”Dunia Persilatan” Merdeka Belajar Local
Kebijakan Merdeka Belajar berpotensi menciptakan kekerasan struktural, yaitu pada sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang tidak mampu mengikuti balapan kebijakan Merdeka Belajar.

Ilustrasi
Tak menunggu waktu lama bagi Mas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk terus menggulirkan kebijakan Merdeka Belajar yang digagasnya. Sejak diluncurkan pada akhir tahun 2019, beragam gebrakan telah dilakukan. Keseluruhan kebijakan Merdeka Belajar itu kini telah mencapai episode ke-20, yaitu Praktisi Mengajar.
Kebijakan Merdeka Belajar itu memang semacam dorongan atas mandeknya pengelolaan pendidikan selama ini. Dengan kebijakan Merdeka Belajar, institusi pendidikan dan peserta didik, baik mahasiswa maupun pelajar, mendapatkan semacam ”percikan” untuk bergerak. Dan, itu menjadi stimulan yang mencengangkan.
Bayangkan, saat ini mahasiswa dapat kuliah sampai satu semester di luar program studinya. Bahkan, dapat menempuh belajar di luar negeri tanpa takut kehilangan waktu menyelesaikan studi karena kegiatan tersebut akan dikonversi menjadi nilai akhir.
Baca juga : Merdeka Belajar Kampus Merdeka dan Roh ”Universitas”
Demikian juga di tingkat sekolah, guru dan sekolah bergerak lebih leluasa. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dikirimkan langsung ke sekolah, guru diminta menjadi pionir keteladanan, SMK dijadikan pusat keunggulan, dan saat ini sekolah hanya mengirimkan laporan dalam bentuk rapor.
Semua lini pendidikan dijadikan area perubahan. Target Merdeka Belajar memang mencoba menciptakan suasana yang lebih hidup di semua jenjang pendidikan agar konsumen utama pendidikan, yaitu siswa dan mahasiswa, dapat menjadi lulusan yang kompeten, diserap pasar, sigap, dan kreatif, tetapi tetap berkarakter Indonesia.
Saya berjumpa dengan beberapa mahasiswa saya. Mereka berkata ingin belajar di kampus-kampus lain di luar provinsi. Selain ingin mendapatkan teman baru, mereka ingin mendapatkan pengalaman dengan berinteraksi dengan mahasiswa lain. Tentu sembari melihat tempat-tempat lain yang tidak pernah dijalaninya.
Merdeka Belajar menciptakan motivasi yang mendorong mahasiswa dan juga dosen untuk memimpikan sesuatu yang baru, pada level praktis, yang tidak bisa dibayangkan sebelumnya.
Ya, Merdeka Belajar menciptakan motivasi yang mendorong mahasiswa dan juga dosen untuk memimpikan sesuatu yang baru, pada level praktis, yang tidak bisa dibayangkan sebelumnya. Ambil contoh episode ke-20 Merdeka Belajar yang menyentuh dunia pendidikan tinggi, kini berpeluang diwarnai oleh para praktisi. Meski mereka bukan dosen ber-NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional) atau ber-NIDK (Nomor Induk Dosen Khusus), Merdeka Belajar memberikan ruang baru kepada mereka yang mungkin jauh lebih berpengalaman soal dunia nyata.

Dengan demikian, perlahan-lahan ada gairah yang muncul untuk menggunakan kesempatan Merdeka Belajar ini pada semua level. Jujur kita akui, saat ini semua lembaga pendidikan dipaksa berlari karena pemerintah menyediakan stimulan pendanaan yang tidak sedikit. Mau maju, maka harus ikut berkompetisi. Dan, mereka yang bergerak lamban, hanya jadi penonton.
Begitulah wajah pengelolaan pendidikan kita, coba dimerdekakan mulai dari dalam institusinya. Untuk melakukannya, Mas Menteri tidak perlu repot untuk mendisain aturan baru. Seluruh pijakan kebijakan Merdeka Belajar sebenarnya hanyalah implementasi dari undang-undang atau peraturan yang sebelumnya telah ada. Mas Menteri hanya tinggal tancap gas belaka.
Baca juga: Belajar Merdeka Melalui Merdeka Belajar
ABS
Namun harus diakui jika Mas Menteri perlu mendorong kebijakan Merdeka Belajar ini dengan menciptakan suasana yang jujur atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Sudah lama ada idiom di negeri ini yang dinyatakan dengan istilah, “Asal Bapak Senang” (ABS). Artinya, laporan pelaksanaan kegiatan Merdeka Belajar seolah bagus-bagus saja, tetapi sesungguhnya banyak penyimpangan di dalam pelaksanaannya.
Saya bertanya kepada seorang guru SMK di sebuah provinsi di Kalimantan mengenai implementasi pelaksanaan Merdeka Belajar ini. Ia dengan jujur berkata bahwa “pemerintah tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada dunia persilatan di tingkat bawah”. Dunia persilatan, adalah ungkapan sinisme yang menunjukkan ruang-ruang gelap nan penuh sandiwara yang telah lama dipraktikkan selama ini.
Laporan pelaksanaan kegiatan Merdeka Belajar seolah bagus-bagus saja, tetapi sesungguhnya banyak penyimpangan di dalam pelaksanaannya.
Ia menjelaskan bahwa teori Merdeka Belajar hanya bagus di atas kertas. Untuk menilai Kompetensi Dasar (KD), mereka sama sekali tidak pernah melakukan penilaian yang berbeda-beda untuk setiap siswa sebagaimana diharapkan dalam kurikulum Merdeka Belajar.
Jika itu dilaksanakan, jelas sangat menyibukkan karena mereka kekurangan sumber daya manusia (SDM) apalagi sekolah di wilayah pedalaman. Alhasil, mereka bahkan sama sekali tidak mengejar KD yang tidak tercapai, meski pada akhirnya diujian-akhirkan baru-baru ini. Laporan penilaian? Ya itulah laporan ABS tadi. Pemerintah tahunya semua beres di lapangan.

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim ketika menjelaskan Kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Ia menambahkan bahwa kurikulum Merdeka Belajar tidak bisa diterapkan di sekolahnya jika tujuannya untuk meningkatkan kemandirian siswa. Alih-alih belajar sendiri, sumber informasi pun sulit didapatkan karena jaringan internet yang tidak memadai.
Bagi wilayah perkotaan, mungkin mudah mengimplementasikan penugasan dan pemberian pelajaran yang mendorong kemandirian karena siswa memiliki akses informasi yang memadai. Tidak demikian halnya dengan siswa di wilayah yang internetnya tidak tersedia. Ujung-ujungnya, sumber informasi tetap saja dari mulutnya guru, seperti cara yang lama, jelas teman saya tersebut.
Memang praktik-praktik “dunia persilatan” kebijakan Merdeka Belajar tersebut sering terjadi di ruang kelas-ruang kelas di tiap sekolah atau kampus.
Ia menambahkan bahwa kurikulum Merdeka Belajar tidak bisa diterapkan di sekolahnya jika tujuannya untuk meningkatkan kemandirian siswa.
Ambil contoh di perguruan tinggi. Beberapa bulan lalu pemerintah memaksa setiap dosen menyerapkan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang sudah berisi metode penilaian kemampuan mahasiswa yang saat ini diminta lebih banyak berbasis pada penilaian berbentuk studi kasus dan diskusi. Demi mengejar pengisian sesuai panduan, perguruan tinggi sampai mengadakan pelatihan-pelatihan kepada dosen untuk membuat SAP.
Di atas kertas, SAP tersebut mungkin sudah diserahkan oleh dosen. Tetapi siapa yang tahu praktik SAP tersebut di kelas? Tetap saja “dunia persilatan” ini penuh dengan laporan indah nan cemerlang. Bukankah sulit bagi dosen senior untuk beradaptasi dengan sistem pembelajaran yang memandirikan mahasiswa dengan segala variasi latar belakang mahasiswa tersebut? Bukankah dosen sudah terbiasa menjadi “narasumber” ilmu pengetahuan di kelas-kelas dunia perguruan tinggi?
Baca juga: Memerdekakan Kurikulum Merdeka
Alhasil, saya kuatir jika kebijakan Merdeka Belajar ini justru pada akhirnya hanya akan menciptakan kasta baru di dunia pendidikan. Bagaimana bisa? Kampus-kampus dengan bahan baku mahasiswa yang telah terbiasa belajar, serta dosen-dosen yang lebih cepat adaptif atas kebijakan, memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk bergabung dalam roh kebijakan Merdeka Belajar. Merekalah yang saat-saat seperti ini, sigap menangkap peluang pendanaan kompetitif, pengiriman mahasiswa dan dosen, dan pengelolaan perguruan tinggi yang bermutu.
Demikian juga dengan sekolah dan siswa yang berada di perkotaan dan kawasan yang maju, serta guru-guru yang selama ini bergairah mengembangkan diri, merekalah yang bisa mengubah diri, menguasai kurikulum dan menangkap kesempatan yang diberikan melalui Merdeka Belajar. Dalam waktu 10 tahun lagi, kapasitas mereka akan jauh lebih besar, lebih berkembang sesuai kebutuhan pasar dan lebih terbiasa kreatif.
Kampus dan sekolah di luar itu? Ya tetap hidup dalam ABS, dalam “dunia persilatan” yang menutup-nutupi kenyataan.

Didie SW
Mas Menteri pernah menyatakan bahwa salah satu dosa besar pendidikan adalah kekerasan di lembaga pendidikan. Justru kesenjangan dalam pelaksanaan Merdeka Belajar, telah menciptakan ketimpangan pencapaian dan pelaksanaan yang berisi kebohongan, setidaknya dari informasi teman saya tadi. Itu baru satu orang informan. Belum lagi kalau kita melakukan sebuah riset mandiri mengenai praktik Merdeka Belajar ini.
Maka kebijakan Merdeka Belajar berpotensi menciptakan kekerasan struktural (structural violence). Kekerasan seperti ini terjadi karena kita telanjur terjebak dalam euforia Merdeka Belajar, dengan segala lajunya yang menggembirakan, lupa pada praktiknya pada tingkat kelas.
Baca juga: Pendidikan yang Mencerdaskan
Kekerasan struktural ini berarti membiarkan potensi kekerasan terjadi kelak pada sekolah-sekolah dan kampus yang saat ini tidak mampu mengikuti balapan kebijakan Merdeka Belajar. Kekerasan struktural bisa terjadi karena kebijakan yang dibuat lebih mementingkan gaung daripada esensi. Dan alih-alih menghapus dosa dunia pendidikan, kita justru sedang meneruskan dosa kekerasan struktural di dunia pendidikan.
Kita berharap Kemendikbudristek tidak melepaskan tanggung-jawab pelaksanaan Merdeka Belajar ini kepada penggunanya, seolah semua beres. Terlalu besar dampak yang ditimbulkan jika kebijakan ini justru pada akhirnya hanya menghasilkan ketimpangan. Kasihan siswa dan mahasiswa yang tak bisa mengikuti Merdeka Belajar dengan benar. Mereka juga punya hak.
Fotarisman Zaluchu, Pengajar di Prodi Antropologi Sosial FISIP Universitas Sumatera Utara; Pegiat di Perkamen

Fotarisman Zaluchu