Pekerjaan Rumah Presiden Baru Membenahi Ketimpangan di Papua
Prabowo-Gibran yang tampil sebagai penerus Presiden Jokowi mendapat atensi positif dari sebagian masyarakat Papua.

Warga antre untuk menggunakan hak pilihnya di depan Tempat Pemungutan Suara (TPS) 03, TPS 04, dan TPS 05 di Rumah Jew atau Rumah Bujang Kampung Aswet, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, Rabu (14/2/2024).
Hasil hitung cepat (quick count) Pemilu Presiden 2024 dari sejumlah lembaga survei menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran lebih unggul dari pasangan lainnya. Hasil hitung cepat ini tidak berbeda jauh dengan angka real count sementara KPU.
Ada sejumlah pekerjaan besar menanti pasangan terpilih tersebut ketika mereka akan mulai menjabat secara resmi pada Oktober 2024 nanti. Salah satu di antaranya pemerataan pembangunan antara wilayah barat dan timur Indonesia. Mengurangi kesenjangan antardaerah dari berbagai aspek kehidupan. Di antaranya terkait pertumbuhan ekonomi antardaerah, serapan investasi, pembangunan infrastruktur, kualitas kehidupan yang tecermin dari indeks pembangunan manusia (IPM), jumlah pengangguran, kemiskinan, dan lain sebagainya.

Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Dalam konteks pemerataan pembangunan, ketimpangan antardaerah harus kian dikecilkan sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara satu daerah dan daerah lainnya. Saat ini, wilayah yang cenderung memiliki ketimpangan cukup dalam dengan daerah lain berada di kawasan timur Indonesia. Wilayah Papua menjadi salah satu daerah yang lekat dengan sejumlah ketertinggalan dan ketimpangan tersebut. Para pemimpin terpilih harus mampu melanjutkan estafet pembangunan agar kawasan itu mampu bersanding dan setara dengan daerah lainnya di Indonesia.
Sejumlah kendala yang menghambat kemajuan perlu menjadi perhatian para pemangku kebijakan. Misalnya, terkait kondisi geografis Papua yang cenderung terbatas fasilitas infrastrukturnya sehingga tingkat aksesibilitasnya relatif rendah. Banyak daerah di kawasan tersebut yang relatif sulit dijangkau sehingga membutuhkan biaya tinggi untuk mengaksesnya.
Hampir semua daerah di Papua, khususnya di wilayah pedalaman dan pegunungan, relatif sangat sulit diakses. Lanskap Bumi Cendrawasih ini terhalang geografis hutan lebat dan beratnya medan bergunung-gunung yang harus dilalui. Akibatnya, hanya kawasan pesisir yang cenderung maju dan berkembang secara signifikan. Sementara daerah pedalaman cenderung tertinggal dan stagnan minim pembangunan.
Topografi alam menuju kawasan pedalaman Papua cenderung mengakibatkan kegiatan ekonomi menjadi berbiaya tinggi. Seluruh komoditas barang dan jasa yang diditribusikan di kawasan tersebut membutuhkan ongkos perjalanan yang relatif tidak murah. Dampaknya, harga barang-barang cenderung lebih mahal dibanding daerah lainnya di pesisir Papua ataupun daerah lainnya di Indonesia.
Baca juga: Papua dan Ekonomi Politik yang Destruktif

Penjualan BBM nonsubsidi jenis pertalite dan solar di Distrik Karubaga, ibu kota Kabupaten Tolikara, Papua, Rabu (5/1/2022).
Oleh karena itu, adanya kebijakan pemerintah pusat yang memberlakukan skema bahan bakar minyak (BBM) satu harga pada Januari 2017 membuat sejumlah harga komoditas menjadi lebih murah dari sebelumnya. Namun, kebijakan ini masih terkendala suplai komoditas BBM yang relatif terbatas dan kurang lancar dalam penyalurannya.
Antrean kendaraan sering kali terlihat di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di kawasan timur Indonesia. Salah satu contohnya pada 9 Februari 2024, saat Kompas berada di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan. Saat itu terlihat antrean kendaraan untuk mengisi BBM jenis solar di SPBU. Banyak kendaraan bermalam di depan SPBU untuk menunggu kedatangan stok bahan bakar yang diangkut menggunakan pesawat terbang menuju Bandara Wamena esok paginya.
Tingginya konsumsi BBM jenis solar tersebut berkaitan dengan jumlah kendaraan niaga dan kendaraan angkut berat yang mendominasi di daerah itu. Medan yang bergunung-gunung dan permukaan jalan yang sebagian berupa tanah membuat kendaraan berspesifikasi offroad dan bertenaga besar sangat dibutuhkan di kawasan ini. Spesifikasi kendaraan demikian umumnya mengonsumsi BBM jenis solar.
Jadi, di kawasan yang relatif terkendala jaringan infrastruktur tersebut, tulang punggung utama perekonomian itu bertumpu besar pada suplai BBM dan juga armada angkutan yang memadai. Tanpa dukungan yang optimal dari kedua faktor tersebut rentan memicu gejolak ekonomi yang mendorong kelangkaan stok dan kenaikan harga-harga secara umum.
Situasi itu menuntut pemerintah untuk terus membenahi berbagai hambatan yang saat ini masih menjadi persoalan krusial bagi pengembangan daerah bersangkutan. Selain suplai BBM yang lancar, pemerintah juga dituntut untuk terus membenahi jaringan infrastruktur agar distribusi barang dan jasa menjadi lebih lancar mulai dari ibu kota provinsi hingga perdesaan. Pemerintah juga dituntut untuk memberikan jaminan keamanan bagi segenap masyarakat sehingga kawasann yang minim akses tersebut tersebut jauh dari gangguan kerawanan kejahatan.
Kualitas kehidupan
Persoalan klasik berikutnya yang membayangi wilayah timur Indonesia itu adalah tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Indikatornya terlihat dari rata-rata lama sekolah yang menempati urutan terbawah nasional. Pada tahun 2023, rata-rata lama sekolah di Provinsi Papua Barat dan Papua tidak lebih dari delapan tahun. Waktu tempuh masa belajar ini di bawah rata-rata nasional yang mencapai 8,77 tahun.
Dari segi pendidikan tampak bahwa wilayah Papua relatif tertinggal dengan daerah lainnya. Hal ini berpotensi mendorong pada pencapaian kualitas hidup yang juga rendah. Dengan pendidikan rendah, akses terhadap sumber ekonomi atau pekerjaan juga minim. Akibatnya, sulit mendapatkan pekerjaan atau usaha sehingga tingkat pendapatannya pun rendah. Situasi demikian rentan memicu pengangguran dan juga kemiskinan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi faktor yang sangat penting untuk mendorong kemajuan Papua di masa mendatang.
Baca juga: Mahasiswa Papua di Luar Negeri Terancam Putus Kuliah, Beasiswa Otsus Harus Dievaluasi

Kegiatan literasi dari Komunitas Literasi For Everyone Papua bagi anak-anak di salah satu daerah pedalaman Kabupaten Keerom, Papua.
Dengan bersekolah, celah kesenjangan antara Papua dan kawasan lainnya menjadi semakin sempit. Selain itu, juga kian menepis perbedaan antarpenduduk Papua yang juga mengalami ketimpangan yang cukup dalam. Saat ini, kesenjangan yang tampak cukup mencolok di Papua adalah perbedaan kualitas kehidupan antara penduduk asli Papua atau orang asli Papua (OAP) dan masyakarakat pendatang. Banyak parameter kesejahteraan yang sangat senjang antara masyarakat asli Papua dan para pendatang. Salah satunya terkait kualitas pendidikan.
Salah satu pengajar di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Hugo Gian (31), menyampaikan, masih jamak ditemui anak yang mengalami putus sekolah di level SD ataupun SMP. Hugo yang berkarya di Yayasan Generasi Amungme Bangkit itu menyatakan persoalan penting yang dihadapi para siswa di Papua salah satunya berupa tingkat kelancaran baca tulis yang masih rendah meskipun sudah lulus SD.
Dampaknya, siswa bersangkutan akan mengalami ketertinggalan di jenjang SMP karena merasa tertekan dengan tingkat kesulitan belajar yang lebih tinggi. Banyak siswa SMP yang akhirnya enggan meneruskan sekolahnya lagi. Hugo mengakui perlu adanya matrikulasi atau penyetaraan kepada siswa lulusan SD yang hendak meneruskan ke jenjang SMP. Dengan demikian, kemampuan baca tulis semakin baik sehingga anak-anak asli Papua dapat melanjutkan sekolah jenjang SMP hingga lulus. Kondisi pendidikan ini relatif berbeda dengan kelompok masyarakat pendatang yang biasanya cenderung lebih tinggi dan sebagian pula meuntut pendidikan hingga luar daerah.
Dalam indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua Barat dan Papua yang masing-masing masih di bawah 70 itu tidak tampak bagaimana situasi kualitas sumber daya manusia pada etnis tertentu. Capaian pendidikan yang digunakan dalam pengukuran secara umum memotret kondisi secara keseluruhan, baik di level perkotaan maupun perdesaan. Padahal, di wilayah Papua kesenjangan masih relatif sangat dalam antara kawasan kota dan desa-desa yang ada di pedalaman.
Oleh sebab itu, metode pendidikan konvensional tidak serta-merta dapat diterapkan kepada anak-anak di Papua secara sama. Pemerintah harus melakukan sejumlah cara dengan pendekatan kekhasan masyarakat setempat agar tingkat pemahaman kepada pendidikan semakin meningkat. Sayangnya, pemerintah tampaknya belum optimal dalam melakukan upaya tersebut. Masih banyak anak-anak Papua yang sudah lulus SD belum lancar membaca dan menulis. Bahkan, pernah ditemui seorang mahasiswa baru di salah satu kampus di Kota Jayapura yang masih mengeja cara membacanya.
Pekerjaan rumah
Sejumlah pekerjaan rumah tersebut harus bisa ditangani para pemimpin terpilih. Prabowo-Gibran yang kemungkinan besar akan memenangi kontestasi Pilpres 2024 ini harus mempu mengemban tanggung jawab itu. Apalagi, Prabowo-Gibran menampilkan diri sebagai sosok penerus program kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang mendapat atensi positif bagi sebagian masyarakat Papua. Dengan demikian, ada harapan besar bagi masyarakat Papua bahwa pasangan Prabowo-Gibran mampu untuk melanjutkan pembangunan di wilayah tersebut menjadi semakin baik lagi.
Hasil survei pascapencoblosan (exit poll) saat Hitung Cepat Litbang Kompas Pemilu 2024 dan digabungkan dengan pilihan responden pada Pemilu 2019 lalu menunjukkan efek Jokowi sangat kuat kepada pasangan Prabowo-Gibran.
Baca juga: Memahami Konflik Papua dari Dalam

Di wilayah Indonesia timur, khususnya Maluku dan Papua, citra Prabowo-Gibran lekat dengan sosok Jokowi sehingga berdampak positif bagi perolehan suara. Terdapat 6 dari 10 pemilih Jokowi-Ma’ruf pada 2019 menyumbangkan suaranya untuk paslon 2, sedangkan 3 dari 10 lainnya memilih Ganjar-Mahfud. Sementara itu, pemilih Prabowo-Sandiaga ketika Pemilu 2019 sekitar 80 persen pemilih tetap memihak Prabowo pada 2024.
Kuatnya efek Jokowi di wilayah Maluku dan Papua terlihat dari tingginya tingkat kepuasan masyarakat setempat terhadap pemerintahan Jokowi yang mencapai 87 persen pada survei nasional jelang akhir tahun lalu. Hal ini berimbas positif bagi elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran.
Tentu saja, dengan menjatuhkan pilihan pada sosok pasangan presiden nomor urut 2 itu, masyarakat Indonesia timur berharap segala hal positif yang diterapkan era Jokowi dapat terus ditingkatkan. Oleh karena itu, apresiasi yang tinggi dari masyarakat kawasan timur itu perlu untuk dicermati dan dipelajari oleh pemimpin terpilih agar segala ketimpangan yang terjadi selama ini dapat terus dibenahi dan diperbaiki.
(LITBANG KOMPAS)