Pembahasan peran kebangsaan Muhammadiyah, kontribusinya dalam demokrasi, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan, sudah banyak dilakukan. Namun, yang kadang terlewat dibicarakan yaitu peran kebudayaannya.
Oleh
Ahmad Najib Burhani Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
·4 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Peneliti LIPI Ahmad Najib Burhani, difoto di rumahnya di kawasan Tangerang Selatan.
Meski November secara nasional lebih dikenal sebagai bulan pahlawan dengan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya sebagai tonggaknya, bagi Muhammadiyah, November juga menjadi bulan kelahirannya. Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar dan tertua di negeri ini, lahir pada 18 November 1912.
Pembahasan peran kebangsaan Muhammadiyah, kontribusinya dalam demokrasi, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan, sudah banyak dilakukan, termasuk bagaimana organisasi ini mendedikasikan kekuatannya dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun, ada hal yang kadang terlewatkan, yaitu peran kebudayaannya.
Muhammadiyah, karena sering diidentikkan dengan gerakan purifikasi, tak jarang dipandang antipati terhadap budaya lokal. Ada yang menyebutnya anti terhadap perayaan Maulid Nabi, tradisi leluhur, dan berbagai pertunjukan seni.
Lantas budaya atau tradisi apa yang dibawa Muhammadiyah dalam dinamika kemasyarakatan? Pengamat seperti Deliar Noer dan Clifford Geertz menyebut Muhammadiyah gerakan Islam modernis. Modernisasi diterjemahkan dalam penggunaan pendidikan modern sebagai ganti dari sistem tradisional, pengobatan modern di rumah sakit sebagai ganti ketergantungan kepada dukun, dan organisasi modern demokratis sebagai ganti sistem kekeluargaan atau dominasi oligarki tertentu.
Dalam definisi Max Weber, modernisasi lebih dimaknai sebagai rasionalisasi yang pengejawantahannya tak hanya dibatasi pada hal-hal tersebut. Makna modernisasi terutama terkait pola pikir. Muhammadiyah, misalnya, menerapkan nilai egaliter kepada anggotanya dan dalam hal kepemimpinan tidak tergantung kepada etnis atau keluarga tertentu.
Meski lahir di Yogyakarta, ia bisa dipimpin orang dari etnis Sunda, Minang, Sumbawa, atau lainnya. Tidak mesti dari etnis Jawa. Pola kepemimpinannya juga beralih dari sistem karismatik ke sistem yang lebih bersifat kolektif-kolegial.
Organisasi ini tak mengenal sistem darah biru. Meski keluarga dan keturunan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah tentu mendapat kehormatan, tak ada privilese dalam hal organisasi dan kepemimpinan. Demikian juga keluarga dan keturunan para pemimpin setelahnya.
Nilai lain yang diusung Muhammadiyah ialah kosmopolitanisme, terwujud dalam keberterimaan terhadap pandangan keagamaan yang berbeda, tidak antipati terhadap kelompok lain. Kosmopolitanisme memberi fondasi untuk membuka diri terhadap alternatif, toleran, dan tidak fanatik.
Memang posisi kosmopolitan kadang menjadikan Muhammadiyah rentan ketika fondasi identitas dan ideologinya melemah sehingga memudahkan masuknya ideologi lain. Hal ini mirip dengan demokrasi yang membuka peluang kepada kelompok tertentu yang hendak membajak demokrasi itu sendiri. Maka, mekanisme yang dibangun Muhammadiyah dalam menjaga posisi dan ideologi yang dipegangnya ialah dengan keberadaan Majelis Tarjih dan Tajdid yang menentukan sikap keagamaan berdasar dalil serta argumen terkuat.
Nilai kosmopolitanisme itu diterjemahkan dalam konsep ”Islam Berkemajuan” atau Islam progresif. Istilah ini, seperti tertuang dalam Tanfidz Muhammadiyah (2010), dimaknai sebagai kesadaran bahwa warga Muhammadiyah merupakan warga dunia yang memiliki ”rasa solidaritas kemanusiaan universal dan tanggung jawab universal kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional”.
Dalam Progressive Islam (2003) karya Omid Safi, Islam progresif memiliki empat dimensi, yaitu beyond apologetics, no more ”pamphlet Islam”, Islam beyond tolerance, dan Islam beyond ”religion of peace”. Jadi, dengan kosmopolitanisme dan progresivisme, persoalan toleransi serta perdamaian sudah terlampaui, tak lagi berkutat pada slogan.
Nilai dan budaya penting ketiga yang dibawa Muhammadiyah ialah semangat berkompetisi, yang diterjemahkan dalam slogan fastabiq al-khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) dan bisa dilihat dalam logo beberapa organisasi otonom di bawah Muhammadiyah. Slogan ini hampir selalu diucapkan kader Muhammadiyah di akhir ceramah.
Spirit berkompetisi ditanamkan Ahmad Dahlan sejak ia berlomba dengan misi Kristen dalam membangun rumah sakit, sekolah, dan panti asuhan. Semangatnya bukan permusuhan, tetapi berlomba mengabdi untuk kemanusiaan. Spirit berkompetisi ini menginspirasi kader Muhammadiyah untuk disiplin, beretos kerja tinggi, independen, dan berkemauan menjadi pemenang. Meski secara jumlah pengikut Muhammadiyah di sejumlah tempat di Indonesia itu minoritas, mereka memiliki amal usaha dan aset yang cukup banyak.
Hal ini membuat Muhammadiyah kerap disandingkan dengan Calvinisme di Eropa dan Amerika Serikat dengan etika Protestan-nya. Namun, berbeda dengan Calvinis yang menekankan kesuksesan individu, Muhammadiyah lebih menekankan kesuksesan organisasi. Aktivis dan pengurusnya acap kali secara ekonomi biasa, tetapi organisasinya kaya raya.
Di antara surat dan ayat Al Quran yang dijadikan pedoman dalam berkarya ialah Surat Al-Ma’un (107:1-7) dan ayat tentang atsaris sujud (48:29). Surat Al-Ma’un mengajarkan, ibadah ritual tak memiliki makna jika tidak dimanifestasikan dalam pengabdian sosial.
Terkait atsaris sujud, bagi sebagian umat Islam, ayat ini dimaknai secara harfiah dengan dua titik hitam di jidat sebagai bukti seringnya bersujud. Namun, di Muhammadiyah, seperti ditegaskan Abdul Malik Fadjar, bukti banyaknya sujud tak boleh bersifat individual, tetapi mesti bisa dirasakan masyarakat dalam bentuk, misalnya, banyaknya rumah sakit dan sekolah.
Tiga nilai itulah di antaranya yang disumbangkan Muhammadiyah dalam kebudayaan di Indonesia, yaitu modernisme, kosmopolitanisme, dan Calvinisme. Selamat milad ke-109! Selalu menyinari negeri!