Citra Politik Dibalut Konten
Media sosial menjadi ajang kampanye yang efektif untuk membangun citra politik. Pemilu 2024 akan menjadi momentum pertarungan bagi politisi untuk memoles diri. Semua dimulai dari dunia maya.

Supriyanto
“Content is The King”, sebuah ungkapan yang jamak dipakai rujukan oleh mereka yang aktif di dunia digital marketing. Tujuannya tentu untuk menarik perhatian, mengkonversi, dan mempertahankan konsumen di era digital. Dunia politik pun tak lepas dari pentingnya membuat konten. Pemilu 2024 akan menjadi pasar persaingan konten di media sosial.
Salah satu strategi dalam menghasilkan konten yang menarik perhatian publik di dunia digital adalah mendompleng pada isu yang sedang viral. Strategi ini kerap dilakukan oleh tokoh politik dalam akun-akun media sosialnya. Dalam bahasa populernya, inilah strategi “riding the wave” atau “menunggang gelombang”.

Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Dari istilahnya, strategi ini ibarat seorang peselancar yang sedang berselancar di pantai dengan memanfaatkan ombak dengan meliuk-liuk. Jika kondisi ombak membesar, sang peselancar memanfaatkan ombak tersebut.
Syaratnya, tidak melawan atau menaklukkan ombak, tetapi mencari cara tepat untuk memanfaatkan energi ombak tersebut. Strategi menunggangi gelombang inilah yang jamak dilakukan oleh tokoh politik saat bermain di dunia maya melalui akun media sosialnya.

Salah satunya bisa kita lihat dengan viralnya seorang mahasiswa bernama Ghazali yang iseng menjual 933 foto Selfi dirinya sendiri selama 5 tahun, sejak berusia 18-22 tahun, dengan fose yang sama di salah satu platform digital.
Awalnya, foto Ghozali dijual dengan harga 0.001 Ethereum atau sekitar Rp 45.000 per foto. Namun, seiring dengan viralnya Ghozali di komunitas Non-Fungible Token (NFT) global, harga per fotonya kini bisa mencapai belasan juta rupiah.
Viralnya Ghozali ini pun sampai dibuat konten khusus oleh Sandiaga Uno dalam akun instagramnya. Dalam postingannya Sandi menulis, “Dapat cuan dari foto selfie? Bisa banget!.”
Jika melihat postingan ini Sandi berupaya membawa isunya ke arah perubahan dunia digital yang memberikan ruang untuk berkreatifitas. Bagaimanapun industri kreatif adalah wilayah yang menjadi bagian tanggung jawab Sandi sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Tangkapan layar konten di Instagram Sandiaga Uno soal Ghozali yang viral menjual foto dirinya di Non-Fungible Token (NFT) global.
“Sadar atau tidak, dunia sudah mulai berubah, kini platform digital seperti NFT bisa menghasilkan banyak uang, mampu menciptakan lapangan kerja dan berpotensi membangkitkan ekonomi”, tulis Sandi dalam akunnya.
Isu terkait NFT yang sedang menjadi trending ini juga menjadi konten dari Ridwan Kamil. Dalam akun instagramnya, Gubernur Jawa Barat ini mengangkat tema soal lukisan jalanan di Bandung yang terjual delapan kali lipat di bursa digital NFT.
Dalam postingannya Ridwan juga menyebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai tahun 2022 ini membuka akun khusus di platform digital untuk membantu memasarkan karya pelaku ekonomi kreatif di Jawa Barat agar menjadi berlipat nilai ekonominya.
Sebelum isu soal NFT ini, sejumlah konten Ridwan Kami juga menarik perhatian warganet. Salah satunya berupa video parodi berjudul “Yang Terjail”. Video ini memparodikan video salah satu grup band terkenal Indonesia, Noah, yang baru saja merilis video klip remake dari lagu lawasnya yang berjudul “Yang Terdalam”.

Dengan judul postingan “Yang Terjail”ini Ridwan Kamil menampilkan diri sebagai bintang video yang sedang berjalan dengan dilatari lagu “Yang Terdalam”. Postingan Ridwan Kamil ini berhasil menyedot perhatian warganet. Tak kurang, per 14 Januari pagi, sebanyak 1,08 juta warganet memberikan tanda “like” kepada postingan ini.
Upaya “menunggangi gelombang” lagu Yang Terdalam milik Noah ini juga dilakukan Erick Thohir dalam akun instagramnya. Namun, berbeda dengan Ridwan Kamil yang membuat skenario khusus di videonya, konten yang dibuat Erick hanya berjalan dengan ilustrasi lagu Yang Terdalam dengan menambahkan tagar #YangTerdalam dalam captionnya.
Postingan Erick ini juga mendapat sambutan riuh warganet. Tak kurang sebanyak 208 ribu warganet menyukai postingan ini.
Jauh sebelum konten bertema lagu Yang Terdalam ini, Erick Thohir juga sempat viral di sosial media ketika dia menggunggah konten soal BTS Meal pada Juni tahun lalu. Saat itu memang sedang viral menu baru hasil kolaborasi McDonald's dan grup idola Korea Selatan, BTS.

Tangkapan layar konten di Instagram Ridwan Kamil yang viral dengan tema lagu "Yang Terdalam"
Melalui akun Instagram pribadinya, Erick Thohir mengungkap kelegaan akhirnya bisa mendapatkan menu spesial tersebut. Dalam konten tersebut, Erick mengaku tak mau ketinggalan euforia BTS Meal, yang nantinya akan ia berikan untuk anak bungsunya yang juga merupakan seorang ARMY (penggemar BTS).
Baca juga : Capres Otoritas Versus Elektabilitas
Konten politik
Konten-konten bermuatan politik juga tak pernah lepas dari tokoh-tokoh politik dalam akun media sosialnya. Warganet tentu ingat bagaimana konten Instagram dari Anies Baswedan terkait sebuah buku.
Unggahan Gubernur DKI Jakarta yang sedang membaca buku How Democracies Die melalui akun Instagram ini menjadi pembicaraan warganet di dunia maya.
Buku How Democracies Die pun langsung dicari-cari oleh warganet.
Buku ini masuk dalam kategori buku fllsafat politik yang ditulis oleh duo Profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Zibllat. Keduanya menyebut demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan karena pemimpin yang otoriter.

Tangkapan layar konten dari Instagram Anies Baswedan saat membaca buku How Democracies Die yang kemudian viral di sosial media
Menariknya, menurut mereka, kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi.
Unggahan Anies sedang membaca buku di akhir pekan ini langsung viral dan memicu pro kontra.
Bagi yang cenderu pro terhadap postingan ini memaknainya sebagai bentuk kritik Anies atas kekuasaan oligarki di Indonesia. Namun, bagi yang kontra memaknainya sebagai langkah menaikkan popularitas semata.
Seperti halnya teori “menunggangi gelombang”, unggahan Anies ini juga tidak lepas dari hiruk pikuk di Komisi Pemberantasan Korupsi saat itu, terutama terkait polemik terkait tes wawasan kebangsaan yang sempat menjadi perbincangan di media dan publik.
Tak heran jika kemudian di sejumlah media, Ketua KPK Firli Bahuri pun sempat mengomentari unggahan Anies tersebut. "Kalau ada yang baru baca sekarang, kayaknya baru bangun, Pak. Makanya banyak yang mengkritisi, kan, sudah lama buku itu, Pak," ungkap Firli seperti yang dikutip oleh Kompas.com (24/11/2020).

Tangkapan layar Ganjar Pranowo dalam akun Twitternya saat makan mie rebus
Konten bermuatan politis juga sempat diunggah Ganjar dalam akun sosial medianya. Konten yang diunggah di Twitter berupa video Ganjar saat makan mie rebus dengan caption berbahasa Jawa. ‘Bengi-bengi kok pengen ngemi, kelingan jaman ngekos.
Satu kurang, dua kebanyakan’ (malam-malam kok ingin makan mi, teringat jaman ngekos. Satu kurang, dua kebanyakan), tulis Ganjar di unggahan video tersebut.
Video ini kemudian viral dan menjadi perbincangan. Ada yang memaknai video ini sebagai cara Ganjar menanggapi sindiran dari elite PDI Perjuangan yang mempersoalkan ambisinya mencalonkan diri sebagai presiden.
Unggahan ini juga tidak bisa dilepaskan dari terjadinya kegaduhan di internal PDIP terkait calon presiden. Saat itu Ganjar disindir Puan Maharani dan dicibir Ketua DPP PDI Perjuangan Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul karena terlalu ambisius mau maju menjadi capres.
Baca juga : Menyoal Kembali ”Presidential Threshold”
Media sosial
Tak pelak, konten-konten yang diunggah oleh tokoh politik, terutama mereka yang masuk dalam bursa bakal calon presiden maupun calon wakil presiden di 2024, memang tidak bisa dilepaskan dari bobot politiknya.
Media sosial akan menjadi kanal kontestasi dari siapa saja tokoh politik yang berminat maju di pemilihan presiden. Sifat media sosial yang penyampaiannya lebih cepat dan komunikasi dua arah membuat penggunanya dapat saling berinteraksi satu dengan yang lainnya secara daring.
Media sosial menjadi alat kampanye yang terbukti cukup efektif di beberapa negara. Peristiwa paling fenomenal adalah Obama di pemilihan Presiden Amerika Serikat 2008.

Pemetaan isu Pemilu 2024 di media sosial Twitter selama 29 Agustus hingga 4 September.
Apalagi jika kita lihat komposisi pemilih di Indonesia pada 2024 adalah mereka yang saat ini masuk dalam kategori pemilih milenial. Tak kurang dari 40 persen lebih pemilih adalah anak muda dan tentu akan lebih dekat pada dunia digital. Hasil survei Kompas menyebutkan, platform media sosial lebih banyak diminati oleh anak-anak muda.
Twitter menjadi salah satu platform media sosial yang penggunanya lebih banyak dari anak-anak generasi Z. Mereka adalah kumpulan anak-anak muda yang sekaligus menjadi pemilih mula.
Selain Twitter, platform seperti Instagram, Facebook, Youtube, dan Whatsapp akan lebih banyak digunakan sebagai panggung kampanye melalui akun-akun dari tokoh politik yang diprediksi akan berlaga dalam kontestasi pemilihan presiden di 2024.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2FDSC08963.JPG_1566908115.jpeg)
Ilustrasi: pengguna membuka media sosial Twitter melalui ponselnya.
Ditambah lagi dengan posisi Indonesia yang tercatat sebagai negara dengan populasi pengakses internet ketujuh terbesar dunia. Di tahun 2021 saja, angka penetrasi pengguna internet Indonesia mencapai 73,7 persen atau sekitar 196,7 juta pengguna. Angka ini naik hampir 65 persen dari tahun 2018.
Tentu, pada akhirnya semua akan kembali pada konten seperti apa yang mampu merebut hati para warganet. Dengan konten yang menarik, citra tokoh politik akan terdongkrak. Apalagi kampanye melalui media sosial menjadi tak terbatas karena sejatinya para tokoh politik itu sejatinya sudah berkampanye tentang dirinya sejak akun media sosial itu diaktifkan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menguji Kemapanan Pilihan Partai Politik