Dirmawan Hatta Tumbuh Bersama Sinema Rakyat
Terjun di dunia film di Jakarta sejak 2002, Hatta memutuskan untuk kembali ke tempat lahirnya di Salaman, Magelang, Jateng, pada 2016. Ia tumbuh dan menumbuhkan sinema rakyat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2F20211207DRA19_1641649318.jpg)
Dirmawan Hatta, sineas.
Mewarisi gairah hidup sang kakek, Dirmawan Hatta (46) pun jatuh cinta pada dunia film. Diikutinya kemanapun dunia itu membawanya, sampai suatu titik Hatta merasa harus mencari jalan pulang agar tetap bertumbuh. Pada sinema rakyat, Hatta menemukan jalan pulangnya.
Terjun di dunia film di Jakarta sejak 2002, Hatta memutuskan untuk kembali ke tempat lahirnya di Salaman, Magelang, Jawa Tengah, pada 2016. Hatta yang telah malang melintang di banyak tempat ini merasa ada yang selalu mengganggu benaknya.
”Waktu itu saya jenuh. Meski saya juga belajar banyak dari kantor-kantor yang saya ikuti di Jakarta, ketika bikin film di daerah saya selalu ngerasa bahwa Indonesia, perspektif yang diambil selalu seolah-olah jadi perspektif Jakarta,” ujarnya dalam perbincangan melalui Zoom, Rabu (1/12/2021) malam.
Hari itu, pendiri Tumbuh Sinema Rakyat itu tengah berada di Pacitan, Jawa Timur. Tapi bukan untuk urusan pekerjaan. Selama pandemi, aneka workshop film yang semula aktif dilakukan bersama Tumbuh terpaksa terhenti.
”Kalau yang saya rasakan mengganggu itu bukan perspektif Jakarta, lalu perspektif apa? Secara umum, saya merasa ini juga pertanyaan yang cukup besar karena kita kemudian bertanya, jane Indonesia iku opo tho? (Sebenarnya Indonesia itu apa?),” lontarnya melanjutkan.
Kegelisahan itu lalu membawa Hatta pada pertanyaan yang lebih jauh. Dia membayangkan, mungkin ada jenis pendekatan sinema lain yang lebih pas untuk ”memotret” Indonesia. ”Ini yang kemudian mendorong saya balik ke Magelang. Beberapa teman punya concern yang sama. Intinya bikin film di Magelang, tidak dengan sumber daya full Jakarta,” ujarnya.
Mereka lalu mencoba mengelaborasi sebuah cerita yang mereka buat di sebuah pesantren di Windusari. Sebagai imbalan, mereka memberi workshop untuk para santri. Proyek film berjudul Siluman Tikus dan Putri Persia yang mereka garap itu menjadi bakal lahirnya Tumbuh Sinema Rakyat.
Sayang, karena terbentur dana, film itu tak rampung. Tapi janji memberikan workshop dipenuhi. Hatta dan kawan-kawannya membuat workshop selama tiga bulan, mulai penulisan naskah hingga shooting.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2F20211207DRA02_1641649228.jpg)
Dirmawan Hatta
Semua dilakukan dengan alat sederhana, dengan sumber daya yang terjangkau di sekeliling pesantren. Setahun kemudian, proyek itu direplikasi di pesantren di Jember dan Tulungagung.
”Dari sana, kami punya catatan-catatan lebih lanjut tentang proses-proses semacam itu yang menghasilkan gagasan bahwa bikin film itu enggak harus selalu dengan seluruh kemegahan dan kemewahan yang dimiliki sumber daya teman-teman Jakarta atau yang kami miliki dulu ketika di Jakarta,” kata Hatta.
Mengapa? Seiring perkembangan teknologi, alat-alat pun menjadi makin ringkas. Ketika teknologi bisa diakses siapapun, sangat mungkin teknologi dipakai untuk menyampaikan bermacam sudut pandang yang menjawab kegelisahan tentang perspektif Jakarta atau bukan Jakarta.
”Jadi kalau alat ini kemudian bisa dibagi dan kemudian pengetahuannya disebarkan, dan si pemilik pengetahuan baru ini kemudian juga menengok sekelilingnya, maka drama-drama itu akan bermunculan dengan berbagai cara, dengan perspektifnya masing-masing, di seluruh Indonesia. Mimpi besarnya kayak gitu,” ungkap Hatta.
Tantangan
Bersama Tumbuh, Hatta kemudian membuat produksi sinema rakyat pertamanya di Pipikoro, Sigi, Sulawesi Tengah, bekerja sama dengan Program Peduli The Asia Foundation. Judulnya Jalan Raya Pipikoro. Pipikoro adalah kecamatan yang tak bisa dimasuki mobil. Semua barang hanya bisa masuk menggunakan sepeda motor, mulai dari kursi sudut, mesin molen semen, hingga jenazah.
”Kami bikin film di situ, tentang tema jalan setapak itu. Kami berangkat berempat, lalu bikin workshop. Pesertanya 15-20 orang. Sebulan berikutnya kami bikin booth camp, bikin naskah, produksi dan seterusnya sampai selesai,” kata Hatta.
Cara serupa dilakukan di Kangean, Madura, saat menggarap Istri Orang, disusul proyek di Sumba dan Kulon Progo. ”Kemudian dengan metode yang lebih kurang sama tapi kami padatkan, kami lakukan lagi di 33 kota di seluruh Indonesia di sepanjang 2018-2019. Yang ini dibiayai Viu,” ujar Hatta.
Program bersama Viu itu menduduki posisi 50 besar dari sekitar 1.500 program Viu secara global. Di Indonesia, program tersebut juga masuk lima besar. Sementara Istri Orang, banyak meraih penghargaan di berbagai festival film dalam dan luar negeri. ”Padahal bisa dibilang itu dibikin oleh amatir,” katanya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2F20211207DRA16_1641649315.jpg)
Dirmawan Hatta
Hatta menjelaskan, tidak berarti workshop yang pendek bisa memindahkan seluruh kemampuan film kepada peserta. Tapi dengan jurus-jurus dasar, sudah bisa membuat tayangan yang otentik dan secara drama jalan.
Lebih jauh, ketika mereka memahami betul ceritanya, (karena dibuat oleh mereka juga), lalu diekspresikan dalam bahasa daerah mereka, maka itu menjadi otentik. Mereka seperti mengekspresikan diri mereka.
”Tentu kita bisa bilang itu enggak akting, itu memainkan diri mereka sendiri. Tapi itu akting juga. Tentu cara-cara sinema rakyat tidak menjawab seluruh kebutuhan akting yang muncul dalam dunia keaktoran yang kita kenal. Tapi dengan mereka memiliki dengan cara yang tepat, yang sedikit ini mampu menyampaikan ekspresi-ekspresi yang otentik dari Indonesia yang berbagai-bagai itu,” tegas Hatta.
Jalan tentu masih panjang. Ada banyak tantangan yang masih dihadapi Hatta bersama Tumbuh. Terutama adalah menyampaikan proses-proses yang dia lakukan melalui sinema rakyat kepada dunia luar. Orang sering melihat film ”hanya” sebagai cara untuk menyampaikan pesan dan ketika ditonton orang pesan itu dianggap sampai.
”Yang sering tidak dilihat di dalam cara kami, si pemain, si penyampainya, juga mengolah persoalannya. Jadi pesan ini, bukan disampaikan ke penonton saja, tapi kreatornya juga harus menyerap pesan ini dulu juga. Artinya cara-cara yang ditempuh oleh sinema rakyat, yang paling susah itu adalah dia juga punya aspek, kalau dalam dunia gerakan, pengorganisasian,” kata Hatta.

Adegan di film Istri Orang karya sutradara Dirmawan Hatta.
Kesulitan lainnya adalah menemukan kanal yang mapan untuk menyuarakan temuan-temuan (karya) tersebut. Sebagai contoh, Istri Orang berkompetisi di Jogja-NETPAC Asian Film Festival, lalu juga diundang ke Fukuoka, Jepang, dan lolos kurasi Festival Film Indonesia 2020. Yang terjadi, Istri Orang tidak mendapat nominasi satu pun. ”Tak ada penjelasan resmi,” kata Hatta.
Begitupun dari sisi isu yang, menurut Hatta, jauh lebih penting untuk dilihat. Seperti salah satunya saat mereka membuat film di Kulon Progo tentang tema penghayat. Banyak anak muda yang baru memahami isu serius tersebut setelah mengikuti workshop Tumbuh.
”Jadi pendek kata, film-film kami ini kayak mutant. Jalan ketiga yang belum ketemu, atau dia ada di sirkuit mana sebenarnya biar impact-nya bisa dipahami atau dirasakan oleh orang,” kata Hatta.
Laboratorium media
Bertumbuh, diakui Hatta, memang menguras energi. Namun tak pernah ada kata patah dan menyerah. ”PR (pekerjaan rumah) masih banyak. Yang kami sejauh ini bisa bikin ya demikian dan itu proven. Artinya di sirkuit festival dia jalan, di penghargaan dalam negeri jalan, di platform komersial juga jalan, di ranah pemberdayaan atau pengorganisasian juga bisa dilihat hasilnya,” kata Hatta.
Ke depan, Hatta mencoba membuat laboratorium media rakyat yang lebih permanen agar persoalan-persoalan yang mereka hadapi di masa lampau, terkait hak publishing, misalnya, tak terulang. Ibarat memulai lagi dari awal, Hatta sadar jalannya masih panjang. Baginya, ini adalah caranya menuju pulang.
”Saya selalu terhantui kata pulang. Cuma persoalannya, di tengah situasi yang saya alami dari kecil sampai sekarang, situasi personal maupun situasi global, tumbuh dalam era Orde Baru, mengalami dunia digital yang juga sedang sangat pesat, kata pulang itu menjadi kata yang misterius,” tutur Hatta.
”Oke aku pengin mulih, ning mulih nang endi yo. Orang tuaku, Pakdhe, Budhe, om-om segala, mereka mengikuti kemapanan-kemapanan yang ditasbihkan oleh Orde Baru. Jadi Insinyur, pegawai, militer. Eyangku dari ibu administrator Belanda, kalau dari bapak pedagang. Jadi bruwet asal usulku,” lanjut Hatta.
Kata pulang itu, kemudian menjadi sesuatu yang dia tidak tahu jawabnya ke mana. Tapi setidaknya, bila dia senang melakukannya, mungkin dia akan sampai juga. Setidaknya, kalaupun tak sampai, hatinya sudah senang. ”Jadi pulang ke Salaman misalnya, itu juga saya maknai sebagai sesuatu yang saya niatkan untuk bertumbuh,” ujarnya.
Pada akhirnya Hatta memilih kembali pada perasaan-perasaan primordial, yang ndeso, rural, bukan kota. Tapi bukan pulang seperti orang kota yang sekarang kembali ke desa untuk menatap sawah dengan minum espreso.
”Selalu ada ruang hampa, void, yang harus saya definisikan terus-menerus. Mungkin, dengan perjalanan bermedia dengan Sinema Rakyat saya mencoba untuk lebih punya kisi-kisi, saya punya itinerary untuk pulang,” ujar Hatta.
Dirmawan Hatta
Lahir: Magelang, 19 Januari 1975
Karier (antara lain):
- Penulis skenario, Mangkujiwo, Multivision Plus (2020)
- Produser, ”VIUSHORTS”, Original Production, Vuclip International (2019)
- Produser, ”VIUSHORTS”, Original Production, Vuclip International (2018)
- Produser, workshop Produksi Sinema Rakyat, Yayasan Tumbuh Sinema Rakyat, Partnership for Governance Reform and The Asia Foundation (2016-2019)
- Scriptwriter, Director, ”Mother Sea/Ina Lefa”, short film, MAV & Diknas (2015)
Festival (antara lain):
- Piala Maya, Istri Orang, Kategori Film Panjang Peredaran Non Reguler (2020)
- Penghargaan Skenario Terpuji Majalah Tempo, Istri Orang, Jakarta, Indonesia (2019)
- Focus on Asia, Fukuoka International Film Festival, Istri Orang, Fukuoka, Jepang (2019)
- Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Istri Orang, Yogyakarta, Indonesia (2018)