Membangun Koalisi Politik sejak Awal
Pemilu serentak diharapkan memperkuat potensi koalisi lebih awal. Sayangnya, ambang batas pemilihan presiden menjadikan posisi setiap partai tidak setara. Membangun koalisi lebih awal masih sulit diwujudkan.

Supriyanto
Tradisi koalisi partai politik di pemilihan presiden, yang cenderung dibangun mendekati batas akhir pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden, kerap kali tidak berdampak pada bangunan koalisi yang kokoh. Pemilihan umum serentak semestinya menjadi pintu untuk membangun koalisi sejak awal.
Modal besar partai politik membangun koalisi di pemilihan presiden adalah basis perolehan suara dan kursinya di DPR. Maka tidak heran jika kemudian perhelatan pemilihan presiden langsung di Indonesia selalu dimulai dari bangunan koalisi yang dirajut mendekati masa-masa akhir pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.

Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Salah satunya karena menunggu perolehan suara dan kursi dari hasil pemilu legislatif. Hal ini terutama terjadi di era pemilihan presiden 2004, 2009, dan 2014 di mana kontestasinya masih terpisah, antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Di Pemilihan Presiden 2004, misalnya, rata-rata pasangan calon dideklarasikan kurang lebih 2 bulan sebelum hari pemungutan suara. Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi resmi mendeklarasikan diri pada 6 Mei 2004 atau tepat dua bulan sebelum pemungutan suara pemilihan presiden yang digelar 5 Juli 2004.

Hanya terpaut satu hari, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dideklarasikan pada 7 Mei 2004. Kemudian menyusul pada 9 Mei 2004 deklarasi dari pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo.
Dua pasangan lainnya juga dideklarasikan di waktu yang berdekatan dengan ketiga pasangan lainnya. Keduanya adalah pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid yang dideklarasikan pada 11 Mei 2004 serta sehari kemudian (12/5/2004) pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar juga resmi dideklarasikan.
Baca juga : Menyoal Kembali ”Presidential Threshold”
Sementara itu, data yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada persiapan Pemilihan Presiden 2009. Pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto dideklarasikan pada 1 Mei 2009, tiga bulan sebelum hari pemungutan suara pemilihan presiden yang digelar pada 8 Juli 2009. Deklarasi ini tercatat paling cepat dibandingkan deklarasi pasangan lainnya.
Kemudian deklarasi yang sama juga dilakukan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono yang dilakukan pada 15 Mei 2009. Di hari yang sama, menjelang tengah malam, pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto dideklarasikan dan menyatakan siap bertarung dalam Pemilu Presiden 2009 menghadapi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191016_ENGLISH-KABINET-BARU_B_web_1571235686.jpg)
Presiden Joko Widodo saat bertemu dan berbicara empat mata dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Pertemuan tersebut membicarakan sejumlah isu aktual seperti kondisi sosial, politik, ekonomi, dan keamanan. Pertemuan tersebut menjadi sinyal awal bergabungnya Partai Gerindra dalam Pemerintahan Joko Widodo.
Kondisi serupa juga terekam dari dinamika koalisi partai politik menjelang pemilihan presiden yang digelar pada 9 Juli 2014. Saat itu, deklarasi pasangan calon presiden dan wakil presiden juga terjadi kurang lebih 2 bulan sebelum pemungutan suara digelar.
Menariknya, dari dua pasangan calon, keduanya melakukan deklarasi di hari yang sama, yakni 19 Mei 2014. Kedua pasangan tersebut adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat serta pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diusung oleh Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Golkar.
Dari ketiga pemilihan presiden di atas tampak gejala yang sama adalah koalisi partai politik dalam pemilihan presiden dilakukan setelah pemilihan legislatif dan kepastian perolehan suara dan kursi yang diraih partai politik. Pendek kata, koalisi yang dibangun selama ini terkait pengajuan calon di pemilihan presiden berbasiskan pada ”kepastian” kekuatan partai di parlemen.
Baca juga : Jalan Berliku Tokoh Potensial Calon Presiden
Pemilu serentak
Harapan akan hadirnya koalisi tanpa melihat ”kepastian” perolehan suara dan kursi dari partai politik di desain pemilihan umum serentak ternyata belum bisa diwujudkan. Pasalnya, pemilu serentak 2019 yang pertama kali digelar ternyata tetap mensyaratkan perolehan suara dan kursi dari partai politik.
Basis kepastian suara dan kursi partai politik pun merujuk pada hasil pemilu sebelumnya. Artinya, syarat perolehan suara dan kursi yang dipakai untuk Pemilu 2019 adalah hasil dari Pemilu 2014.

Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan orasi politiknya pada Kampanye Sambung Rasa Menyapa Warga Kota Tasikmalaya di GOR Sukapura, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (9/3/2019).
Padahal, hasil Pemilu 2014 sebelumnya juga dipakai untuk syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2014. Pendek kata, hasil Pemilu 2014 sudah dipakai dua kali sebagai syarat berkontestasi di pemilihan presiden.
Hal ini merujuk pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal tersebut disebutkan, pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Meskipun koalisi yang terbangun masih berbasis hasil pemilu sebelumnya, terbentuknya koalisi partai politik lebih awal relatif sudah terlihat di Pemilu 2019. Tentu, hal ini tidak lepas dari tahapan pemilihan umum serentak yang lebih panjang.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2F20180810_CAPRES-CAWAPRES_C_web.jpg)
Calon presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan Ma’aruf Amin menyapa pendukungnya seusai mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden Periode 2019-2024 di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (10/8/2018).
Jika mengacu jadwal hari pemungutan suara di Pemilu serentak 2019 yang jatuh pada 17 April 2019, deklarasi kedua pasangan calon, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang sama-sama pada 9 Agustus 2018, maka publik sudah mengetahui pasangan capres dan cawapres selama kurang lebih 8 bulan sebelum pemungutan suara. Dalam periode tersebut, masa kampanye pun panjang, yakni sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019.
Baca juga : Ambang Batas Presiden dan Kesetaraan dalam Pemilu
Lebih awal
Berpijak dari pengalaman Pemilu 2019, praktik yang sama juga akan diterapkan di Pemilu 2024. Dengan regulasi yang sama, bisa diprediksi tahapan pemilihan umum akan berlangsung lebih panjang.
Usulan Komisi Pemilihan Umum saja menyebutkan, masa tahapan lebih dari 20 bulan seperti yang disyaratkan dalam undang-undang. Dengan pemilihan umum serentak, bahkan nantinya juga dibarengi dengan pilkada serentak nasional, membangun koalisi partai politik sejak awal boleh jadi menjadi keniscayaan.
Apalagi respons publik cenderung menyambut positif jika jauh-jauh hari mereka tahu siapa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berlaga di 2024 nanti.

Hasil jajak pendapat Kompas akhir Desember lalu menangkap separuh lebih responden (51,5 persen) menganggap deklarasi calon presiden yang dilakukan lebih awal, setidaknya di tahun 2022 ini bisa jadi lebih menguntungkan bagi pemilih karena sudah mengetahui jauh-jauh hari calon pemimpin di 2024.
Meskipun demikian, sebagian besar responden lainnya menyatakan sebaliknya. Sebanyak 45,7 persen responden cenderung menyatakan tidak perlu deklarasi dilakukan jauh-jauh hari, lebih baik mendekati saat pemilihan umum atau di detik-detik terakhir seperti yang selama ini disuguhkan para elite partai di hadapan publik.
Terlepas dari pro-kontra di mata publik, wacana membangun koalisi partai politik sejak awal menjadi sinyal positif dari partai politik untuk membangun koalisi yang lebih permanen, yang dibangun sejak proses rekrutmen politik untuk pemilihan presiden.
Upaya Partai Nasdem membangun wacana konvensi calon presiden yang dilakukan dengan terlebih dahulu merajut koalisi dengan partai politik lain menjadi wacana yang cukup positif. Sebuah konvensi yang dilakukan setelah kepastian adanya koalisi antara partai politik.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F190e5fa5-2012-491f-a521-4c6a238283dc_jpg.jpg)
Lambang partai politik peserta Pemilu 2019 tergambar di sebuah tembok di kawasan Gandaria, Jakarta, Minggu (24/10/2021). K
Tentu, urgensi koalisi lebih awal tetap harus mempertimbangkan kalkulasi politik elektoral. Harus diakui membangun koalisi antarpartai politik di Indonesia tidaklah mudah.
Salah satu faktor yang memengaruhi proses politik itu adalah terkait masih kuatnya personalisasi politik dalam tubuh partai. Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai, salah satu problem parpol di Indonesia adalah terlalu kuatnya personalisasi politik (Kompas, 16/10/2021).
Fakta ini berdampak pada performa partai politik yang lebih bertumpu pada sosok ketua umum yang sangat berpengaruh dalam pembuatan kebijakan partai. Dampaknya, hal ini akan melemahkan demokrasi di internal partai. Pada ujungnya, akan memperlemah fungsi-fungsi partai politik yang seharusnya membuka ruang partisipasi dan demokratisasi.
Tahun 2022 bisa dimanfaatkan menjadi momentum bagi partai politik untuk melibatkan publik. Salah satunya dengan mulai membuka wacana untuk merajut koalisi partai demi kepentingan kontestasi di pemilihan legislatif dan pemilihan presiden di 2024 nanti. Kita tunggu, siapa partai yang bisa memulai? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Capres Otoritas Versus Elektabilitas