Di balik penerimaan negara yang tinggi dari cukai rokok, ada harga yang harus dibayar Negara lantaran banyaknya pihak yang terlibat dalam mata rantai produksi dan distribusi sebuah rokok.
Oleh
Agustina Purwanti
·6 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja menjemur tembakau di Kecamatan Gladagsari, Boyolali, Jawa Tengah (28/8/2020). Saat pandemi, harga jual tembakau dari petani di kawasan kaki Gunung Merbabu hanya berkisar Rp 42.000 per kilogram. Padahal, sebelum pandemi harga jual komoditas itu bisa mencapai sekitar Rp 70.000 per kilogram. Rendahnya harga jual memukul pendapatan petani tembakau.
Cukai rokok yang terus naik dari tahun ke tahun ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok dan meningkatkan penerimaan negara. Namun, di sisi lain, ada harga yang harus dibayar oleh negara di setiap kenaikan cukai lantaran banyaknya pihak yang terlibat di balik satu batang rokok.
“Negara makmur, tembakau subur, petani hancur”. Begitulah ungkapan Agus Parmuji, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dalam wawancara awal Desember 2021 lalu untuk menggambarkan kondisi hasil tembakau saat ini. Apalagi, saat itu kabar kenaikan cukai rokok sudah santer terdengar di mana-mana. Akhirnya, rata-rata kenaikan cukai rokok sebesar 12 persen resmi berlaku sejak 1 Januari 2022.
Kenaikan cukai rokok menjadi salah satu kebijakan yang dinilai cukup menekan posisi petani tembakau. Pasalnya, saat cukai naik, harga rokok akan turut naik dan berpotensi mengurangi permintaan rokok.
Penurunan permintaan rokok memang menjadi salah satu tujuan pemerintah menaikkan cukai tersebut mengingat tingginya jumlah perokok di Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perokok Indonesia di atas usia 15 tahun mencapai 28,96 persen pada tahun 2021.
Namun, berkurangnya permintaan rokok akan berdampak juga pada turunnya produksi rokok dan berujung pada berkurangnya serapan tembakau di kalangan petani.
Petani Tembakau
Padahal, tidak sedikit petani di Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari hasil menanam tembakau. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), terdapat 603.488 petani tembakau di Indonesia pada 2021. Jumlah tersebut lebih banyak daripada 2020 berjumlah 595.498 petani.
Tentu petani tersebut tak hidup sendirian. Jika diasumsikan dalam satu rumah tangga petani terdapat empat anggota keluarga, maka ada lebih dari 2,4 juta orang yang hidup bergantung pada tembakau. Sementara, para petani pun tak bekerja sendiri. Di balik mereka, terdapat jutaan buruh tani yang membantu mereka mengolah tembakau, terutama saat musim panen.
Dari tangan para petani dan buruh tembakau, dihasilkan lebih dari 200.000 ton tembakau setiap tahunnya. Jika harga satu kilogram tembakau sebesar Rp 40.000, maka nilainya mampu mencapai Rp 10 triliun.
Belum lagi, beberapa daerah mampu menghasilkan tembakau kelas tertentu yang harganya mampu mencapai satu juta rupiah. Maka, pendapatan domestik bruto dari komoditas tembakau akan lebih besar.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani menyemprotkan pestisida pada tanaman tembakau di Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah (18/6/2020). Memasuki kemarau, petani di kawasan kaki Gunung Merapi tersebut beralih menanam tembakau antara lain karena ketersediaan air yang menipis.
Secara spasial, produksi tembakau terbesar berasal dari Jawa Timur. Pada 2020, produksi tembakau dari Jatim mencapai 136 ribu ton, separuh dari total produksi nasional. Jumlah yang besar itu dihasilkan oleh lebih dari 350 ribu petani di tahun yang sama.
Dua provinsi penyumbang tembakau terbesar berikutnya adalah Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Masing-masing menyumbang seperlima dari total produksi tembakau nasional.
Tak hanya itu, dalam sebuah rokok, terdapat komoditas lain selain tembakau, yaitu cengkeh. Meski cengkeh bukan sebagai bahan baku utama, petani cengkeh juga akan turut terdampak.
Masih merujuk data Kementan, terdapat 1.070.444 petani cengkeh di seluruh Indonesia pada 2021. Kendati tidak terpengaruh dalam skala besar, pendapatan mereka berpotensi berkurang seiring naiknya cukai rokok.
Industri rokok
Selain petani, para buruh pabrik rokok pun turut terancam dengan adanya kebijakan kenaikan cukai rokok. Pasalnya, produsen rokok dapat mengurangi jumlah produksi karena permintaan yang turun akibat lebih mahalnya harga rokok. Bukan tidak mungkin, produsen rokok pun akan mengurangi tenaga kerja mereka, terutama penghasil sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya.
Data BPS 2018 menunjukkan, jumlah tenaga kerja pada industri pengolahan tembakau mencapai 1.175.282 orang. Proporsi yang paling besar berasal dari industri kecil dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 729.224 orang (62,05 persen).
Sementara, seperempat dari total tenaga kerja industri hasil tembakau mengadu nasib di industri sedang dan besar. Tiga belas persen lainnya bekerja di industri pengolahan tembakau skala mikro.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Buruh bekerja melinting rokok kretek di pabrik rokok milik PT Djarum, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah (28/11/2018). Industri rokok hingga saat ini masih menjadi salah satu penyumbang pajak negara terbesar di Indonesia.
Sama seperti petani, para buruh pabrik rokok pun bukan hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Terdapat anggota keluarga yang turut menggantungkan hidup mereka dari uang hasil melinting dan mengolah tembakau menjadi rokok.
Artinya, jika mereka terdampak oleh adanya kenaikan cukai rokok, lebih banyak lagi orang yang keberlangsungan hidupnya terganggu. Dilansir dari pemberitaan Kontan, lebih dari 68.000 orang tenaga kerja industri pengolahan hasil tembakau, khususnya sigaret kretek tangan, telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) selama 10 tahun terakhir.
Boleh jadi, PHK turut membayangi pekerja industri hasil tembakau yang masih berkarya hingga saat ini. Sementara, gejolak ekonomi akibat pandemi pun masih mengancam.
Dampak Berganda
Dengan menaikkan cukai rokok, pendapatan negara memang berpotensi naik. Merujuk data Kementerian Keuangan, target penerimaan negara dari cukai rokok pada 2021 sebesar Rp 173,7 triliun. Dari penerimaan tersebut, sebesar Rp 3,47 triliun dialokasikan untuk dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).
Dana tersebut akan dibagikan kepada 28 provinsi. Alokasi terbesar akan dinikmati oleh provinsi-provinsi di pulau Jawa. Jatim menjadi provinsi dengan penerima DBHCHT tertinggi, yakni Rp 1,94 triliun atau 55,76 persen. Alokasi terbesar berikutnya adalah Jateng (21,39 persen) dan Jawa Barat (11,56 persen).
Dana bagi hasil di masing-masing daerah digunakan untuk bidang kesehatan (25 persen), bidang kesejahteraan masyarakat (50 persen), dan bidang penegakan hukum (25 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa penerimaan negara dari cukai rokok tidak hanya dialokasikan untuk kepentingan pusat, tetapi juga daerah.
Namun demikian, kenaikan cukai rokok yang berdampak pada kelangsungan hidup petani dan para buruh pabrik rokok juga akan membebani daerah. Meski Jatim dan Jateng menjadi provinsi dengan alokasi DBHCHT terbesar, namun petani dan buruh pabrik rokok terbesar juga berada di dua provinsi tersebut.
Jika keberlangsungan hidup mereka terganggu apalagi berujung pada PHK, berpotensi meningkatkan jumlah kemiskinan pada daerah tersebut. Apalagi, persentase penduduk miskin pada dua provinsi tersebut masih berada di atas rata-rata nasional.
Persentase penduduk miskin Jatim pada Maret 2021 sebesar 11,4 persen dan Jateng 11,79 persen. Sementara, rata-rata persentase penduduk miskin nasional sebesar 10,14 persen.
Provinsi yang berpotensi mendapat tekanan yang cukup besar dari adanya kenaikan cukai rokok adalah NTB. Tak seperti Jatim dan Jateng, alokasi DBHCHT yang diterima NTB bukanlah yang terbesar. Padahal NTB merupakan provinsi penghasil tembakau terbesar ketiga. Jumlah petaninya pun cukup besar.
DOKUMENTASI BENTOEL GROUP
Suasana Perayaan Pembelian Raya Tembakau dari petani mitra yang diselenggarakan oleh Bentoel Group di Desa Kalianyar, Kecamatan Terara, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (14/10/2019). Mereka membeli sebanyak 9.000 ton tembakau dari petani di berbagai wilayah di Lombok Timur dan Lombok Tengah. Kemitraan antara perusahaan dengan petani diharapkan terus tumbuh.
Di lain sisi, proporsi penduduk miskin di NTB jauh lebih tinggi, yakni 14,14 persen. Peningkatan jumlah penduduk miskin berpotensi terjadi jika industri rokok secara nasional terancam akibat kenaikan cukai rokok. Sebab, tembakau menjadi salah satu komoditas unggulan di NTB, selain kelapa.
Jika hal itu terjadi, maka beban negara akan lebih besar untuk menangung keberlangsungan hidup seluruh peran yang terlibat di balik miliar batang rokok yang dihasilkan tiap tahunnya. Belum lagi, dampak berganda dari adanya komoditas tembakau akan turut hilang seiring kebijakan cukai rokok.
Saat musim panen, petani tembakau akan melakukan pengeluaran besar-besaran dari uang hasil tembakau yang mereka tanam. Tak jarang, mereka juga akan membanjiri tempat-tempat wisata di sekitar mereka.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Parade Mural Hari Kesehatan Nasional digelar Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (Kompak) di Monas, Jakarta (17/11/2021). Dalam aksi yang mengusung tema Potret Buram Kesehatan Negeriku itu mereka menyerukan agar pemerintah segera merevisi PP Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan pengendalian tembakau dinilai tidak mampu menekan prevalensi perokok.
Perputaran nilai ekonomi dari industri rokok terbentang mulai dari petani tembakau, buruh rokok, industri pengolahan tembakau, pedagang kecil, hingga konsumsi belanja dari petani saat panen tiba. Melihat banyaknya pihak yang bergantung dari industri rokok, dampak berganda kenaikan cukai harus dikaji dari berbagai aspek agar tidak lebih banyak pihak yang menanggung kerugiannya.
Tujuan mulia pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok harus diimbangi dengan mitigasi dampak berganda tersebut. Peningkatan ketrampilan lain bagi para pelaku industri rokok dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan agar mereka dapat mulai merintis menjalankan usaha lain di luar tembakau dan rokok.
Peningkatan kualitas hidup tersebut dapat juga dilakukan dengan semakin banyak membuka lapangan kerja agar mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya dari industri rokok dapat terus berkarya di tengah bayang-bayang hilangnya mata pencaharian akibat kenaikan cukai rokok setiap tahun. (LITBANG KOMPAS)