Di masa pandemi, muncul kekhawatiran ketika kualitas pembelajaran secara daring merosot dan peran guru perlahan makin digeser oleh daya pikat “penutur kisah digital” seperti ”influencer” atau youtuber.
Oleh
Idi SUbandy Ibrahim
·5 menit baca
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Idi Subandy Ibrahim
Beberapa abad lalu, Andrew Fletcher, seorang patriot, menulis, ”Jika seseorang diizinkan menulis semua balada, orang tidak perlu peduli siapa yang harus membuat hukum sebuah bangsa.” George Gerbner, seorang pakar komunikasi, menyebut selama lima puluh tahun terakhir, pekerjaan menulis balada atau cerita telah bergeser dari orangtua, sekolah (guru), komunitas, gereja, dan negara, ke industri televisi yang digerakkan oleh konglomerat perusahaan dengan produk untuk dijual.
Menurut Gerbner, transformasi budaya tersebut telah mengubah cara anak-anak disosialisasikan, dan mengubah banyak hal yang membentuk cara masyarakat kita diperintah. Singkatnya, telah mengubah cara kita hidup. Gerbner menulis ketika televisi sedang mendominasi waktu luang dan jauh sebelum revolusi digital dan media sosial membentuk ”ruang belajar” dan ”ruang sosialisasi” anak-anak seperti di masa Pandemi Covid-19.
Pada dasarnya, guru adalah penutur kisah di ruang kelas. Melalui cerita, ia menyampaikan pesan tentang apa yang dianggap baik atau tidak baik, apa yang harus atau tidak harus dilakukan. Ia sosok penutur balada paling ideal. Tak heran kalau guru merupakan salah satu agen sosialisasi yang penting. Tentang bagaimana mendidik anak-anak menjadi manusia dengan kekayaan potensi yang beraneka. Bukankah sosialisasi membuat kita menjadi diri kita sendiri, dan cerita adalah cara kita mempelajari peran sosial kita di dalam masyarakat?
Di masa pandemi, muncul kekhawatiran ketika kualitas pembelajaran secara daring merosot dan peran guru perlahan makin digeser oleh daya pikat ”penutur kisah digital” seperti influencer atau youtuber. Alih-alih sosialisasi pengaruh baik malah pengaruh buruk yang ditularkan kepada anak-anak. Jika kritikus budaya media menyebut pada era 1990-an televisi sebagai ”guru kedua”, sejak era 2000-an media sosial telah menjadi ”guru pertama” bagi sebagian anak-anak. ”Guru pertama” dalam arti agen sosialisasi pengaruh buruk atau baik.
Kini ketika profesi guru dilihat sebagai komoditas oleh sebagian kalangan, tidak semua guru bisa dikomodifikasi dan mengomodifikasikan diri. Mereka tetap melakoni ”peran suci”-nya sebagai agen penutur kisah meski di sekolah-sekolah tertentu terkadang mereka harus berhadapan dengan ”bos-bos kecil”, anak-anak digital. Anak-anak yang mulai berkiblat kepada idola-idola dari dunia digital sebagai ”guru pertama” agen sosialisasi mereka.
Tentu saja menjadi guru di era digital berbeda daripada era sebelumnya. Mendidik anak di era ini tidak hanya membutuhkan kecerdasan digital, tetapi juga kemampuan menyikapi perubahan lingkungan budaya digital itu sendiri. Lingkungan seperti ini tidak dihadapi oleh prototipe guru Umar Bakri dalam balada Iwan Fals atau guru Muslimah dalam Laskar Pelangi Andrea Hirata. Sosok-sosok lugu seperti ini menjadi guru yang makin langka. Ketika menjadi guru adalah dedikasi dan panggilan hidup.
Jika dalam arti luas mendidik anak adalah usaha kebudayaan, maka guru merupakan agen kebudayaan yang vital bagi sebuah bangsa. Jauh-jauh hari Ki Hadjar Dewantara (1947) mengingatkan, ”Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.” Menurut beliau, dalam mengajar dan mendidik manusia, pendidikan dalam soal budaya perlu diutamakan. Sebab, pendidikan dan pengajaran pada hakikatnya adalah usaha kultural, dengan maksud mempertinggi hidup masyarakat, pada umumnya, dan derajat manusia, pada khususnya.
Apa yang diutarakan oleh tokoh pendidikan tersebut terasa relevan bagi guru saat ini. Setidaknya bila melihat dua tipe guru yang muncul karena desakan muatan kurikulum pendidikan yang terlalu berorientasi kognitif. Pertama, ”guru kognitif”, menganggap mendidik itu mengajar anak menjadi pintar. Tak usah heran kalau pusat bimbingan belajar offline dan online diminati, tak jarang diharuskan. Rupanya asupan kognitif siswa tidak cukup diberikan di sekolah. Kini bahkan ruang guru online menjadi bintang televisi dan guru-gurunya menyebut dirinya konsultan. Seolah-olah ruang guru offline selama ini dianggap kurang mencerdaskan anak didik.
Kedua, ”guru afektif”, memandang mendidik itu mengajar anak menjadi baik dan berbudi. Soal membuat siswa pintar, bagi guru afektif, itu satu hal, tetapi menyampaikan nilai-nilai itu hal lain. Bagi guru afektif, mendidik itu memerlukan contoh dan keteladanan, bukan sekadar asupan kognisi atau hafalan. Bagi mereka, mendidik menjadi manusia adalah tantangan menyemaikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan siswa.
Sepertinya ”guru kognitif” menemukan ruang yang pas dalam lingkungan digital saat ini. Hal ini sejalan dengan upaya-upaya teknologisasi dan digitalisasi dunia pendidikan nasional yang semula bertujuan baik, tetapi dalam praktiknya menjadi semacam birokratisasi dan praktik penyeragaman baru dalam dunia pendidikan.
Birokratisasi pendidikan gaya baru ini terlihat dari penekanan yang berlebihan terhadap aspek pelaporan administrasi, seperti guru (juga dosen) harus membuat laporan digital nyaris setiap aktivitas mereka yang justru lebih sering menghabiskan energi dan mengalihkan pusat perhatian utama mereka dalam fungsi mengajar (untuk guru) dan fungsi Tridharma (untuk dosen).
Sementara praktik penyeragaman gaya baru terlihat dari standardisasi dalam berbagai kebijakan atau pedoman yang dibuat yang sering mengabaikan keragaman potensi dan kekhasan masing-masing sekolah atau perguruan tinggi, baik dilihat dari latar sejarah pendiriannya ataupun konteks sosial budaya, persoalan, lokasi dan geografisnya.
Memang harus diakui pemerintah dalam berbagai kesempatan terus mendorong perbaikan dan peningkatan mutu guru (juga dosen). Pemerintah juga (pernah menjanjikan insentif) bagi perguruan tinggi yang mau bertransformasi mencetak talenta-talenta yang mampu bersaing di tingkat global, termasuk guru. Persoalannya, bagaimana dengan nasib jutaan guru honorer dan guru kontrak yang menanti kepastian. Bagaimana dengan guru-guru yang mengabdi di ujung negeri. Pemerintah jelas harus menyelami keanekaragaman persoalan tiap daerah dan sekolah serta mempertimbangkan akses, sarana dan prasarana, daya dukung teknologi, dan sumber daya manusia, secara lebih terencana. Jelas keberpihakan kepada guru dan sekolah terpencil serta siswa miskin harus menjadi prioritas utama karena mereka paling terdampak pandemi. Termasuk guru-guru dan sekolah/panti anak-anak berkebutuhan khusus yang selama ini diabaikan.
Sejauh ini kita melihat transformasi lingkungan digital yang kurang diantisipasi dan visi pendidikan nasional yang kurang mempertimbangkan keragaman persoalan, menjadi gambaran umum persoalan pendidikan kita. Persoalan itu diperkisruh oleh masuknya berbagai kepentingan kuasa dan modal dalam pendidikan yang tak selalu memahami kompleksitas permasalahan pendidikan dan pengajaran di lapangan, sehingga membuat ”visi kebudayaan” sepertinya pelan-pelan hendak diganti dengan ”visi melulu dagang”.
Di tengah lingkungan seperti ini, peran guru makin dibutuhkan untuk bersunggung-sungguh mendidik anak-anak Indonesia agar bertindak sebagai warga negara yang kritis seperti halnya bersungguh-sungguhnya kuasa modal dan iklan komersial mendidik anak-anak agar bertindak sebagai konsumen.
(Idi Subandy Ibrahim,Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi)