Pertanda zaman yang mengancam daulat rakyat adalah makin merajalelanya korupsi. Gejala lain yang harus diperhatikan adalah dinamika geopolitik yang makin memanas, terutama akibat persaingan antara AS dan China.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
KUM
J Kristiadi
Tradisi perubahan tahun selalu dirayakan dalam suasana gembira karena tahun baru menebar aura harapan hidup lebih baik di masa datang. Biasanya ekspektasi disertai resolusi, janji serius terhadap diri sendiri, tentang agenda penting tahun depan, sesuai dengan estimasi tantangan yang akan dihadapi. Dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu agenda penting di depan mata tahun 2022 adalah tahapan menuju Pemilu 2024; agar festival demokrasi semakin mengukuhkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara.
Target tersebut cukup berat. Pertama, Pemilu 2024 diselenggarakan di tengah semakin merosotnya kredibilitas demokrasi. Banyak kajian mengenai isu tersebut, khususnya terkait prahara pandemi mengakibatkan sekat primordial masyarakat semakin menebal. Kedua, regulasi Pemilu 2024 banyak mendapat kritik dari masyarakat sipil karena disusun tanpa melibatkan komponen-komponen masyarakat secara intensif sehingga regulasi melenceng dari pemikiran mendasar tentang makna pemilu konkuren. Ketiga, semakin merebaknya politik uang yang bersumber dari penyalahgunaan kekuasaan politik yang menguras kekayaan negara. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah menjadi bagian sistemik proses politik di Indonesia.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pertanda zaman yang mengancam daulat rakyat adalah semakin merajalelanya korupsi. Isyarat tersebut disuarakan tajuk Kompas, 7 Desember 2021, berjudul ”Sinyal Keras Bahaya Korupsi”. Intinya, hasil survei Kompas dan Indikator Politik menyebut masyarakat menganggap korupsi semakin parah. Angka kuantitatifnya, 9 dari 10 orang khawatir tingkat percepatan eskalasi korupsi semakin sulit dikendalikan. Ironinya, penilaian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi yang menyatakan baik atau buruk hampir sama proporsinya. Publik terbelah menjadi dua kategori menanggapi isu itu.
Makna terpenting, mereka yang menganggap pemberantasan korupsi sudah baik rupanya mempunyai persepsi perilaku durhaka tersebut sebagai perbuatan normal. Anggapan tersebut merupakan resonansi persepsi sesat para elite politik yang menganggap korupsi perilaku patriotik sejauh digunakan untuk kepentingan politik kelompoknya. Mereka tega mengabaikan daya hancur korupsi yang berkarakter degeneratif, mengakibatkan membusuknya lembaga negara, politik, dan pemerintahan; serta memorakporandakan rajutan moral kehidupan bersama.
Hasil jajak pendapat bukan hanya dicerna sekadar informasi statistik angka mati karena di balik angka tersembunyi pertanda zaman yang berpengaruh terhadap perjalanan bangsa ke depan. Para elite politik diharapkan menyelami ruang batin masyarakat agar lebih peka terhadap pertanda zaman. Ilustrasi tumpulnya rasa mencecap tanda zaman adalah pemilu sebagai proses demokrasi dan membangun peradaban politik tersesat menjadi sekadar ritual rutin yang menyesatkan. Padahal, dana yang dikeluarkan dari APBN cukup besar, bahkan kadang-kadang menelan korban jiwa. Namun, hasilnya, oligarki semakin menguat.
Praktik demokrasi prosedural sekadar cangkang kekuasaan mengakibatkan runtuhnya demokrasi. Fenomena tersebut tersebar mulai dari kawasan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia, dan sebagainya. Gejala tersebut membuktikan pergantian rezim demokrasi menjadi otoritarian tidak memerlukan moncong senjata, cukup melalui mekanisme prosedur demokrasi. Cara membunuh demokrasi dengan kekuatan militer sudah usang. Demokrasi dewasa ini bergelimpangan bukan karena kudeta militer, melainkan dengan cara yang lemah lembut, tetapi akibatnya menghancurkan tatanan peradaban politik.
Gejala lain yang harus diperhatikan adalah dinamika geopolitik yang makin memanas, terutama akibat persaingan antara Amerika Serikat dan China. Sialnya, kompetisi dua negara adidaya tersebut merembet ke negara-negara lain dan kini semakin dekat ke Indonesia. Kewaspadaan perlu ditingkatkan mengingat penggulingan kekuasaan tidak perlu kudeta militer, tetapi dengan memanfaatkan skema cangkang demokrasi prosedural.
Buku Covert Regime Change karya Lindsey O’Rourke, terbitan Cornell University, yang disarikan Kompas (6/12/2021) mengompilasi sejumlah negara yang digulingkan AS dan sekutunya karena dianggap mengancam kepentingan nasionalnya, termasuk Indonesia. Dokumen Badan Pusat Intelijen AS (CIA) menyebutkan, operasi mendukung PRRI/Permesta sekitar tahun 1950 adalah bagian dari operasi intelijen AS dan kawan-kawannya.
Washington juga mengucurkan miliaran dollar AS untuk mendorong perubahan sistem politik di negara lain. Dana, antara lain, disalurkan melalui National Endowment for Democracy (NED). Misalnya, 60 juta dollar AS dikucurkan untuk promosi demokrasi di China dan Rusia dalam periode 2016-2019. Indonesia juga pernah menikmati dana sejenis (Kompas, 6/12/2021).
Alarm itu dapat menjadi isyarat pertanda zaman melakukan refleksi akhir tahun untuk memperbarui tekad semua komponen bangsa, terutama para elite politik, agar lebih peka membaca tanda-tanda zaman, terutama pertanda yang memberikan isyarat bagi kelangsungan bangsa dan negara.