ICJR mengapresiasi materi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena ada sejumlah kemajuan. Namun, ICJR menganggap RUU itu masih kurang dalam tiga aspek untuk menjamin penguatan perlindungan korban kekerasan seksual.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
Kompas/Priyombodo
Aksi memperingati Hari Ibu di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat, Rabu (22/12/2021). Mereka menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
JAKARTA, KOMPAS — Institute for Criminal Justice Reform memberikan tiga catatan kritis pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disusun Badan Legislasi DPR. Secara substansi, draf tersebut diapresiasi karena ada kemajuan. Namun, draf dianggap masih kurang dalam tiga aspek untuk menjamin penguatan perlindungan korban.
Dalam laporan berjudul ”Perjalanan (Panjang) Menanti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Bagaimana Perjalanannya dan Apa yang Harus Didorong Ada dalam RUU TPKS” yang diterbitkan oleh ICJR disebutkan, pada dasarnya draf RUU TPKS versi Badan Legislasi (Baleg) DPR 8 Desember 2021 dapat diapresiasi karena ada perkembangan substansi draf yang mengarah pada kemajuan.
Mulai dari pengaturan ketentuan tindak pidana yang mengarah pada penghindaran duplikasi pengaturan yang sudah ada; adanya ketentuan tindak pidana yang berkaitan dengan pelecehan seksual dalam ranah elektronik; hingga akomodasi substansi yang sempat hilang mengenai sikap aparat penegak hukum dalam berinteraksi dengan korban kekerasan seksual.
Namun, peneliti ICJR Maidina Rahmawati, Minggu (16/1/2022), menuturkan, masih ada tiga catatan kritis yang perlu direspons untuk menjamin penguatan perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia. Tiga catatan itu, di antaranya, adalah pengaturan tindak pidana, pengaturan perlindungan hak korban, dan pengaturan hukum acara.
Terkait dengan pengaturan tindak pidana kekerasan seksual dalam Pasal 1 angka 2 RUU TPKS, definisi kekerasan seksual mencakup definisi dari berbagai UU yang juga mengatur tentang kekerasan seksual. Ini dinilai memberikan jaminan korban memperoleh hak yang sama dengan hak yang diatur dalam RUU TPKS. Namun, aturan itu belum memuat rumusan yang menentukan rentang perbuatan kekerasan seksual yang telah diatur di UU lain.
Oleh karena itu, RUU TPKS perlu membuat daftar perbuatan dalam UU lain yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Ketentuan ini perlu dirumuskan dalam pasal tindak pidana atau dalam ketentuan penutup.
”Misalnya terkait dengan pelecehan seksual berbasis online. RUU TPKS perlu mencegah korban pelecehan seksual elektronik dijerat dengan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang larangan distribusi/transmisi/membuat konten yang dapat diakses dengan melanggar kesusilaan. Ini juga diatur dalam pasal 4, 8, 9, dan 10 UU Pornografi,” kata Maidina.
Maidina juga berpandangan, ketentuan peralihan RUU TPKS perlu mencegah korban dilaporkan kembali atas dugaan tindak pidana kesusilaan atau pornografi. Termasuk, kemungkinan untuk menghapus pasal yang berpotensi mengkriminalisasi korban.
Contoh dari kasus tersebut seperti dialami guru korban kekerasan seksual Baiq Nuril. Baiq justru dikriminalisasi saat hendak melaporkan ancaman kekerasan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah. Baiq dijerat dengan ancaman pasal UU ITE dan dihukum oleh pengadilan. Meski kemudian dia dibebaskan setelah mendapatkan pengampunan hukuman atau amnesti dari Presiden Joko Widodo.
Selain itu, catatan kritis kedua dari ICJR adalah terkait dengan ketentuan perlindungan korban kekerasan seksual. ICJR dan koalisi masyarakat sipil lainnya di 2021 sudah mengklasifikasikan empat tantangan dalam memenuhi hak korban kekerasan seksual.
Empat tantangan itu meliputi aspek regulasi, struktur fasilitas atau layanan, penganggaran, dan sumber daya manusia. Di tataran regulasi, RUU TPKS dianggap perlu mengatur jenis-jenis hak secara komprehensif.
Pengaturan itu harus menjangkau hak prosedural, hak layanan yang terdiri dari layanan kesehatan darurat seperti kontrasepsi, aborsi, dan visum gratis, pencegahan penyakit, rehabilitasi medis dan sosial, rehabilitasi psikososial, rumah aman, dan hak pemulihan yang terdiri dari pendampingan komprehensif, pemulangan atau reintegrasi, jaminan sosial, restitusi, dan kompensasi.
Kompas/Hendra A Setyawan
Ketua DPR Puan Maharani (tengah) melakukan audiensi dengan sejumlah akademisi hingga aktivis perempuan terkait RUU TPKS di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/1/2022).
”Terkait dengan hak pemulihan, RUU TPKS juga harus membuka peluang pengaturan kompensasi. Negara sudah menganggarkan biaya untuk kastrasi kimia dan rehabilitasi dalam UU Perlindungan Anak. Namun, negara belum memberikan kompensasi khusus kepada korban kekerasan seksual. Pemulihan korban harus berjalan dengan baik dengan mengikutsertakan upaya pemulihan dari negara,” papar Maidina.
Peran negara dalam menyediakan kompensasi atau pemulihan korban dianggap dapat dilakukan melalui mekanisme dana crime victims funds atau dana yang dikelola negara dari pembayaran sanksi-sanksi finansial yang merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ini bisa dikelola dan dialokasi untuk biaya pemulihan korban, pemulihan komprehensif, ataupun pemulihan korban yang tidak diproses hukum.
Dalam pendampingan kasus kekerasan seksual, terkadang pelaku tidak dapat dijerat pidana, pelaku meninggal dunia, atau korban tidak mengetahui siapa pelakunya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Tuntutan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terlihat di tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2021).
Terakhir, ICJR menyarankan agar RUU TPKS memberikan terobosan hukum terkait dengan hukum acara pidana. Dalam draf RUU yang disusun Baleg DPR, banyak pembaruan hukum acara yang dianggap telah memberikan kemudahan pelaporan dari korban dan keluarga korban. Selain itu, sudah ada pengaturan sikap tindak aparat penegak hukum, hingga mekanisme pemeriksaan elektronik. Namun, hal itu dianggap masih perlu diperkuat lagi.
Terutama dengan memasukkan aturan jaminan penggunaan alat bukti hasil pemeriksaan forensik, baik DNA maupun non-DNA. Ini harus ditekankan dalam RUU TPKS karena dianggap akan mengakomodasi hak saksi dan korban dengan disabilitas.
Selain itu, pengaturan mekanisme pemeriksaan dengan perekaman elektronik dan pertemuan pendahuluan tidak hanya dibatasi di tahap penyidikan. Pengaturan tentang ketentuan teknis acara untuk hak yang membutuhkan implementasi khusus, misalnya hukum acara tentang penetapan perintah perlindungan sementara juga harus dimasukkan dalam ketentuan RUU TPKS.
Kompas/Raditya Helabumi
Beragam sepatu diletakkan di depan gerbang Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, dalam aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Rabu (25/11/2020).
Keberpihakan terhadap korban
Secara terpisah, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini menyampaikan, soal definisi dan rumusan hukum di RUU TPKS memang masih harus didiskusikan secara komprehensif dan inklusif dalam pembahasan UU di DPR. Pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR, diminta untuk membuat kebijakan yang becermin pada situasi korban dan bagaimana untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Catatan Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun, yaitu sejak 2008-2019, kekerasan terhadap perempuan naik hampir 800 persen. Pada tahun 2008, ada 54.425 kasus, tahun 2019 menjadi 431.471 kasus. Hal ini menjadi argumen dan dasar betapa pentingnya untuk segera mengesahkan RUU TPKS.
Theresia menambahkan, pembuat UU juga harus berhati-hati dan menyerap aspirasi publik seluas-luasnya, terutama saat membahas aturan yang dianggap kontroversial seperti pengaturan mengenai konsep persetujuan consent dalam hubungan seksual. Ini harus dibahas secara mendalam agar keberpihakan dan perspektif korban dapat diletakkan sebagai pegangan dalam membuat rumusan pasal di RUU TPKS.
”Ini menjadi tugas dari DPR karena mereka dibayar untuk itu. Dokumen sudah diserahkan semua kepada mereka. Tinggal kemauan politik saja untuk membuat regulasi yang benar-benar dibutuhkan publik. Semoga, RUU TPKS bisa menjadi branding dan legacy pembentuk UU kepada publik,” kata Theresia.
TANGKAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Ketua DPR Puan Maharani pada Rapat Paripurna DPR, Selasa (11/1/2022), menyatakan, DPR akan segera mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR, pada Selasa (18/1/2022).
Sebelumnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sudah sama-sama menyampaikan komitmen untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU TPKS guna melindungi warga negara dari kekerasan seksual yang merebak.
Masyarakat sipil berharap komitmen tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata dengan membahas RUU secara inklusif dan memastikan semua pasal yang memberikan jaminan perlindungan bagi korban masuk daftar inventarisasi masalah dari pemerintah.
Pada Selasa (4/1/2022), Presiden Joko Widodo meminta jajarannya segera menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) meski draf RUU TPKS belum selesai disetujui menjadi RUU inisiatif DPR. Pembahasan diharapkan bisa segera berjalan begitu DPR mengusulkan RUU TPKS kepada pemerintah.
Adapun Ketua DPR Puan Maharani dalam pidatonya saat Rapat Paripurna DPR, Selasa (11/1/2022), menyatakan, DPR akan menyetujui RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR pada rapat paripurna, Selasa (18/1/2022).