Capres Otoritas Versus Elektabilitas
Undang-undang menempatkan partai politik menjadi satu-satunya tiket pencalonan presiden. Tingkat keterpilihan calon presiden harus ditopang oleh dukungan partai. Keduanya menjadi modal politik yang tidak bisa dipisahkan.

Supriyanto
Partai politik menjadi satu-satunya pintu bagi seseorang untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden. Pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi otoritas partai.
Ketua umum atau elite partai politik berperan besar menentukan kepada siapa tiket menjadi calon presiden tersebut diberikan. Pendek kata, menjadi calon presiden tak cukup sekadar bermodal elektabilitas, mendapat tiket partai menjadi modal pertama dan utama.
Berbeda dengan pemilihan kepala daerah langsung yang memiliki dua pintu sumber pencalonan, yakni jalur dari partai politik/gabungan partai politik dan jalur perseorangan atau nonpartai politik. Di pemilihan presiden, satu-satunya sumber pencalonan hanya dari jalur partai.
Hal ini tertuang dalam Pasal 221 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan, calon presiden dan wakil presiden diusulkan dalam satu pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Praktis, pemilik satu-satunya tiket pencalonan presiden adalah partai politik, bukan yang lain.

Bahkan, jika kita telusuri rekam jejak tiket partai di pemilihan presiden ini, ada kecenderungan partai semakin menguatkan diri sebagai satu-satunya pemilik tiket tersebut.
Salah satunya bisa kita lihat dari adanya peningkatan angka ambang batas pencalonan presiden sebagai syarat pencalonan presiden. Saat awal pemilihan presiden langsung di 2004, di syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik atau gabungan partai politik harus memenuhi 15 persen kursi DPR atau 20 persen perolehan suara nasional.
Angka ini meningkat saat pemilihan presiden 2009. Partai atau gabungan partai harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara nasional di pemilu.
Setelah Pemilu 2004, muncul dinamika terkait besaran angka ini. Sejumlah partai besar mengusulkan kenaikan lagi, tetapi partai-partai menengah menolaknya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2F930c634a-3ddb-4ab0-94d2-8c907b4d5f1a_jpg.jpg)
Mural tujuh presiden Republik Indonesia tergambar secara kartunal di sebuah dinding di kawasan Pisangan, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (14/11/2021).
Angka 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional sudah moderat. Bahkan, sebelum diputuskan tidak ada revisi terhadap UU No 7/2017, sempat muncul kembali usulan kenaikan angka ambang batas pencalonan presiden ini.
Wacana soal ambang batas pencalonan presiden ini selalu dikaitkan dengan syarat ambang batas parlemen. Saat itu sempat muncul wacana menaikkan angka ambang batas parlemen, dari 4 persen menjadi 7 persen.
PKB, misalnya, saat itu mensyaratkan jika ambang batas parlemen dinaikkan, ambang batas pencalonan presiden semestinya diturunkan agar kesempatan partai politik mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden lebih terbuka. Namun, seiring dengan tidak direvisinya undang-undang pemilu, wacana perubahan ambang batas pun berhenti di situ.
Selain wacana pengurangan angka ambang batas presiden, upaya membuka pencalonan presiden melalui jalur nonpartai politik juga pernah dilakukan. Sejumlah gugatan uji materi terkait syarat pencalonan presiden ini pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, tetapi selalu ditolak.

Salah satunya di tahun 2009 pernah diajukan oleh aktivis Fadjroel Rahman. Meskipun gugatan uji materinya ditolak, ada tiga hakim MK, yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Meski mendukung capres independen, ketiga hakim menilai belum bisa diterapkan pada Pemilu 2009, barangkali pada Pemilu 2014 atau Pemilu 2019 baru dapat diwujudkan.
Namun, waktu kemudian membuktikan, sampai Pemilu 2019, bahkan di Pemilu 2024 nanti calon presiden tetap hanya ada satu jalur pencalonan, yakni partai politik. Tak pelak, otoritas partai politik tetap menjadi kekuatan yang dominan dalam menentukan kepada siapa tiket calon presiden diberikan.
Baca juga : Ambang Batas Pencalonan Presiden yang Moderat Dibutuhkan
Capres otoritas
Jika mengacu jalur partai politik ini, tentu di atas kertas partai politik akan lebih banyak mengutamakan terlebih dahulu sosok ketua umum atau elite partainya untuk mencoba peruntungan dalam kontestasi pemilihan presiden.
Jika mengacu pada bursa nama calon presiden yang hari ini ramai beredar, baik berdasarkan survei maupun berbasis pada pemberitaan dan exposure di sosial media, sosok capres yang berpeluang lebih mudah mendapatkan tiket atas dasar otoritas partai ini akan lebih banyak dimunculkan oleh partai politik.
Kita lihat saja fenomena maraknya baliho di lapangan, hampir semuanya adalah sosok yang lebih dekat dengan otoritas partai. Sebut saja maraknya baliho yang mengusung foto Puan Maharani di lapangan yang mengusung tagar ”Kepak Sayap Kebhinekaan” terpasang di sudut-sudut kota.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fd37fd80f-327f-4ef8-9c40-2bb1d7289d3b_241221jpg_1640318653.jpg)
Baliho politisi yang terpasang di sejumlah tempat di Jakarta, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan, Senin (9/8/2021). Baliho dianggap sebagai medium yang efektif bagi politisi untuk memperkenalkan diri kepada publik. Namun, keberadaan baliho-baliho di ruang publik tersebut tidak mesti ditanggapi positif masyarakat. Maraknya baliho tersebut tidak terlepas dari hajatan pemilihan presiden pada 2024.
Baliho yang sama ini juga sempat viral di sosial media saat pemberian bantuan bagi korban erupsi Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Selain dikenal sebagai Ketua DPR, Puan adalah jajaran elite dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sekaligus putri dari Ketua Umum PDI Perjungan Megawati Soekarnoputri.
Hal yang sama juga ditemui dengan fenomena maraknya baliho dari Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Baliho yang mengusung tagar ”Kerja untuk Indonesia” ini marak di jalanan.
Pemasangan ini makin menegaskan upaya Golkar untuk mengangkat pamor ketua umumnya menjelang Pemilu 2024. Di baliho juga tertulis kalimat ”Airlangga Hartarto 2024”.
Langkah yang sama juga dilakukan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Muhaimin Iskandar dengan tagar ”Padamu Negeri Kami Berbakti” yang tertulis di baliho-baliho di jalanan.

Upaya ini main menguatkan keinginan PKB mem-branding ketua umumnya untuk persiapan 2024. Hal ini tampak dari branding nama ”Gus Muhaimin 2024” dalam baliho tersebut.
Selain ketiga nama elite politik di atas, pemasangan baliho juga dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, meskipun branding yang diangkat lebih pada institusi partai dengan tagar ”Partai Demokrat Nasionalis Religius”.
Terkait maraknya baliho elite ini, jajak pendapat Kompas pernah menurunkan laporannya yang menyatakan praktik baliho ini adalah iklan politik yang tak lepas dari agenda partai dan tokoh politik untuk mendongkrak popularitasnya menjelang Pemilu 2024.
Sayangnya, sebagian sebagian besar responden (74,8 persen) menilai langkah politisi memasang iklan politik saat pemerintah dan masyarakat fokus menangani Covid-19 dinilai tidak etis karena masyarakat masih dalam situasi perang menghadapi pandemi (Kompas, 23/8/2021).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F93ceebd0-4a98-4db9-92a0-fea7b1501ec1_jpg.jpg)
Lukisan presiden Republik Indonesia tergambar di sebuah tembok di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten, Rabu (18/8/2021).
Reaksi yang cenderung negatif ini bisa jadi juga terefleksi dari hasil sejumlah lembaga survei yang menyebutkan nama-nama sosok yang marak di baliho tersebut memiliki tingkat elektabilitas yang relatif masih rendah alias belum masuk kategori premium.
Hasil survei Litbang Kompas, misalnya, nama-nama seperti Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Abdul Muhaimin Iskandar, dan Agus Harimurti Yudhoyono belum masuk dalam sosok yang memiliki tingkat keterpilihan yang ”premium”.
Namun, harus diakui, nama-nama ini adalah representasi kuat dari partai politik, pemegang otoritas partai sekaligus pemilik kunci pencalonan presiden. Jika mereka resmi dicalonkan, nama-nama inilah yang menjadi capres berbasis otoritas partai.
Baca juga : Ambang Batas Presiden dan Kesetaraan dalam Pemilu
Capres elektabilitas
Berbeda dengan capres otoritas, calon presiden dari segmen elektabilitas adalah mereka-mereka yang memiliki tingkat keterpilihan premium yang rata-rata di atas 10 persen.
Dari sejumlah hasil survei sejumlah lembaga, termasuk Litbang Kompas, setidaknya ada tiga nama yang sejauh ini masuk dalam kategori ini. Ketiganya adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Dari ketiga nama ini, hanya Prabowo yang memiliki irisan, baik sebagai capres elektabilitas maupun sebagai capres otoritas. Selain sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra.

Sementara dua sosok lainnya, baik Anies maupun Ganjar hanya bertumpu pada jabatannya saat ini sebagai seorang gubernur. Anies dan Ganjar juga sama-sama bukan masuk dalam lingkaran pemegang otoritas partai.
Anies sendiri sampai hari ini belum tercatat sebagai kader dari partai politik tertentu. Sementara, Ganjar, meskipun dikenal sebagai kader PDI-P, ia bukanlah berasal dari lingkaran elite struktural di PDI-P. Apalagi ketegangan sempat terjadi di internal partai ini terkait langkah-langkah Ganjar dalam pencalonan presiden dengan munculnya frasa ”Celeng Vs Banteng”.
Baca juga : Membaca Sinyal dari Perjumpaan Megawati-Prabowo
Baik Anies maupun Ganjar, meskipun memiliki elektabilitas premium, keduanya tidak memiliki akses terhadap otoritas partai. Padahal, secara regulasi, posisi keduanya tentu berharap mendapat tiket pencalonan presiden dari partai politik.
Hal ini menjadi kelebihan Prabowo yang memiliki keduanya, baik elektabilitas maupun otoritas di dalam Partai Gerindra. Namun, dari sisi usia, Anies dan Ganjar relatif jauh lebih muda dari Prabowo.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat menyampaikan laporan pada peresmian Tugu Api Semangat Indonesia Merdeka Tidak Pernah Padam di Lapangan Bela Negara, Kementerian Pertahanan, Jakarta, Selasa (9/11/2021).
Dengan komposisi pemilih di Pemilu 2024 nanti, hampir 60 persen adalah mereka yang berusia 17-40 tahun, tentu usia calon presiden bisa jadi menjadi faktor yang dipertimbangkan pemilih.
Selain bertumpu pada elektabilitas, Anies dan Ganjar juga ditopang oleh panggung dari jabatan publik yang didudukinya saat ini, yakni sebagai gubernur.
Namun, dengan sisa masa jabatan yang segera berakhir sebelum Pemilu 2024, bahkan Oktober tahun ini Anies harus mengakhiri jabatan, popularitas dan elektabilitas keduanya akan diuji setelah tidak menjabat gubernur lagi.
Pada akhirnya, kurang lebih tiga tahun menjelang Pemilu 2024, panggung politik akan diwarnai oleh pasang surut hubungan antara aspek otoritas dan elektabilitas dalam penentuan calon presiden.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F72c2b232-a0a5-4517-bb21-ae48b82da082_jpg.jpg)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam wawancara khusus seusai peresmian pengangkatan rangka atap Jakarta International Stadium (JIS) di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (16/6/2021).
Tentu, selain variabel keduanya, modal ekonomi tak bisa dimungkiri juga berperan dalam pergulatan penentuan sosok calon presiden. Di isu inilah kemudian nama-nama pengusaha yang kini juga menempati jabatan publik, seperti Erick Thohir maupun Sandiaga Uno, memiliki peluang yang tidak jauh berbeda, baik sebagai sosok capres maupun cawapres dari segmen otoritas partai atau segmen elektabilitas.
Baca juga : Mungkinkah Elektabilitas Anies Baswedan Melejit di Tahun 2022?
Namun, fenomena menjelang Pemilu 2014 bisa menjadi rekam jejak yang baik untuk memprediksi apa yang terjadi di 2024 nanti. Ketika itu nama Jokowi muncul sebagai calon presiden, terutama setelah terpilih dan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Saat itu, elektabilitas Jokowi meroket, bahkan mampu melewati elektabilitas Prabowo yang sebelumnya selalu di berada di posisi teratas tingkat keterpilihan sebagai presiden. Fakta ini kemudian membuat PDI-P pada akhirnya memberikan tiket pencalonan presiden kepada Jokowi.
Baca juga : Tahun 2022 Masihkah Ganjar Berjaya?
Pada akhirnya, otoritas partai juga tidak bisa mengabaikan unsur elektabilitas. Bagaimanapun ketika dihadapkan pada kontestasi, semua peserta pemilu berharap meraih kemenangan. Elektabilitas tinggi menjadi garansi potensi kemenangan tersebut.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2FGubernur-Jateng-Ganjar-Pranowo_1584258618.jpg)
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memberi keterangan pers terkait kasus positif Covid-19 di Jateng di rumah dinasnya di Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (15/3/2020).
Aspek otoritas dan elektabilitas akan menjadi rumus baku yang menentukan arah penentuan calon presiden, termasuk arah bagaimana koalisi partai politik dibangun di Pemilihan Presiden 2024 nanti.
Calon presiden dengan tingkat keterpilihan tinggi tak ada guna jika ia tak mendapatkan dukungan dari segmen otoritas partai. Otoritas partai juga akan dianggap abai terhadap suara publik jika ia menutup pintu bagi hadirnya sosok calon presiden yang diinginkan publik. Pada saatnya nanti, keduanya memang harus bertemu untuk menarik simpati pemilih. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Lebih dari Dua Calon Presiden, Lebih Baik