Blusukan
Tidak semua yang pergi jauh akan pulang lebih kaya, lebih pintar atau lebih bahagia. Tapi mereka berpeluang istimewa membawa pulang wawasan dan pengetahuan yang tak bisa dipelajari di kampung sendiri.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2Fkompas_Ariel-Heryanto_1636723663.jpg)
Ariel Heryanto
Karya-karya akademik tentang Indonesia paling berpengaruh di dunia ditulis oleh sarjana asing. Bukan dalam bahasa Indonesia. Penerbitnya tidak di Indonesia. Beredar di toko buku dan perpustakaan di banyak negara di luar Indonesia.
Apakah orang asing lebih tahu tentang Indonesia daripada orang Indonesia sendiri? Tentu saja tidak. Pengetahuan bertumbuh dalam berbagai versi. Topik yang sama bisa melahirkan berbagai pengetahuan berbeda, bertolak belakang, atau saling melengkapi.
Jika ada kelompok pengetahuan punya wibawa atau pengaruh jauh lebih besar dari yang lain, penyebabnya bisa beraneka. Bisa karena timpangnya besaran modal dan fasilitas pendukung. Atau ketimpangan status bahasa. Lebih dari satu abad bahasa Inggris paling dominan di dunia.
Abad lalu Inggris, Belanda, dan Perancis merupakan penjajah terbesar dunia. Kini sebagian sarjana Belanda dan Perancis mengeluhkan dominasi bahasa Inggris dalam ilmu sosial dan humaniora. Bayangkan nasib peneliti di bekas jajahan yang dulu tidak berbahasa Inggris sebagai bahasa administrasi negara kolonial.
Di beberapa universitas di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia yang pernah saya kunjungi, tampak pustaka tentang Indonesia tersimpan rapi dalam jumlah luar biasa. Ada karya-karya tua dari Indonesia, dalam bahasa nasional dan etnis. Sebagian tidak dikenal luas di Tanah Air. Sebagian dilarang Pemerintah Indonesia.
Mengapa negara-negara itu mau mengorbankan dana, waktu, dan tenaga besar-besaran demi pengetahuan tentang negeri yang jauh? Bukan hanya tentang Indonesia, tetapi sejumlah negara Asia dan Afrika, termasuk sebagian yang dianggap musuh. Di beberapa negara asalnya, buku-buku itu dilarang atau dibakar. Penulisnya dipidana.
Baca juga:
- Analisis Budaya: Krisis
- Analisis Budaya: Buku
- Analisis Budaya: Orang-orang Hebat
- Analisis Budaya: Nama Jalan
Jawabnya bisa panjang dan rumit. Kita cari versi pendeknya saja. Ratusan tahun lalu antropologi merupakan upaya Eropa modern untuk mempelajari bangsa-bangsa non-Eropa dan non-modern. Pemahaman tentang kaum yang lain itu dibutuhkan untuk melengkapi pengetahuan tentang kaumnya sendiri. Dari situ dirumuskan pemahaman universal tentang sosok manusia dengan berbagai kemajemukannya.
Sebagian dari pengetahuan antropologi itu dimanfaatkan penguasa Eropa untuk menjajah non-Eropa. Pengetahuan selalu berkait dengan kekuasaan. Kuatnya pengaruh karya-karya akademik asing di dunia tentang Indonesia tak selalu menguntungkan Indonesia. Narasi tentang Indonesia di dunia didominasi berbagai suara dan sudut pandang non-Indonesia.
Apakah sarjana Indonesia hanya diam sebagai penonton? Tidak semua. Namun, sejauh mana ketimpangan itu bisa dilawan jika karya-karya berpengaruh di dunia sulit dijangkau mayoritas mahasiswa dan sarjana kita? Untuk membacanya sudah sulit. Apalagi, mengajukan suara tandingan berwibawa di forum dunia.
Selain terkait modal dan kuasa, tumbuhnya pengetahuan terkait perjalanan jauh. Bukan kemampuan menghapal kitab suci. Kuatnya pengetahuan tentang Indonesia di luar negeri hasil jerih payah peneliti mereka blusukan di berbagai sudut kehidupan Indonesia. Bukan hanya atas prakarsa pribadi, melainkan juga dukungan dana dari negara serta imbalan menggiurkan bagi yang berprestasi.
Pesan ”tuntutlah ilmu hingga ke negeri China” datang dari dan untuk mereka yang jauh dari negeri China. Sebagian adat Nusantara sendiri mendorong kaum mudanya merantau. Dalam kisah Dewa Ruci, Bima menemukan diri sendiri setelah menjelajah laut dan darat, melewati berbagai bahaya. Namun, tanpa dukungan lembaga, tak semua orang siap melalang buana.
Sepanjang sejarah, ada dua kelompok besar yang melakukan perjalanan jauh. Pertama, kaum elite dengan sumber daya berlimpah. Mereka blusukan di berbagai wilayah dunia dengan jadwal dan tujuan yang mereka pilih sendiri. Mereka bisa pulang kapan saja.
Kedua, kaum jelata yang meninggalkan tanah airnya karena terpaksa dan tanpa kepastian bisa pulang. Mereka menjadi pengungsi karena bencana alam, perang, atau melarikan diri dari penindasan di tanah air. Jutaan pekerja migran meninggalkan kampung-halaman karena desakan ekonomi.
Tidak semua yang pergi jauh akan pulang lebih kaya, lebih pintar, atau lebih bahagia. Namun, mereka berpeluang istimewa membawa pulang wawasan dan pengetahuan yang tak bisa dipelajari di kampung sendiri, yakni pengetahuan yang mampu mengubah jati diri mereka seumur hidup.
Kelas menengah biasanya terpaku di wilayah asal, bila tak ada dukungan lembaga untuk merantau. Blusukan mereka berlingkup lokal. Hidup cukup nyaman, tapi tak punya modal berlimpah untuk menjelajah dunia seperti kaum elite. Tidak juga terpaksa merantau, karena tidak sengsara seperti pengungsi dan pekerja migran.
Akibatnya? Walau tak semua, kelas menengah cenderung berwawasan sempit dan bersikap konservatif. Membanggakan wilayah asal serta memuja fiksi tentang keaslian dan slogan ”putra daerah”. Gemar meromantisisasi dan sekaligus curiga pada pendatang dari jauh.
Ada perkeculiannya. RA Kartini dibatasi ruang geraknya, tetapi bermodal bahasa asing dan bacaan, ia menjelajahi modernitas Eropa secara intelektual. Sebaliknya, tak semua yang merantau jauh menyerap kearifan baru. Ada yang bertahun-tahun hidup di negeri asing, tetapi hanya bergaul dengan rekan sebangsa, sesama etnis, atau seagama. Mancanegara hanya jadi latar belakang ber-selfie.
Jarak merupakan bagian penting dalam pengetahuan. Tanpa berjarak dari cermin kita tak bisa mengamati tampilan sendiri seutuhnya. Peneliti asing bisa berjasa membantu kita menyadari hal-hal di sekitar kita sendiri tapi kita abaikan. Dalam berbagai hal lain kita bisa membantu pertumbuhan ilmu mereka.
Ibaratnya, peneliti asing mengamati Indonesia dari jauh sebagai hamparan hutan luas. Yang tampak bukan individu pepohonan. Sebaliknya, penduduk lokal hidup di ”hamparan hutan” itu bisa menyentuh individu pepohonan, tetapi tidak bisa mengamati rimbanya secara makro.
Pengetahuan berbeda bisa saling melengkapi. Sayangnya, perbedaan itu tidak dihargai setara. Kelas menengah punya peluang lebih besar daripada kaum jelata untuk blusukan global. Namun, karena hidup sudah cukup nyaman di kampung halaman sendiri, peluang merantau sering tersia-sia.
Ariel Heryanto
Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia