Relik rambut Batin Tikal menjadi bukti historis dan otentik tentang diaspora dan perlawanan bangsawan Goa dan Banten menentang kolonialisme Barat di Asia Tenggara. Relik rambut Batin Tikal memiliki kekuatan istimewa.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
ARSIP PRIBADI
Linda Christanty
Musim hujan tahun 2004. Setahun sebelum berangkat ke Aceh, saya menemani Erwiza Erman, seorang profesor riset di bidang sejarah sosial ekonomi Asia Tenggara, untuk melihat langsung relik rambut Batin Tikal di Kampung Gudang, Bangka Selatan. Erwiza tengah meneliti sejarah sosial ekonomi di Pulau Bangka dan sekitarnya dari abad ke-18 sampai abad ke-20.
Batin Tikal adalah pejuang terbesar di Bangka-Belitung, yang konsisten melawan kolonialisme Barat selama tiga dasawarsa sampai akhirnya dia dibuang oleh kolonial Belanda ke Manado, Sulawesi Utara. Relik rambutnya menjadi bukti historis dan otentik tentang fakta keberadaan diaspora dan perlawanan bangsawan Goa dan Banten menentang kolonialisme Barat di Asia Tenggara, yang terekam dalam arsip kolonial dan arsip negara-negara di kawasan tersebut dari abad ke-17 sampai abad ke-19.
Relik rambut Batin Tikal turut membentuk sejarah Indonesia, sebagaimana relik telah membentuk sejarah Eropa dan diungkap Charles Freeman dalam bukunya, Holy Bones, Holy Dust: How Relics Shaped the History of Medieval Europe. Relik adalah bagian dari jasad orang yang dianggap suci, sakral, otentik, dan berpengaruh dalam sejarah.
Perjalanan bermobil kami ke Kampung Gudang waktu itu melewati situs penting bersejarah, yaitu sungai dan bekas benteng Bangka Kota. Adik saya, Tubagus Budi Tikal, memandu perjalanan penelitian tersebut untuk mengakses langsung relik rambut Batin Tikal dan membuka rahasia keluarga.
Pada abad ke-17, Sultan Agung Tirtayasa meminta kakak iparnya, Daeng Mangika, putra Raja Goa Karaeng Bisei dan cucu Sultan Hasanuddin, pergi ke Sumatera dengan tujuan memperkuat pengaruh Kesultanan Banten. Karaeng Fatimah, permaisuri Sultan, memutuskan ikut abangnya, Daeng Mangika. Dia memilih berpisah dengan Sultan Banten dan kelak bercerai lalu menikahi Sultan Jambi Abdul Mahji atau Sri Ingalogo. Karaeng Ilang ri Tappa’na, putra Muhti Agung Kesultanan Banten Syeh Yusuf Al Makassari, bergabung dengan rombongan kesultanan ini. Ketika para bangsawan Goa tersebut menetap di Jambi, pecah perang yang melibatkan Kesultanan Jambi, Kesultanan Johor, Kesultanan Palembang, Kerajaan Ayutthaya (sekarang Kerajaan Thailand), dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Perang memicu kesalahpahaman antara Daeng Mangika dan iparnya, Sultan Jambi. Daeng Mangika meninggalkan Jambi untuk bersekutu dengan Sultan Palembang Abdurrahman. Dia kemudian diangkat menjadi panglima perang Kesultanan Palembang dan diberi hak menguasai pesisir barat Pulau Bangka dalam misi membangun kekuatan militer untuk mempertahankan Kesultanan Palembang dari serangan musuh. Karangeng Ilang ri Tappa’na ikut Daeng Mangika ke Pulau Bangka. Dia adalah kakek kandung Batin Tikal dari sebelah ayah.
Erwiza menulis dalam bukunya, Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung: Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap, bahwa Batin Tikal ini bernama asli Ahmad atau dipanggil Syeh Ahmad, merupakan cicit kandung Syeh Yusuf Al Makassari, dan memiliki ahli waris yang terkonfirmasi.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Warga Palembang antusias menonton bareng pembukaan Asian Games 2018 di Benteng Kuto Besak, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (18/8/2018).
Perang Bangka (1819-1851) diawali dan diakhiri Batin Tikal dengan menaklukkan simbol kekuasaan tertinggi kolonial Belanda, sipil maupun militer. Pada 14 November 1819, dia memenggal kepala Residen Bangka-Belitung Smissaert, simbol kekuasaan politik tertinggi kolonial di Bangka-Belitung, di Sungai Buku, Kampung Zed, Kabupaten Bangka, lalu membawa kepala itu ke Benteng Kuto Besak di Palembang untuk menyerahkannya kepada Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai tanda persekutuan dengan Palembang melawan kolonial. Sejak 1812, Pulau Bangka bukan lagi wilayah kuasa Kesultanan Palembang dan VOC berdasarkan perjanjian Inggris dan Palembang. Hubungan Batin Tikal dan Mahmud Badaruddin II setara dalam perjuangan, yakni sesama pejuang antikolonial.
Akibat memimpin perlawanan panjang melawan kolonial, Batin Tikal ditangkap dalam perundingan dengan Belanda pada 25 Februari 1851. Komandan operasi militer Belanda, Mayor Becking, mencoba memotong rambut Batin Tikal, tetapi sia-sia. Di tengah pemotongan rambut yang berkali-kali gagal itu petir sambar-menyambar, hujan turun deras, badai melanda, terjadi kebakaran di gedung pemerintahan kolonial Distrik Sungai Selan, dan tiang bendera patah. Batin Tikal terpaksa memotong rambutnya sendiri. Tubuh Mayor Becking tiba-tiba kaku. Tak lama kemudian sang mayor terbang ke alam baka.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Suasana Sumsel Millenial Road Safety Festival yang digelar di kawasan Benteng Kuto Besak, Jembatan Ampera, Kota Palembang, Sabtu (9/3/2019).
Sejarah lisan Bangka, memori kolektif orang Bangka, dan arsip kolonial menyatakan bahwa relik rambut Batin Tikal memang memiliki kekuatan istimewa. Antropolog asal Austria, Eric Wolf, menulis bukunya, Europe and the People without History, tentang sejarah lisan dan memori kolektif yang melandasi rekonstruksi masa lalu dan pengungkapan kebenaran, yakni salah satu mazhab penting sejarah saat ini. Penemuan kembali makam Raja Polinesia yang hilang lebih seribu tahun, misalnya, menjadi salah satu contoh keberhasilan mazhab itu.
Pengalaman masa kecil saya di Pulau Bangka menunjukkan bahwa Batin Tikal sosok pejuang paling dipuja. Tidak hanya pada Peringatan Hari Proklamasi Indonesia dia dikenang. Setiap hari selalu ada orang yang membicarakannya. Ibarat virus, keberanian, keteguhan, konsistensi, integritas, dan pengorbanannya mewabah dalam pikiran serta jiwa orang Bangka dari generasi ke generasi. Cerita tentang relik rambutnya merasuki kehidupan orang Bangka sampai hari ini.
LINDA CHRISTANTY
Suasana pantai di Pulau Bangka.
Penangkapan Batin Tikal dan pembuangannya menggenapi kisah perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara. Perlawanan itu tidak pernah berakhir dengan kemenangan, kecuali kasus Sultan Nuku dari Tidore, yang memenangkan pertempuran akhirnya mengusir anasir kolonial dari wilayah Maluku Utara. Pangeran Diponegoro gagal total mengalahkan dan mengusir kolonial di Perang Jawa (1825-1830). Dia ditangkap dalam perundingan lalu dibuang ke Makassar. Perlawanan Batin Tikal sepanjang perlawanan Sultan Nuku (1783-1801), tetapi berakhir tragis seperti perlawanan Pangeran Diponegoro.