di dalam rapat dengan Dirjen Binamarga tadi untuk melakukan rehabilitasi terhadap lokasi yang kena bencana tadi.
Jadi ada perbaikan-perbaikan dan ke depan akan ada terasering di tebing-tebing itu dan ini perlu ada penataan kembali di jalan itu. Ada pelebaran (jalan) yang akan memakai tanah Gunung Mas, sepanjang itu untuk mengendalikan fungsi Puncak, mengembalikan fungsi Puncak kepada yang lebih baik.
Artinya, pertama juga kita menyadari bahwa kawasan Puncak ini merupakan daerah tujuan wisata, memberikan kontribusi terhadap PAD (pendapatan asli daerah), juga memberikan kontribusi terhadap capaian tingkat kunjungan wisman (wisatawan mancanegara) ataupun wisnus (wisatawan nusantara). Jadi, solusi yang harus kami ambil adalah bagaimana menata Puncak kembali dengan tetap memperhatikan bahwa Cisarua, Megamendung, dan Ciawi yang dilalui jalur Puncak yang merupakan jalan nasional itu berada di posisi DAS Ciliwung dan DAS Cisadane.
Oleh karena itu, pengendaliannya itu harus bersama-sama kami lakukan. Karena itu, kami tidak bisa saling menyalahkan. Tetapi, kami harus duduk bersama untuk menyelesaikannya bersama.
Untuk penataan PKL ada tenggat waktu?
Sambil didata dulu. Tetapi, sekarang kami fokus membongkar yang rawan bencana. Saya ingin memberikan rasa aman dan nyaman kepada para pedagang. Itu yang terjadi di Masjid Atta’awun. Saat longsor itu terjadi (ada pedagang) tertimbun, meninggal satu. Itu masyarakat mana? Bandung. Bukan masyarakat Kabupaten Bogor.
Pemerintah daerah itu harus mendaftar dan menata PKL yang masyarakat asli Bogor. Maka, itu nanti dalam inventarisasi juga dicek, mana yang masyarakat Bogor mana yang tidak.
Kementerian PUPR ingin membantu pemerintah untuk relokasi. Tadi, di dalam Permendagri Nomor 125/2005 itu diatur tentang PKL. PKL itu harus didata, didaftar, dan ditata. Tetapi, PKL itu yang mana? Kalau bangunan-bangunan yang di sepanjang jalan itu ada yang PKL ada yang bukan. Intinya adalah kita harus memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa badan jalan itu tidak boleh dibangun untuk berjualan. Harus sadar ke sana.

Bagaimana dengan bangunan vila liar yang marak di Puncak, apakah ada tindakan?
Kewenangan pemerintah daerah hanya untuk menerbitkan IMB (izin mendirikan bangunan). Tetapi, untuk lahannya bukan milik kami. Seperti kawasan Perhutani ada hutan lindung, ada hutan produksi, itu punya Perhutani. Jangan sampai nanti diizinkan oleh Perhutani, mereka membangun dengan dalih, saya sudah ada izin kok. Tidak perlu ada izin dari pemerintah daerah. Dan itu terjadi. Makanya, kami harus duduk bersama.
Kami harus duduk bersama, sementara kawasan lindung sudah jelas. Harus dilindungi tidak boleh ada budidaya. Harus ada fungsi resapannya. Itu harus diperhatikan. Kawasan penyangga itu boleh ada budidaya, tetapi budidaya yang menunjang fungsi kawasan. Kan, itu pengendaliannya luar biasa.
Kalau bicara tentang tata ruang, tata ruang pemerintah daerah itu juga dikoordinasikan dengan pemerintah provinsi, dengan pusat juga. Jadi ada masukan-masukan yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Kami berbicara tentang kewenangan. Persoalannya adalah dengan sinergi.

Vila-vila yang dibangun di tebing-tebing di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, Minggu (11/2). Pemerintah Kabupaten Bogor memastikan vila yang berada di lokasi tersebut tak berizin.
Dulu tahun 2013 sempat ada pembongkaran vila-vila ilegal yang dilakukan Pemkab Bogor. Mengapa kemudian vakum sampai sekarang?
Pertama memang dari segi pendanaan kita tidak (lagi) dibantu dari DKI. Ada juga, tetapi mereka menginformasikannya lambat, jadi tidak bisa terserap. Harus dibangun kembali kerja sama karena Bogor ini daerah penyangga Ibu Kota.
Tetapi, saya berterima kasih kepada Kementerian PUPR yang sudah melakukan normalisasi situ-situ ketika menyimpan air saat musim hujan. Di Bogor ini ada 95 situ, di middle stream-nya ini, di kotanya ada 23 situ.
Secara bertahap, alhamdulillah ada lima situ yang sudah dinormalisasi, setiap tahun juga ada. Saya kira kami bertanggung jawab sebagai daerah penyangga untuk mengendalikan pembangunan dan melakukan penghijauan. Kami ingin ada embung-embung yang dibangun khusus di kawasan itu.

Artinya, pembongkaran vila di tahun 2013 hasil kerja sama dengan DKI?
Kami sempat membongkar karena ada kerja sama dengan DKI itu iya. Itu sama-sama kami ingin mengatur air ke Jakarta. Tetapi, di sisi lain ada pengelolaan uang yang ada aturannya juga. Tetapi, (kami) yang sangat mendukung sekali adalah rencana pembangunan waduk.
Waduk itu akan mengurangi banjir air ke Jakarta hingga 30 persen. Bendungan Ciawi dan Sukamahi. Pembebasannya sudah dilakukan, bahkan jalan masuknya juga sudah selesai. Setelah bicara dengan Kementerian PUPR, itu bisa dikembangkan menjadi wisata juga.

Apakah pembongkaran bangunan liar itu akan dilakukan lagi?
Kami sedang mendata ulang. Kami sedang inventarisasi ulang karena kami berangkatnya dari IMB.
Jika pendataan sudah selesai, bangunan-bangunan ilegal itu bakal dibongkar?
Bisa jadi. Kami sekarang melakukan pendataan dulu, dari kepemilikan tanah, dari sisi IMB-nya. Karena sebetulnya IMB itu bisa dibangun, dibangun dulu baru nanti memenuhi syarat, bisa dilegalkan, dengan denda dan lain sebagainya.
Tetapi, bukan itu persoalannya. Dia di tanah siapa dulu, izinnya kepada siapa. Kalaupun mau membangun harus ada IMB.

Vila-vila yang dibangun di tebing-tebing di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, Minggu (11/2). Pemerintah Kabupaten Bogor memastikan vila yang berada di lokasi tersebut tak berizin.
Mendirikan vila tidak ada izin?
Ya, dibongkar. Kami tidak melihat bahwa tanahnya itu sudah ada izin atau belum. Apalagi tidak sesuai dengan tata ruang, misalnya itu kawasan lindung, atau misalnya KDB (koefisien dasar bangunan) itu lima persen. Saya sih sudah instruksikan untuk lakukan inventarisasi.
Setelah pembongkaran 2013, terdapat vila ilegal yang kembali dibangun. Kenapa bisa terjadi?
Jadi itu seperti kucing-kucingan. Ada oknum. Itu yang permanen-permanen, kan, pasti ada yang mengizinkan. Sebagai salah satu contoh yang di Cijeruk, yang di jalan kereta api, itu mereka nyewa. Siapa yang menyewakannya? Padahal, ada aturan sempadan jalan kereta tidak boleh dibangun. Ini perlu duduk bersama, perlu evaluasi bersama.

Jika ada oknum ASN Pemkab Bogor yang terlibat dalam pemberian izin?
Oh itu jelas. Kami ada aturannya, ada PP Nomor 53/2010 tentang disiplin pegawai. Bagaimana kalau dia melakukan hal-hal yang tercela, yang tidak terpuji, itu perlu ada tindakan. Tapi, saya kira kalau diizinkan tidak. Kucing-kucingan gitulah. Itu membandel.
Apakah ada kesulitan untuk mengembalikan lahan ke fungsi awal? Kenapa?
Tidak mudah. Karena kewenangan yang berbeda. Pemerintah daerah tidak punya kewenangan untuk itu. Pemerintah daerah hanya dari segi IMB-nya. Tetapi, kepemilikan lahan? Contoh, ada lahan yang dulu dibangun saja dipersoalkan, sekarang sudah ada sertifikatnya. Itu, kan, bukan kewenangan pemerintah daerah jadi saya sih kata kuncinya adalah duduk bersama untuk menata kembali Puncak.
Unsur-unsur mana saja yang perlu duduk bersama?
Yang punya kepentingan untuk itu. Ya, mengenai pertanahannya, mengenai hutannya. Ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), kemudian Kementarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kan, mereka yang mengatur (kawasan) ini hutan lindung, hutan penyangga, hutan produksi, atau hutan konservasi. Kewenangan itu tidak dimiliki pemerintah daerah. Selain itu, nanti PT Perkebunan Nusantara juga (perlu ikut).
Apakah ada rencana untuk moratorium izin bangunan di Puncak?
Kami sedang kaji itu. Moratorium memang sudah sangat (mendesak) karena juga pelayanan kami kepada masyarakat harus tetap jalan. Kalau kami nolak harus jelas nolaknya. Tapi, moratorium sedang dikaji.
(ILO/DD16)