Pembahasan RUU agar Sesuai Kebutuhan Masyarakat
Publik berharap pembahasan dan pengesahan RUU oleh pemerintah dan DPR dilakukan sesuai kebutuhan masyarakat. RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dinilai 59 persen responden paling mendesak untuk segera disahkan.

Di tahun 2022, DPR RI telah menetapkan 40 rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Dari 40 RUU, 26 di antaranya usulan DPR, 12 RUU usulan pemerintah, dan 2 RUU usulan dari DPD.
Beberapa RUU yang diajukan DPR di antaranya RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), RUU Larangan Minuman Beralkohol, dan RUU Masyarakat Hukum Adat. Sementara RUU yang diajukan pemerintah di antaranya RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Ibu Kota Negara, dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. DPD mengajukan RUU Badan Usaha Milik Desa dan RUU Daerah Kepulauan.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 12-14 Januari 2022 menunjukkan 57,6 persen responden meyakini draf RUU yang akan dibahas DPR tahun ini tidak menyimpang dari kebutuhan masyarakat. Namun, 4 dari 10 responden meragukan RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 telah sesuai kebutuhan saat ini. Munculnya keraguan ini mengindikasikan adanya sejumlah RUU yang dinilai publik tak sesuai kebutuhan saat ini. Selain itu, hal ini juga menggambarkan dibutuhkannya skala prioritas agar RUU mendesak yang sesuai kebutuhan masyarakat perlu segera disahkan.
Saat ini ada sejumlah RUU utama yang menurut responden perlu masuk skala prioritas. Dua RUU ini dinilai memiliki urgensi yang menyentuh langsung kehidupan sehari-hari masyarakat, yakni RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS) dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP). RUU TPKS dinilai lebih dari separuh responden (59 persen) paling mendesak untuk segera disahkan oleh DPR RI saat ini. Pandangan ini diungkapkan oleh responden dari berbagai latar belakang pendidikan dan berbagai daerah di Indonesia.
Baca juga: Menanti Partisipasi Publik yang Lebih Bermakna dalam Kerja Legislasi DPR
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2Fb4d00a35-32eb-4e69-a04c-b351c55a31e0_jpg.jpg)
Ketua DPR Puan Maharani (tengah) melakukan audiensi dengan sejumlah akademisi hingga aktivis perempuan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/1/2022). Audiensi terkait Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang segera disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.
Ada dua faktor yang menyebabkan RUU TPKS dinilai masyarakat paling mendesak untuk segera disahkan. Pertama, semakin banyak kasus kekerasan seksual yang terkuak di ruang publik, yakni 82,2 persen responden menilai Indonesia membutuhkan dasar hukum yang tegas untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Faktor kedua yang mendorong masyarakat berharap RUU TPKS segera disahkan ialah tertundanya pengesahan RUU tersebut dalam jangka waktu yang begitu lama. Menurut catatan Kompas pada 2 Januari 2012, DPR saat itu juga pernah didesak membahas RUU Kekerasan Seksual. Artinya, sudah lebih dari sembilan tahun publik menanti RUU ini disahkan. Di sisi lain, menurut catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual banyak ditemui di berbagai bidang. Pada tahun 2019 ada 2.091 kasus kekerasan seksual di ranah komunitas atau publik. Dari seluruh kasus, perkosaan mendominasi dengan total 715 kasus dan diikuti pencabulan 551 kasus.
Sementara pada tahun 2020 terdapat 962 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah publik dengan perkosaan (229 kasus) dan pencabulan (166 kasus) juga masih mendominasi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Melihat angka-angka yang cukup besar dan ditengarai merupakan indikasi sebagai fenomena puncak gunung es, wajar bila publik mendesak RUU TPKS segera disahkan.
RUU selanjutnya yang juga diharapkan untuk segera disahkan oleh 15,7 persen responden adalah RUU Perlindungan Data Pribadi. RUU ini telah digodok sejak 2012 dan masih belum disahkan hingga saat ini. Banyaknya pengguna internet di Indonesia dan maraknya kebocoran data tentu perlu diimbangi regulasi perlindungan data publik yang memadai.

Menurut Anda, seberapa penting RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) untuk segera disahkan? Infografik
Menurut catatan Hootsuite dan We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 202,6 juta jiwa atau 73,7 persen dari jumlah penduduk. Jumlah pengguna internet di Indonesia mengalami kenaikan 15,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Semakin banyaknya pengguna internet aktif di Indonesia turut menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat terhadap keamanan data pribadi.
Baca juga: RUU Perlindungan Data Pribadi Belum Juga Tuntas, Pertemuan Informal Diintensifkan
Kasus kebocoran data untuk pinjaman daring ilegal, hingga kebocoran data pengguna media sosial menjadi hal yang dikhawatirkan kembali terjadi. Kasus ini telah beberapa kali terjadi di Indonesia. Pada April 2021, misalnya, data pribadi yang meliputi nama lengkap, nomor telepon, lokasi, tanggal lahir, jender, pekerjaan, hingga alamat surat elektronik dari sekitar 130.000 pengguna Facebook di Indonesia bocor dan disebarluaskan di sebuah situs peretas.
Kasus-kasus semacam itu yang mendorong masyarakat berharap RUU Perlindungan Data Pribadi dapat segera disahkan. Selain itu, RUU Ibu Kota Negara juga dinilai 16,1 persen responden perlu segera disahkan. Pandangan ini diungkapkan responden di Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa. Munculnya harapan ini boleh jadi tidak terlepas dari harapan publik pada pemerataan ekonomi di luar Pulau Jawa.
Tantangan
Dalam memenuhi harapan publik, ada sejumlah tantangan dalam pengesahan RUU sesuai skala prioritas yang dibutuhkan masyarakat. Sebanyak 36,2 persen responden menilai banyaknya kepentingan politik menjadi salah satu faktor yang menghambat pengesahan RUU. Pandangan ini cukup wajar mengingat dalam pembahasan RUU banyak pihak yang dilibatkan dari lembaga eksekutif, legislatif, ahli, hingga perwakilan tokoh masyarakat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2F9941e204-0bcf-4567-9a3c-d773e6e93483_jpg.jpg)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengikuti Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/1/2022). DPR akhirnya memberikan kepastian mengenai kapan persetujuan Rancangan Undang-Undang atau RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan menjadi RUU inisiatif DPR.
Faktor lain yang dinilai responden menjadi penghambat adalah pada tahap pembahasan. Sebagian responden menganggap RUU yang dibutuhkan masyarakat tidak dibahas serius dan dibahas bertele-tele. Sementara sebagian responden lainnya menilai suatu RUU membutuhkan pembahasan yang detail sehingga butuh waktu yang cukup lama.
Dalam tahap pembahasan, sebuah RUU memang kerap kali menimbulkan pro dan kontra. RUU TPKS, misalnya, menimbulkan perdebatan tentang definisi dan penggunaan kekerasan atau kejahatan. Selain itu, RUU ini juga pernah dianggap sejumlah kalangan sebagai pintu masuk bagi perilaku seks bebas, lesbian, gay, biseksual, serta transjender. Kondisi ini juga berpengaruh pada lamanya pembahasan RUU.
Tantangan pada saat pembahasan hingga dialog politik yang menyertainya adalah proses politik yang pasti dilalui dalam pembuatan UU. Namun, proses ini tentu semestinya tidak menjadi alasan untuk menunda atau memperlambat pengesahan suatu RUU.
Apalagi, jika menengok aturan yang dibuat DPR dalam Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional, prolegnas prioritas tahunan adalah bagian dari prolegnas jangka menengah untuk satu kali masa keanggotaan DPR. Artinya, pembahasan semestinya dapat selesai sesuai target dan tidak melebihi batas masa jabatan anggota DPR selama lima tahun.
Pada satu sisi, munculnya harapan dan pandangan publik pada pengesahan RUU sesuai prioritas kebutuhan adalah wujud kepedulian masyarakat pada situasi negara yang perlu didengar dan diakomodasi.

Sejumlah PRT, Selasa (14/12/2021), menggelar aksi di depan Kantor MPR/DPR/DPD di Senayan, dengan cara merantai diri bersama-sama, seraya menyampaikan orasi kepada para wakil rakyat. Mereka mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT.
Kinerja DPR dalam penyelesaian pembahasan seluruh RUU yang masuk prolegnas prioritas tahunan akan menjadi jaminan keyakinan publik terhadap kinerja DPR. Publik berharap pemerintah dan DPR benar-benar menyelesaikan target menyusun undang-undang didasari oleh kebutuhan yang paling mendesak di masyarakat.