Pada 16 Maret 2014, pemerintah Krimea dan Sevostopol melaksanakan referendum tentang status kenegaraan. Hasil referendum dengan partisipasi 84,17 persen penduduk adalah 96,77 persen sepakat bergabung ke Federasi Rusia.
Oleh
Lyudmila Vorobieva
·3 menit baca
ANATOLII STEPANOV/AFP
A Ukrainian serviceman keeps watch at a position on the frontline with Russia-backed separatists not far from Gorlivka, Donetsk region, on November 25, 2021. (Photo by Anatolii STEPANOV / AFP)
Tajuk kedua Kompas, Rabu (12/1/2022), yang berjudul ”Sensitivitas Hubungan AS-Rusia” memuat informasi yang salah tentang kebijakan Rusia terhadap Ukraina.
Menanggapi tulisan tersebut, kami sampaikan bahwa Rusia memindahkan angkatan bersenjata khusus di wilayah negara sendiri, dan ini adalah hak berdaulat kami.
Selain itu, pemindahan angkatan bersenjata dan alutsista kami lakukan ketika NATO, Amerika Serikat, dan negara-negara tertentu melakukan langkah-langkah yang tidak bersahabat. Mereka menyelenggarakan latihan di dekat perbatasan kami, melakukan penerbangan intelijen, dan memindahkan kapal-kapal militer mereka.
Semua itu menyebabkan kekhawatiran mendalam kami dan kemudian memaksa kami bertindak untuk menjamin keamanan nasional.
Kami juga ingin mengingatkan kepada para pembaca Kompas yang terhormat, bahwa setelah kudeta di Kiev dan penggulingan presiden Ukraina yang sah pada Februari 2014, pemerintah dan penduduk Krimea serta Kota Sevastopol menolak mengakui legitimasi pemerintah Ukraina yang baru. Di Krimea terjadi protes massal warga— kebanyakan etnis Rusia—melawan kebijakan genosida.
Pada 16 Maret 2014, pemerintah Krimea dan Sevostopol, sesuai dengan norma hukum internasional, melaksanakan referendum tentang status kenegaraan semenanjung ini. Berdasarkan hasil referendum dengan partisipasi 84,17 persen penduduk, hasilnya 96,77 persen sepakat untuk bergabung dengan Federasi Rusia.
Pada 18 Maret 2014, kesepakatan ditandatangani. Hasil referendum mencerminkan keinginan mayoritas warga Krimea menjadi warga negara Rusia.
Dengan demikian, istilah ”pencaplokan” terhadap Krimea adalah tidak benar.
Bersatunya kembali Semenanjung Krimea dengan Rusia terjadi berkat kehendak bebas warganya. Krimea secara historis merupakan bagian dari Rusia karena Krimea bergabung dengan Kekaisaran Rusia pada 1783 dan secara faktual menjadi bagian dari Ukraina setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
Dalam konteks ini, kalimat tentang ”serangan Rusia pada Ukraina tahun 2014” menimbulkan kerancuan. Sebaliknya, kami mendukung penyelesaian masalah yang ada secara damai melalui realisasi Kesepakatan Minsk, tetapi pihak Ukraina menolak memenuhi.
Kami berterima kasih dengan dimuatnya surat ini agar tidak menimbulkan pemahaman keliru pada pembaca.
Lyudmila Vorobieva
Duta Besar Federasi Rusia untuk Republik Indonesia
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas penjelasan yang disampaikan sehingga dapat melengkapi pengetahuan pembaca Kompas.
Kurikulum SMA
Kompas
Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013Wakil Presiden Boediono (kiri) meninjau kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 26, Tebet, Jakarta, Kamis (23/1). Peninjauan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implementasi kurikulum 2013.Kompas/Riza Fathoni (RZF)23-01-2014
Hampir semua orangtua menginginkan anaknya meneruskan kuliah di perguruan tinggi, terutama di perguruan tinggi negeri (PTN), yang biayanya relatif lebih murah jika dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta (PTS).
Seperti diketahui, kurikulum SMA saat ini mengelompokkan siswa menjadi tiga jurusan peminatan: IPA, IPS, dan Bahasa. Jurusan tersebut menjadi syarat pemilihan program studi (prodi) di perguruan tinggi.
Tiap PTN ataupun PTS memiliki syarat tersendiri. Ada prodi yang mensyaratkan dari jurusan tertentu, tetapi ada juga prodi yang membolehkan lintas jurusan.
Kenyataannya, hampir di semua SMA jumlah siswa jurusan IPS dan Bahasa lebih sedikit dibandingkan siswa jurusan IPA. Adanya lintas jurusan memperkecil kesempatan siswa IPS dan Bahasa masuk PTN karena yang bisa mendaftar lintas jurusan adalah dari IPA.
Kondisi ini memengaruhi persepsi orangtua bahwa siswa jurusan IPA lebih unggul daripada siswa IPS/Bahasa sehingga anak didorong masuk IPA.
Di tengah kesenjangan tersebut, Kemendikbudristek meluncurkan program Kurikulum Prototipe untuk SMA, masih diujicobakan di beberapa sekolah (Kompas, 27/12/2021).
Konsepnya, siswa bisa memilih mata pelajaran yang akan diikuti sesuai minat siswa untuk mengambil program studi di perguruan tinggi.
Dalam hal ini publik sangat membutuhkan sosialisasi kurikulum baru tersebut karena menimbulkan pertanyaan apakah kurikulum ini akan menghilangkan penjurusan di SMA dan apakah lintas jurusan masuk di seleksi perguruan tinggi masih tetap ada?
Kita membutuhkan konsep pendidikan baku yang tidak menimbulkan kesenjangan, sekaligus berlaku jangka panjang, agar tidak terjadi setiap ganti menteri ganti kurikulum.