Pandemi Covid-19 mengubah segalanya, termasuk cara pandang seseorang dalam menentukan prioritas kegiatan di luar ruangan. Di tengah keterbatasan aktivitas, lilin harapan untuk bebas beraktivitas tetap menyala.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas pengunjung mengelilingi sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, Minggu (2/1/2022). Mobilitas penduduk meningkat seiring terkendalinya pandemi Covid-19, mendorong geliat perekonomian dan keyakinan konsumen.
Untuk menyambut tahun yang baru, banyak harapan dan kegiatan yang hendak dilakukan oleh setiap individu. Dalam memutuskannya, seseorang tentu akan meninjau lagi skala prioritas.
Situasi pandemi telah merenggut kebebasan untuk melakukan aktivitas sesuka hati. Kondisi yang terjadi dalam dua tahun terakhir itu telah membatasi kegiatan sosial setiap individu.
Namun, tak bisa bepergian bukan berarti tertinggal jauh. Kerinduan beraktivitas secara bebas di luar ruangan tetap ada. Sejumlah orang masih menyimpan harapan untuk bisa kembali berinteraksi dan melakukan kegiatan sebelum masa pandemi yang sempat terhenti.
Harapan saya di tahun 2022, pertandingan olahraga membolehkan penonton untuk datang. Saya ingin menyemangati pemain bulu tangkis Indonesia secara langsung. (Rosida Silitonga)
Hal itu terlihat dari hasil jajak pendapat interaktif bertema ”Ayo Bercerita, Apa yang Ingin Kamu Lakukan Lagi di 2022?” yang diadakan di Kompasi.id pada 24 Desember-30 Desember 2021. Pembaca Kompas diajak untuk berbagi kisah dan pandangan terkait rencana yang ingin dilakukan pada tahun 2022.
Total ada 50 responden yang mengisi jajak pendapat interaktif. Mereka pun bersedia komentarnya di jajak pendapat itu menjadi materi tulisan ini.
Hasilnya, ada yang rindu untuk bepergian ke luar negeri, menonton konser musik, berkunjung ke pameran seni, menonton pertandingan olahraga, berenang di tempat umum, dan berkumpul dengan keluarga besar tanpa khawatir.
Selama dua tahun pandemi, sejumlah pertandingan olahraga digelar tanpa penonton. Bagi penggemar olahraga, rasanya kurang mantap jika tak datang ke lokasi dan melihat langsung di tribune penonton.
”Harapan saya di tahun 2022, pertandingan olahraga membolehkan penonton untuk datang. Saya ingin menyemangati pemain bulu tangkis Indonesia secara langsung,” ucap Rosida Silitonga (56), responden yang bermukim di Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Sebelum pandemi, dua ajang bulu tangkis bergengsi hadir di Tanah Air, yaitu Indonesia Masters dan Indonesia Super Series. Pada tahun ini, dua ajang itu dilangsungkan tanpa penonton di Bali.
Selama ini, semua pertandingan bulu tangkis tim Indonesia ditonton Rosida melalui televisi dan siaran langsung melalui internet.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pemandangan aerial Sirkuit Internasional Jalan Raya Pertamina Mandalika di bibir pantai di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pantai Kuta, Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (22/11/2021).
Bahkan Muhammad Zulfadli (40) sudah melakukan reservasi tiket pesawat dari Makassar, Sulawesi Selatan, ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, demi menonton langsung MotoGP 2022 seri Indonesia di Sirkuit Internasional Mandalika. Menurut rencana, perhelatan perdana MotoGP di Mandalika itu akan berlangsung pada 20 Maret.
”Sungguh, saya tak ingin melewatkan momen bersejarah bisa menyaksikan ajang balap motor paling bergengsi di dunia yang menakjubkan itu. Saya benar-benar tidak sabar menantikannya. Semoga bisa terwujud,” ujarnya.
Sebelum pandemi, dia pernah menyaksikan secara langsung upacara pembukaan dan beberapa pertandingan cabang olahraga di Asian Games 2018 di Jakarta.
Adapun Christopher Hadrian (18), mahasiswa yang bermukim di Yogyakarta, merindukan tenggelam dalam suasana konser musik. Menurut dia, momen menonton konser secara langsung memberikan banyak hal indah yang bisa dirasakan.
Sebagai pencinta musik, ia berharap konser musik bisa digelar dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Ia meyakini, jika konser diadakan, penonton akan antusias dan bahagia. Hal itu akan meningkatkan imun tubuh dan membantu musisi dari keterpurukan selama pandemi.
Harapan serupa juga diungkapkan Kana Kurnia (28) dan Sipin Putra (37). Ikut hadir secara fisik di lokasi konser memang memberikan sensasi yang menyenangkan. Suasananya jauh berbeda dari sekadar mengikuti konser secara daring.
Budaya baru
Sejumlah responden memberikan jawaban yang kompak perihal bayangan kehidupan pascapandemi, seperti terbiasa untuk bermasker setiap hari, menghindari kerumunan, melengkapi kebutuhan protokol kesehatan, dan pentingnya menjaga kesehatan.
Rasa traumatis itu menjadi dasar bagi setiap orang untuk mempertimbangkan lebih baik tidak bepergian atau liburan di rumah saja. Mereka memetik pelajaran berharga, lalu mencoba beradaptasi dari peristiwa di sekitar sehingga tumbuhlah kesadaran untuk meminimalkan risiko penularan Covid-19. (Arie Sujito)
Seiring berjalannya waktu, hal-hal tersebut menjadi budaya baru yang terbentuk dalam keseharian. Kesadaran untuk menjaga diri sendiri dan orang sekitar pun tumbuh.
”Pada dunia pascapandemi, orang-orang akan membiasakan dengan kegiatan bekerja melalui rumah sehingga tidak perlu capek untuk melakukan perjalanan jauh. Ketika berkerumun, orang-orang tanpa disadari akan tetap menggunakan masker dimana pun, kecuali saat makan,” tutur Vin (22), yang bermukim di Muntilan, Jawa Tengah.
Kompas/Wawan H Prabowo
Pengunjung memindai kode batang dalam aplikasi pedulilindungi saat akan memasuki Mal Gandaria City, Jakarta Selatan, Selasa (28/12/2021). Aplikasi pedulilindungi telah menjadi syarat wajib yang harus dimiliki oleh masyarakat yang ingin memasuki mal.
Pandemi turut memaksa sebagian orang untuk beradaptasi cepat. Hampir beragam aktivitas mungkin dilakukan secara daring tanpa terkecuali. Menurut Viktor Juru (29), seorang guru di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, orang-orang akan semakin terpacu dengan kemajuan digital.
Ia menilai, pandemi menunjukkan siapa yang lambat bergerak menyesuaikan kemajuan zaman akan tersisihkan. Kemajuan, lanjutnya, hanya akan diperoleh dengan mengikuti perkembangan teknologi secara bijak, kritis, dan penuh harapan.
Memasuki tahun ketiga pandemi Covid-19, masyarakat masih akan terus beradaptasi secara bertahap dengan meminimalkan risiko dalam berinteraksi dan berkegiatan, seperti dikatakan Arie Sujito, sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Untuk mengurangi risiko penularan Covid-19, ujar Arie, masyarakat akan lebih rasional untuk mempertimbangkan banyak hal. Tidak gegabah dengan nekat bepergian jika tidak mendesak, mereka memikirkan faktor risiko yang terjadi, terutama potensi terpapar virus.
Memang virus tidak terlihat, tetapi dampaknya begitu besar. Bagi sebagian orang, hal itu bisa memberikan efek traumatis atau mengguncang jiwa sehingga menghadirkan perspektif hidup baru.
”Rasa traumatis itu menjadi dasar bagi setiap orang untuk mempertimbangkan lebih baik tidak bepergian atau liburan di rumah saja. Mereka memetik pelajaran berharga, lalu mencoba beradaptasi dari peristiwa di sekitar sehingga tumbuhlah kesadaran untuk meminimalkan risiko penularan Covid-19,” ucap Arie.