Sebagai bangsa besar yang terus bergerak maju seiring dengan kemajuan peradaban manusia yang progresif, gerak Indonesia maju justru dihambat sendiri oleh perilaku para pemimpin yang berjiwa kerdil.
Oleh
Sukidi
·4 menit baca
KOMPAS/ANTONY LEE
Sukidi
Di tengah keprihatinan bersama tentang masa depan bangsa, kita perlu menemukan kembali Indonesia sesuai dengan apa yang diimpikan Soekarno (1955) sebagai ”negara milik kita semua”. Karakter negara yang inklusif ini membuka peluang yang setara kepada setiap warga untuk mendarmabaktikan berbagai pemikiran terbaiknya tentang Indonesia yang didirikan oleh para pendiri bangsa lebih dari 76 tahun silam.
Pemikiran untuk memajukan Indonesia seyogianya dimulai dengan kepemimpinan yang visioner, kuat, dan demokratis. Yakni, pemimpin yang memberikan optimisme yang rasional kepada rakyatnya tentang arah bangsa di tengah ketidakpastian global, menjiwai kualitas moral yang kuat di tengah rendahnya etika bernegara, serta memimpin negara secara adil dan demokratis di tengah turunnya kualitas demokrasi.
Visi Indonesia maju hanya mungkin terwujud jika perubahan yang radikal dimulai dari pemimpinnya, yang berdiri di barisan terdepan dengan keteladanan moral yang luhur. ”Ing ngarsa sung tulada,” pesan Ki Hajar Dewantara.
Keteladanan dalam memimpin negara itulah yang pudar dari Indonesia kita. Sebagai bangsa besar yang terus bergerak maju seiring dengan kemajuan peradaban manusia yang progresif, gerak Indonesia maju justru dihambat sendiri oleh perilaku para pemimpin yang berjiwa kerdil. ”Suatu masa yang besar telah dilahirkan oleh abad,” tulis Proklamator RI Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita (1960), mengutip pujangga Jerman, Johann Friedrich von Schiller (1759-1805), ”tetapi masa besar itu menemui manusia kecil”.
Kritik Hatta ini kontekstual untuk para pemimpin yang berjiwa kerdil, hanya berpikir sempit, berorientasi sektarian, serta tidak menjiwai kesadaran sejarah dan rasa memiliki terhadap Indonesia.
Kita tak perlu terkejut jika banyak pemimpin tidak mendapatkan penghormatan dan kebanggaan dari rakyatnya sendiri. ”Who in Indonesia today do you admire and look up to?” kata Benedict R Anderson (1936-2015) yang terbiasa bertanya, selama lebih dari 10 tahun, kepada generasi-generasi muda Indonesia yang berkunjung ke Cornell, tentang siapa di Indonesia yang Anda kagumi dan hormati sekarang ini, yakni pada rentang waktu prareformasi 1998. Tanggapan umum yang diberikan sungguh menyedihkan: ”The common response is, first, bewilderment at the question, then a long scratching of the head, and finally a hesitant. . . Iwan Fals. Isn’t this rather terrifying?” (BR Anderson, ”Indonesian Nationalism today and in the Future,” Indonesia No 67, 1999: 10).
Kompas
Pakar kajian Indonesia, Benedict Richard O’Gorman Anderson atau Ben Anderson (79), saat memberikan kuliah umum di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/12/2015). Guru besar emeritus Cornell University yang pernah dicekal rezim Soeharto pada masa Orde Baru ini meninggal dunia, Minggu (13/12/2015), di Batu, Jawa Timur.
Sebagai Indonesianis yang mencintai Indonesia, terutama Jawa Timur, Ben Anderson tampaknya tak mampu menyembunyikan aura kesedihan ketika melihat kondisi pemimpin Indonesia yang berbeda dengan para pemimpin hebat hampir 100 tahun lalu. Kita sepenuhnya menaruh rasa respek dan bangga kepada pemimpin hebat yang justru terlahir dari zaman pergerakan kemerdekaan dengan kehidupan yang sarat perjuangan, pengorbanan, dan penderitaan.
Para pemimpin hebat itu, menurut Ben Anderson (1999: 10), adalah ”Dr Soetomo, Natsir, Tan Malaka, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Kartini, Haji Misbach, Soekarno, Sjauw Giok Tjan, Chairil Anwar, Suwarsih Djojopoespito, Sudirman, Roem, Pramoedya Ananta Toer, Hatta, Mas Marco, Hasjim Ansjari, Sudisman, Armijn Pane, Haji Dahlan, dan begitu banyak yang lain yang muncul pada zaman ini. Betapa sedihnya saya membandingkan (pemimpin hebat) masa-masa itu dengan (pemimpin) masa kini”.
Saat Indonesia dalam situasi yang teramat sulit dan miskin, kita melahirkan para pemimpin hebat dalam sejarah pergerakan Indonesia modern. Namun, setelah 76 tahun lebih merdeka, kita justru menemui pemimpin berjiwa kerdil yang tak memiliki pengetahuan yang cukup dan kesadaran sejarah yang memadai tentang Indonesia sebagai ”negara milik semua”, kata Soekarno, dan Indonesia sebagai ”proyek bersama”, kata Ben Anderson.
Konsekuensi logis dari pemikiran tentang Indonesia sebagai ”milik semua” dan ”proyek bersama” adalah panggilan kepada setiap warga untuk berpartisipasi secara aktif dan konstruktif dalam membangun kembali Indonesia yang tak pernah tuntas dan terus berproses dalam penjadian diri (nation in making). Yakni, Indonesia sebagai bangsa religius yang majemuk, inklusif, setara, dan berkeadaban; yang berdiri tegak di atas pilar kebinekaan; dengan penghormatan penuh pada harkat dan martabat kemanusiaan universal yang adil dan beradab, yang satu dan setara; dengan spirit persatuan dan kesatuan sebagai ikatan bersama di tengah kebinekaan dari segi apa pun; yang diselenggarakan berdasarkan kebijaksanaan melalui mekanisme musyawarah; dan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi apa pun.
Kompas/Wawan H Prabowo
Mural bertema kebinekaan menghiasi tiang penyangga jalan layang Prof Dr Latumeten, Tambora, Jakarta Barat, Minggu (8/11/2020). Kerukunan hidup di tengah keberagaman, masyarakat Indonesia akan selalu terjaga jika semua warganya mengamalkan sikap toleran dan saling menghormati.
Inilah Indonesia yang merupakan produk pikiran-pikiran brilian dari para pendirinya, yang harus senantiasa kita temukan kembali, rawat, bangun, dan kembangkan demi terwujudnya Indonesia yang kita impikan bersama.