Eksperimen Dalang Kekinian
Nanang Henri Priyanto berusaha memainkan peran sentral sebagai dalang pewayangan yang adaptif untuk memikat generasi muda. Ia menjadi dalang kekinian yang terus berproses.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2Fc8bfd27f-7b4d-4b3b-916f-d25b15b8ad04_jpg.jpg)
Nanang Henri Priyanto
Seni wayang mungkin saja memudar, tetapi bukan menuju kepunahan. Seni wayang sedang menghadapi jeda perubahan cara ungkap. Dari sinilah Nanang Henri Priyanto (46) berusaha memainkan peran sentral sebagai dalang pewayangan yang adaptif untuk memikat generasi muda. Ia menjadi dalang kekinian yang terus berproses.
Pria lulusan Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2001 itu tak henti-hentinya mengembangkan teknik pementasan wayang. Titik tolaknya tentu tak terelakkan dari seni pewayangan tradisi di tanah kelahirannya, Ponorogo, Jawa Timur. Ia kemudian banyak mementaskan ragam seni pewayangan mulai dari klasik hingga kontemporer.
Nanang Hape, sapaan populernya, lahir di Ponorogo pada 15 Agustus 1975 dan tumbuh di lingkungan keluarga yang pekat dengan seni tradisi, termasuk pewayangan. Ia begitu ramah dan suka berbagi pengetahuan tentang dunia wayang yang dijalaninya sampai sekarang, seperti alasan mengapa profesi dalangnya memilih teknik dan media yang beragam dari wayang klasik sampai kontemporer.
Semua itu demi menjangkau kalangan penonton yang lebih luas, terutama generasi muda. Proses kreatif Nanang Hape pun pada akhirnya menjadi lintas bidang. Ia menjangkau serta berkolaborasi dengan komunitas-komunitas musik, tari, sastra, teater, dan film.
Wayang urban
Jika pernah mendengar pementasan komunitas Wayang Urban, mungkin sekali di situ ada dalang Ki Nanang Hape. Ia mendirikan komunitas ini sejak 2006 sampai sekarang. Sejak saat itu, ia sudah membuat ratusan atau bahkan ribuan kali pementasan.
Sejak 2015, Nanang Hape juga kembali merintis sebuah komunitas bernama Dongengmifasol. Melalui komunitas ini ia merengkuh hakikat memainkan wayang tak lain adalah kegiatan mendongeng. Maka, wayang bisa ditampilkan dalam bentuk tutur atau dongeng yang begitu sederhana.
Selama ini, wayang memperoleh citra adiluhung, bahkan sakral atau mistis. Inilah yang membuat jarak terbentang antara wayang dan generasi penerusnya.
Sepak terjang Nanang Hape berbasis di Jakarta. Namun, demi memperluas jangkauan penonton, terutama generasi anak muda, Nanang Hape banyak menempuh perjalanan atau pementasan keliling kota.
Suatu kali pada 2003, Nanang Hape pentas keliling dengan jumlah kota yang tidak tanggung-tanggung di Jawa dan Bali. Ketika itu ada 20 kota yang didatangi untuk pementasan keliling Mahabharata Jazz and Wayang.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2Fc4c03e20-d32e-4215-bcdc-96e5fbefcc9d_jpg.jpg)
Nanang Henri Priyanto
Tidak hanya di Tanah Air, Nanang Hape pada 2004 juga terlibat pentas keliling Cultural Olympiad di 14 kota di Yunani. Di Amerika Serikat, ia pernah pula mengikuti pentas keliling di empat kota dalam program Classical Nuances pada 2008.
Pementasan-pementasan wayang oleh Nanang Hape tidak seperti pementasan wayang klasik. Pementasan wayang klasik menggunakan iringan penabuh gamelan atau karawitan yang memiliki pakem tersendiri. Pementasan wayang Nanang Hape tidak selamanya demikian. Ia memadukan teknik wayang klasik dengan seni lainnya, seperti teater atau musik, sehingga kerap melabrak pakem yang ada.
”Saya juga mengembangkan proses kreatif Wayang Sandosa,” tutur Nanang Hape dalam perbincangan ringan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jakarta, Selasa (30/11/2021).
Di BBJ, kebetulan Nanang Hape sedang mengurasi sebuah pameran wayang bertajuk ”Wayang Rupa Kita”. BBJ menampilkan sekitar 120 koleksi wayang suket (rumput), wayang golek, dan sebagian besar lainnya berupa wayang kulit. Pameran koleksi wayang itu berlangsung pada 19 November hingga 4 Desember 2021.
Wayang Sandosa yang dikembangkan Nanang Hape memiliki keunikan tersendiri. Dalangnya lebih dari satu orang. Layar putihnya membentang penuh di atas panggung. Para dalang memainkan wayang dengan cara berdiri di belakang layar putih. Para dalang membangun adegan bayang-bayang boneka wayang yang tertangkap layar. Para penonton akan menyaksikan gerak bayang-bayang tanpa melihat para dalang yang menuturkan narasinya.
Wayang Sandosa memiliki riwayat unik. Penulis S Haryanto dalam bukunya, Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang (1988), menyebutkan, Wayang Sandosa terilhami Len Nang, pementasan wayang kulit dari Kamboja. Pusat Kesenian Jawa Tengah pada tahun 1984 pernah mementaskan Wayang Sandosa sebagai bagian eksperimentasi pementasan wayang dengan bahasa Indonesia.
Adaptasi
Pada hakikatnya, wayang merupakan kisah bayang-bayang kehidupan manusia yang bisa bermanfaat sebagai bahan refleksi untuk kehidupan di masa kekinian dan berikutnya. Di situ ada kisah sejarah manusia yang berulang, di antaranya ada pengetahuan yang bisa dipetik manfaatnya.
Keberlangsungan wayang dilengkapi kemampuan adaptasi yang cukup kuat. Di Indonesia, wayang terbukti memiliki kemampuan adaptasi yang tangguh. Karena itulah, Nanang Hape tidak pernah memiliki keraguan untuk terus bereksperimen dalam mengembangkan teknik pementasan wayang sebagai bagian dari adaptasi.
Wayang tidak pernah berdiri sendiri. Wayang berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan manusia lainnya yang juga terus berkembang.
”Wayang tidak pernah berdiri sendiri. Wayang berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan manusia lainnya yang juga terus berkembang,” ungkap Nanang Hape.
Pada zaman dulu, pementasan wayang bertalian erat dengan ritual sakral, seperti pemujaan roh nenek moyang. Pementasan wayang mungkin juga semata untuk hiburan masyarakat atas suatu keberhasilan, misalnya keberhasilan panen.
Begitu pula wayang dipentaskan sebagai ritual ruwatan atas suatu ketidakberhasilan. Di sinilah, wayang tidak pernah berdiri sendiri.
Bentuk boneka wayang juga berbeda-beda, perbedaan wayang menyimpan pengetahuan sejarah masa peradaban tertentu. Wayang yang berkembang di masa Majapahit berbeda dengan wayang yang berikutnya di Demak atau Mataram.
”Wayang yang berkembang di masa Kerajaan Kediri menggunakan bahasa Jawa Kuno dan bahasa itu terus berubah melewati masa Kerajaan Majapahit, Demak, dan Mataram yang kini menjadi Surakarta dan Yogyakarta,” ujar Nanang Hape.
Nanang Hape melihat pentingnya menelaah perubahan bahasa untuk pementasan wayang ini. Bahasa Jawa Kuno digunakan seni pewayangan di masa Kerajaan Kediri hingga Majapahit, dan kini berubah menjadi bahasa Jawa yang berbeda. Narasi utama pewayangannya mungkin menetap pada kisah Mahabharata atau Ramayana.
Nanang Hape menilik perubahan bahasa itu mengisyaratkan harapan akan lestarinya tradisi pewayangan. Dengan cara menempuh adaptasi terhadap perubahan bahasa, seni pewayangan akan terus hidup dan tumbuh.
”Saya mendukung kisah pewayangan disampaikan dengan bahasa Indonesia. Bahkan, jika kelak masyarakat akan lebih menguasai bahasa Inggris, saya mendukung kisah pewayangan disampaikan dalam bahasa Inggris,” ujar Nanang Hape, yang juga pernah terlibat di dalam produksi beragam program siaran beberapa stasiun televisi sebagai dalang dan penulis cerita.
Beberapa program siaran televisi itu meliputi Jalan Sesame (2009-2012), Kita Wayang Kita (2020), serta pembawa acara untuk program Wayang dan Dakwah tahun 2021 ini.
Beberapa karya diskografi dihasilkan Nanang Hape, seperti Cangkiran (2008) dan Kinanti Larut (2013). Nanang Hape juga membuat buku, di antaranya yang diberi judul Dalang Goes to Twitter (2013).
Bagi Nanang Hape, wayang bukan barang antik atau kuno. Wayang itu bentuk komunikasi yang terus bergulir mengikuti perkembangan zaman. Begitu pula ketika ruang digital atau dunia maya berkembang. Wayang akan terus bergulir bersama.
Nanang Henri Priyanto
Lahir: Ponorogo, Jawa Timur, 15 Agustus 1975
Pendidikan: lulus Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, 2001.
Kegiatan dan prestasi:
- Pendiri komunitas Wayang Urban (2006-sekarang)
- Pendiri komunitas Dongengmifasol (2015-sekarang)
- Pentas keliling 20 kota di Jawa dan Bali untuk program Mahabharata Jazz and Wayang (2003)
- Pentas keliling 14 kota di Yunani untuk program Cultural Olympiad (2004)Pentas keliling empat kota di Amerika Serikat untuk program Classical Nuances (2008)
- Mengisi program siaran televisi Jalan Sesame (2009-2012)
- Dalang program Kita Wayang Kita (2020)
- Dalang dan Penulis Cerita, dan sebagai pembawa acara untuk program Wayang dan Dakwah (2021)
- Menghasilkan karya diskografi Cangkiran (2008) dan Kinanti Larut (2013)
- Membuat buku Dalang Goes to Twitter (2013)
Penghargaan:
Penghargaan: Medali Emas dari International Marionette Festival (2008) dan Pemenang UK Songwriting Contest (2017) bersama Vembriona.