Energi Sosial Nirwan Arsuka ”Si Pengelana Buku”
Saking inginnya punya buku, saya sampai ”nyolong” buku di toko buku dan tertangkap. Sejak itu saya berjanji, suatu saat, saya akan balas itu. Saya akan mengembalikan buku ke masyarakat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F663e2257-ef0d-4208-bff9-7944b82cae56_jpg.jpg)
Nirwan Ahmad Arsuka, pegiat literasi Pustaka Bergerak.
Nirwan Ahmad Arsuka mengaku berutang pada buku karena buku telah memberikan arah pada hidupnya. Ia berusaha membayar tuntas lewat Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia yang berusaha memasok buku hingga ke ujung negeri ini.
Kami berjumpa Nirwan di sebuah kedai kopi modern di Jakarta, jelang sore, Selasa (30/11/2021). Ditanya tentang Pustaka Bergerak, ia merespons dengan sangat antusias. Sama antusiasnya dengan bocah yang ditanya soal pengalamannya bertamasya di tempat nan indah.
”Pada mulanya kami mau menghilangkan ketimpangan penyebaran pengetahuan. Selama ini, pengetahuan berputar di kota-kota saja, khususnya di Jawa. Bagaimana dengan di desa, terlebih desa-desa di luar Jawa?” ujarnya.
Nirwan melihat, anak-anak yang tinggal di pelosok negeri ini, tidak kalah pintarnya dari anak-anak di Jakarta. Namun, pengetahuan mereka terbatas karena mereka tidak punya buku dan bacaan bermutu yang sesuai dengan lingkungan mereka. Di sebuah desa di Jawa Barat, misalnya, Nirwan menemukan, anak-anak lebih fasih bercerita soal beruang kutub dan dinosaurus daripada kuda dan kerbau.
”Kenapa begitu? Karena beruang kutub dan dinosaurus ada buku terjemahannya. Bagus dan visual pula. Sementara soal kuda dan kerbau, kalaupun ada bukunya, tidak menarik karena dikerjakan asal-asalan dan tanpa rasa cinta. Mungkin sekadar memenuhi target saja,” katanya prihatin.
Kita, lanjut Nirwan, tidak mungkin mengharapkan adik-adik kita memiliki ikatan dengan tanah airnya kalau pengetahuan kognitif tentang asal-usul, lingkungan, bangsa, dan tanah airnya saja tidak ada dalam kesadaran mereka. Ini yang menyebabkan banyak orang tidak peduli jika kampungnya rusak.
”Padahal, kalau Anda suka dengan suatu tempat karena Anda tahu ada ingatan penting di situ, cita-cita Anda di masa depan tergantung di tempat itu, Anda akan pertahankan mati-matian. Kesadaran itu tidak terbangun lewat pendidikan dan buku-buku kita,” ujarnya.
Jembatan pengetahuan
Berangkat dari keprihatinan itu, Nirwan menginisiasi Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia pada 17 Agustus 2014. Ini gerakan masyarakat madani yang bertujuan menyebarkan pengetahuan dan bacaan bermutu ke masyarakat yang terisolasi secara geografis dan terpencil secara sosial.
Sejak akhir Desember 2015, setiap bulan pada tanggal 17, Pustaka Bergerak mengirimkan buku-buku ke pelosok negeri, dari ujung Aceh sampai ujung Papua. Buku bacaan sumbangan dari donatur dikirim ke banyak daerah dengan pesawat. Lalu, disebar ke daerah-daerah terpencil dengan sepeda motor, kuda, gerobak, perahu, bahkan dipanggul oleh manusia.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F20160520ENG03.jpg)
Awak Perahu Pustaka Pattingalloang mengangkut buku dari perahu saat merapat di bibir pantai Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Kamis (19/5/2016). Perahu Pustaka Pattingalloang rutin menyambangi kampung-kampung di pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara untuk menyediakan buku bacaan secara gratis kepada anak-anak.
Sebagai gambaran, pada periode Mei 2017 hingga Desember 2019 saja, sekitar 313 ton buku telah disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia. Biaya kargo ditanggung program CSR PT Pos Indonesia sebesar Rp 14 miliar. Di luar itu, masih banyak buku lainnya yang dikirimkan.
Kegiatan ini melibatkan setidaknya 2.800 simpul pustaka dan puluhan ribu orang, termasuk di dalamnya donatur, penerima, dan sukarelawan. Mereka yang menjadi sukarelawan memiliki latar belakang beraneka mulai tukang tambal ban, pedagang keliling, mahasiswa, ibu rumah tangga, polisi, seniman, hingga tukang rawat kuda.
Buku-buku itu tidak hanya menjadi jembatan pengetahuan bagi orang-orang di pelosok, tetapi juga jembatan interaksi sosial di antara sesama anak bangsa yang sebagian besar tidak pernah bersua. Setiap tanggal 17, orang-orang di pelosok bertanya pada jaringan sukarelawan atau donatur, kapan buku akan tiba? Buku apa saja yang dikirim? Begitu paket kiriman tiba, mereka ramai-ramai membukanya, membacanya, menceritakan isi dan manfaat buku itu buat mereka.
Dari situ orang-orang yang tersebar di banyak lokasi saling terkoneksi dan merasakan pengalaman hidup bersama.
”Dari situ orang-orang yang tersebar di banyak lokasi saling terkoneksi dan merasakan pengalaman hidup bersama,” ucap Nirwan.
Jadi, buku pada akhirnya membuka koneksi antarsesama anak bangsa. Buku menjadi simbol kepedulian antarsesama dan medium untuk menumbuhkan solidaritas sosial berskala nasional. Dan, itu berlangsung alamiah. Nirwan memberikan contoh, ketika sukarelawan Pustaka Bergerak masuk ke kampung-kampung, pemilik warung menggratiskan makan dan minum untuk mereka. Ada pula polisi yang secara sukarela mengawal sukarelawan sampai tujuan.
Ekspresi solidaritas itu ditunjukkan karena ada perasaan senasib dan sepenanggungan. Ini sesuatu yang mahal di era ketika orang cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingannya dan meninggalkan kaum yang tak beruntung sendirian.
Bukankah ada media sosial yang membuat orang-orang saling terhubung? ”Ya, media sosial memang membuat kita gampang terkoneksi, tapi tidak mudah connected karena kita tidak diarahkan untuk membangun komitmen. Netizen hanya merespons apa yang muncul,” katanya.
Sialnya, algoritma media sosial dirancang untuk mengejar klik. Agar kliknya tinggi, pemilik teknologi menggunakan kontroversi, memancing pertarungan, perdebatan, dan konflik.
Baca juga: Risa Permanadeli, Riset di Jalur Hantu
Di sisi lain, kita dengan mudah menemukan, orang yang berinteraksi dengan media sosial bukan karena ingin bertengkar, melainkan karena ingin menggalang aksi solidaritas. Ini terlihat jelas setiap terjadi bencana atas krisis, termasuk pandemi.
Jadi, ada paradoks media sosial. Ia ”bermuka dua”. Namun, siapa yang bisa menolak arus besar zaman digital? Nirwan pun tidak. Ia memilih memanfaatkan sisi baik media sosial untuk mempermudah komunikasi dan interaksi di antara anggota dan simpatisan Pustaka Bergerak. Ke depan, ia berpikir untuk merancang media sosial sendiri khusus untuk tujuan literasi. ”Kami akan bikin algoritma yang mendukung literasi dan gerakan solidaritas,” tambah Nirwan.
Berutang pada buku
Nirwan lahir di Barru, Sulawesi Selatan. Ia menghabiskan sekolah dasar hingga menengah atas di Makassar. Ia jatuh cinta pada buku setelah membaca komik dan cerita silat Kho Ping Hoo. Itu terjadi pada era 1970-an saat ia remaja.
”Komik dan Kho Ping Hoo membuat hidup saya lebih berwarna. Di kampung (saya), anak-anak itu kerjanya kalau tidak berantem, ya nyolong mangga. Dan, saya ikut-ikutan. Tapi, sejak saya suka baca buku, ada kegiatan yang lebih menarik daripada berkelahi,” kenang Nirwan.
Saat itu, komik dan cerita silat dianggap tidak baik untuk mental anak dan remaja oleh kebanyakan guru dan orangtua. Buku-buku komik dimusuhi dan dirazia di lingkungan sekolah. ”Para guru dan orangtua maunya kita baca kitab suci atau buku bacaan yang isinya mengajari terus. Harapannya, setelah membaca anaknya langsung soleh dan pintar. Padahal, kita juga ingin bacaan yang menghibur dan membangkitkan imajinasi.”
Maka, Nirwan pun berpaling ke kios-kios penyewaan komik dan buku bacaan populer yang saat itu bertebaran di Makassar. Ia menyisihkan uang jajan untuk sewa buku.”Kalau tidak punya uang, saya nyolong rokok paman. Rokoknya untuk bayar penjaga kios buku, ha-ha-ha,” cerita Nirwan tentang kenakalan masa remajanya.
Sampai sekarang, ia ingat komik-komik dan buku yang ia baca saat remaja, antara lain, komik silat Henky, cerita silat Kho Ping Hoo, buku kisah 1001 malam, dan buku seri pengetahuan Time Life. Buku terakhir ini membuat Nirwan menyukai matematika dan sains.
Anda bersentuhan juga dengan buku-buku stensilan? "Ha ha ha... Anak-anak SMA di era itu pasti pernah dapatlah stensilan."
Baca juga: Sihir Kata-kata Rani Badri
Lepas SMA, Nirwan kuliah di Jurusan Arsitek, Universitas Hasanuddin, Makassar. Tetapi, ia tidak betah. Ia merasa Kota Makassar tidak lagi menarik karena di sana ia susah mendapat bacaan bermutu. Maka, Nirwan hijrah ke Yogyakarta. Ia kuliah di Jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gadjah Mada, pada 1986.
”Saat itu ada kasus Chernobyl di Uni Soviet. Jadi, ada tantangan untuk mempelajari nuklir. Setelah selesai kuliah, saya enggak jadi ahli nuklir, ha-ha-ha.”
Meski begitu, Yogyakarta memberikan warna pada hidup Nirwan. Di kota ini, ia terjun ke dalam gerakan mahasiswa yang saat itu sedang tumbuh subur, bersentuhan dengan Butet Kartaredjasa, Romo Mangun, Rizal Mallarangeng, Taufik Rahzen, dan lain-lain.
Di Yogyakarta pula hobinya membaca buku-buku bermutu terpuaskan. Namun, Nirwan yang saat itu membiayai hidupnya dengan menulis di surat kabar, sering kali tidak punya uang untuk beli buku. ”Saking inginnya punya buku, saya sampai nyolong buku di toko buku dan tertangkap. Sejak itu saya berjanji suatu saat, saya akan balas itu. Saya akan mengembalikan buku (yang saya ambil) ke masyarakat. Dan, sekarang itu terjadi.”
Buku begitu berharga dalam hidup Nirwan. Buku telah menyelamatkannya sekaligus mengarahkan hidupnya. Kini, lewat buku, Nirwan dan kawan-kawan Pustaka Bergerak berupaya membangkitkan energi sosial agar masyarakat bisa memecahkan persoalan masing-masing.
Nirwan Ahmad Arsuka
Lahir: Barru, 5 September 1968
Pendidikan: Teknik Nuklir, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Pengalaman, antara lain:
- Pernah menjadi editor tamu untuk Sisipan Budaya Bentara Kompas dan anggota Dewan Kurator Bentara Budaya Jakarta
- Pernah menjadi direktur di Freedom Institute
- Mendirikan Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia pada 2014
Karya:
- Two Essays (2016)
- Percakapan dengan Semesta (2017)
- Semesta Manusia (2018)
Penghargaan, antara lain: Fellowship dari Afield-Council Art, berkedudukan di Paris, Perancis (2021)