Femisida
Femisida bukanlah pembunuhan biasa karena mengandung ketimpangan jender, dominasi, agresi, dan opresi. Ratusan kasus femisida dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti suami, teman, kerabat dekat, dan pacar.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F475794_getattachment7e50a4f9-7b53-4045-8c8e-f85daf00c944467182.jpg)
Saras Dewi
”Para perempuan sedang keluar dari hutan,
meratakan tanah untuk menyebarkan kisah mereka.
Bahkan bagi mereka para perempuan
yang ditemukan telanjang di selokan dan sumur,
mereka yang dilupakan di loteng yang terbengkalai
dan terkubur di dasar sungai seperti sedimen dari abad yang lain.
Mereka sedang merangkak keluar dari balik tirai masa kecil,
beban perak-merah muda tubuh mereka mendorong air,
melawan sedihnya noda ingatan.”
Puisi ini menyertai renungan saya memaknai peringatan hari Hak Asasi Manusia sedunia yang jatuh pada 10 Desember. Puisi karya Tishani Doshi yang berjudul ”Girls Are Coming Out of The Woods” merupakan ekspresi kesedihannya terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di India. Bertalu-talu kekejian dan kekerasan yang terjadi kepada perempuan, tidak terkecuali di Indonesia. Kasus-kasus kekerasan hingga pembunuhan terhadap perempuan membuat saya memikirkan kembali tentang hak asasi perempuan untuk mendapatkan perlindungan dan ruang hidup yang aman.
Substansi dari rekognisi terhadap hak asasi manusia adalah penghormatan serta ditinggikannya martabat manusia. Hak asasi manusia sebagai konsep filosofis hingga dituangkan menjadi hukum positif berlandaskan pada gagasan bahwa hak alamiah yang melekat pada manusia tidak dapat disangkal, dicabut ataupun dihilangkan (inalienable rights). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham) yang diproklamir pada 10 Desember 1948 adalah momentum penting dalam sejarah kemanusiaan. Sebagai instrumen internasional, Duham menandakan suatu cita-cita global untuk memperjuangkan kesetaraan, kebebasan dan keadilan. Walau demikian, terdapat kritik yang tajam, khususnya menggugat kesungguhan pengertian universal dari konsep hak asasi manusia, seperti yang diajukan oleh Catharine MacKinnon dan Arati Rao.
Perempuan dalam situasi konflik ditimpakan kekerasan berganda, kekerasan itu berbasiskan kebencian pada jendernya sebagai perempuan, dan juga kebencian pada etnis ataupun kehidupan kulturalnya.
Catharine MacKinnon menggunakan perspektif yurisprudensi feminis dalam mencermati hukum dan konsep hak asasi manusia. Ia menyoal tentang kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak terlacak dalam instrumen internasional hak asasi manusia. Ia mengangkat kejadian genosida dan pemerkosaan yang dilakukan oleh militer Serbia terhadap perempuan Bosnia, ia menegaskan bahwa pemerkosaan dalam hal ini tidak saja terkait dengan pemaksaan seks, tetapi juga kontrol serta dominasi politik.
Sifat kekerasan semacam ini penting untuk dibedah. Menurut MacKinnon, perempuan dalam situasi konflik ditimpakan kekerasan berganda, kekerasan itu berbasiskan kebencian pada jendernya sebagai perempuan, dan juga kebencian pada etnis ataupun kehidupan kulturalnya. Kengerian pemerkosaan sebagai teknik penyiksaan terjadi dalam berbagai konflik dan peperangan, seperti di Nanjing, Rwanda, dan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia pada 1998.
MacKinnon mempersoalkan juga segregasi ruang yang muncul dalam Duham, pembedaan privat dan publik seolah-olah hanya menampakan serta mengakui kekerasan ’gamblang’ di wilayah publik. Ia menuntut bagaimana dengan kekerasan yang terjadi sehari-hari terhadap perempuan di rumahnya? Ada asumsi yang bias bahwa jika pelaku kekerasan adalah orang dekat atau dikenal, itu akan menurunkan level kekerasan. MacKinnon membantah asumsi ini. Ia mengatakan bahwa ketika pelaku kekerasan itu adalah anggota keluarga atau seorang yang dipercaya, itu dapat menyebabkan trauma yang sangat mendalam.
Arati Rao juga mengusulkan rekonseptualisasi hak asasi. Namun, ia tidak memungkiri bahwa betapa pentingnya instrumen internasional seperti Duham. Kemudian juga Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) sebagai perjanjian yang secara spesifik bertujuan mengupayakan kesetaraan bagi perempuan dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi.
Namun, ia mengingatkan bahwa diperlukan pandangan yang progresif untuk melampaui dikotomi privat dan publik mengingat kekerasan terhadap perempuan dilanggengkan di ranah privat, dan kondisi yang menyedihkan ini semestinya menjadi urusan publik dengan kehadiran serta intervensi oleh negara.
Kemanusiaan kita tersayat melihat pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi hampir setiap hari. Pembunuhan ini melibatkan penganiayaan, pemerkosaan, hingga mutilasi. Sadisme ini bukan kriminal biasa, inilah Femisida, yakni pembunuhan terhadap perempuan yang basisnya kebencian, dendam, ataupun penaklukan terhadap perempuan.
Dalam laporan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan pada 2020 disampaikan bahwa femisida bukanlah pembunuhan biasa karena mengandung ketimpangan jender, dominasi, agresi, dan opresi. Laporan itu membeberkan pula fakta ratusan kasus femisida dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti suami, teman, kerabat dekat, dan pacar. Andi Yentriyani, komisioner Komnas Perempuan, menegaskan urgensi untuk melihat akar permasalahan, yakni ketidaksetaraan relasi jender, bahwa kekerasan terhadap perempuan dinormalisasi dalam relasi personal.
Dalam salah satu diskusi di kelas, mahasiswa saya bertanya, ”Mengapa feminis sering kali marah?” Saya menjawab bahwa kemarahan itu wujud rasa frustrasi beruntunnya cerita-cerita tragis kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat atau siapa pun sewajarnya menyikapi dengan rasa resah dan geram.
Kematian seorang perempuan bernama Novia Widyasari (23 tahun) adalah cerita kemalangan dan kesengsaraan perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Ia membunuh dirinya dengan menenggak racun, seorang diri penuh keputusasaan. Saya meratapi kematian gadis ini.
Saya teringat seorang penyintas yang pernah saya dampingi. Kala itu ia tengah hamil, dan sekuat tenaga ia menahan nyeri karena keletihan dan stres. Sambil menangis, ia bertanya, ”Apakah aku harus mati untuk membuktikan penderitaanku?” Kita menangisi para korban yang terenggut nyawanya, tetapi bagaimana bagi para korban yang bertahan hidup dalam kesenyapan? Kita harus turut berjuang, bersisian untuk keadilan. Mempercepat pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan sebagian dari pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia. Sepantasnya, kemanusiaan kita terusik melihat kekerasan yang terjadi pada perempuan.
Saras Dewi
Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia