Menonton ”Waktu Tanpa Buku” membuat kita ingin masa kelam kemanusiaan berakhir di mana pun.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
ARSIP PRIBADI
Linda Christanty
Faux Pas, film berdurasi 12 menit itu, tidak menampakkan wajah-wajah pemerannya, kecuali kaki-kaki mereka. Di salah satu ruangan Bibliothèque Nationale du Royaume du Maroc, saya tertegun menatap layar.
Suatu malam, di film ini, sepasang kaki laki-laki berjalan sempoyongan hingga tiba di muka pintu apartemennya. Setelah pintu dibuka, kaki-kaki melangkah ke sofa, perlahan melepas sepatu. Tiba-tiba pintu diketuk. Telepon berdering. Air keran menetes-netes. Kaki-kaki telanjang berjingkat-jingkat ke tumpukan buku, lalu bergerak ke perapian. Buku-buku dibakar. Di bangunan apartemen yang sama, sepasang kaki perempuan terseret-seret di antara kaki-kaki lelaki, para polisi rahasia.
Melalui Faux Pas, Lahcen Zinoun, sang sutradara, mengisahkan nasib orang-orang yang dituduh melawan negara di masa pemerintahan Raja Hassan II di Maroko.
Sebelum membuat film, Zinoun lama menekuni tari. Ia berupaya mendirikan lembaga tari nasional, tetapi Hassan II menentangnya. Laki-laki menari dianggap membangkang terhadap raja. Akhirnya Zinoun melukis. Bertahun-tahun kemudian ia kembali lagi ke dunia tari dan mencoba membuat film. Di sebuah wawancara, ia menyatakan sinematografi merupakan sarana untuk memadukan visual dari lukisan-lukisannya dengan gerakan jasmani tari.
Zinoun mendedikasikan Faux Pas untuk Evelyne Serfaty, adik Abraham Serfaty, aktivis komunis yang berjuang melawan penjajah Perancis. Dari 1952 hingga 1956, kakak beradik Serfaty mendekam di penjara Perancis. Pada 1970-an, Abraham dikurung di penjara Maroko karena menentang monarki. Evelyne diculik pada 26 September 1972 di Rabat dan disiksa selama sembilan hari.
Dalam bukunya, Screening Morocco: Contemporary Film in a Changing Society, Valérie K Orlando memuji kecekatan kamera Zinoun mengungkap pelanggaran hak-hak asasi manusia di masa lampau Maroko, yang terjadi setiap hari di seluruh dunia.
Mengingat Faux Pas dibuat pada 2003, ia juga mengaitkan dengan politik global bahwa tetes-tetes air dalam film tersebut dapat dianggap sindiran terhadap teknik penyiksaan seperti waterboarding dan penangkapan ribuan orang untuk dipenjarakan di Abu Ghraib dan Guantanamo tanpa pengadilan atau akses ke proses pengadilan di tengah iklim terorisme. Orlando adalah profesor sastra Perancis dan sastra berbahasa Perancis di Universitas Maryland, Amerika Serikat.
Pada 1999, setahun setelah Reformasi di Indonesia, pemerintahan Hasan II berakhir karena sang raja wafat. Meskipun demikian, tidak berarti era selanjutnya bebas dari awan gelap. Indonesia? Saya takut ditangkap.
Faiza Mardzoeki, sebagaimana Zinoun, menganggap sejarah kelam masih membayangi masa depan. Dia menerjemahkan naskah drama Lene Therese Teigen, Waktu Tanpa Buku, karena melihat relevansinya dengan Indonesia di masa hampir setengah juta jiwa menjadi korban ”Peristiwa 1965”, yang dianggap sebagian kalangan menjadi landasan kebangkitan rezim Orde Baru. Teigen, seorang feminis dan direktur teater di Norwegia, menurut Faiza, menulis naskahnya setelah meneliti dan mewawancarai para pengungsi atau pencari suaka asal Uruguay di Norwegia.
Ia mengisahkan memori para penyintas kediktatoran di Uruguay ketika seperlima penduduk negeri itu mengalami penangkapan, penyiksaan, dan penghilangan paksa antara tahun 1973 dan 1985.
Ketika gedung pertunjukan ditutup di masa pandemi tahun lalu, Faiza bereksperimen dengan konsep teater film. Dia menjadi produser pementasan naskah Teigen, bekerja sama dengan lima sutradara perempuan dari lima kota (Ramdiana dari Aceh, Ruth Marini dari Jakarta, Heliana Sinaga dari Bandung, Agnes Christina dari Yogyakarta, dan Shinta Febriany dari Makassar). Pementasan dapat ditonton cuma-cuma dengan mengakses tautan tertentu di internet.
Interpretasi terhadap naskah tersebut menampilkan sosok-sosok bertopeng di atas panggung, catatan-catatan terbakar, interogasi-interogasi yang menekan, dan bayangan-bayangan penyiksaan di antara keinginan dan harapan untuk bahagia. Namun, Ruth Marini, sutradara dari Jakarta, mengubah panggung teater dalam pengertian umum itu dengan menampilkan adegan dan gambar yang dihasilkan kamera film.
Gerak kamera menangkap detail ekspresi dan perubahan emosi pada wajah pemain dengan close up dan extreme close up, menggantikan blocking di atas panggung. Punggung berdarah atau lelaki yang terbaring di lantai sel terasa nyata meski petugas interogasi yang diperankan bocah perempuan itu simbolik; ia bertransformasi secara mental menjadi kenangan traumatis yang sukar dilupakan.
Menonton Waktu Tanpa Buku membuat kita ingin masa kelam kemanusiaan berakhir di mana pun. Sosok tanpa wajah dalam Faux Pas menggunakan kebebasan terakhirnya untuk memilih cara mati: tidak di tangan penguasa. Sepasang kaki naik ke kursi, lalu tergantung, terayun-ayun. Bunuh diri. Terdengar suara tetesan air keran.