Chanathip Songkrasin, Pemilik Kaki Termahal di Asia Tenggara
Chanathip Songkrasin memulai tahun 2022 dengan mengangkat trofi Piala AFF keenam untuk Thailand dan meraih predikat pemain terbaik turnamen untuk ketiga kalinya.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·6 menit baca
AP/SUHAIMI ABDULLAH
Chanathip Songkrasin, gelandang serang timnas Thailand, merayakan gol ke gawang Indonesia pada laga pertama final Piala AFF 2020, 29 Desember 2021, di Stadion Nasional Singapura. Dalam laga itu, Thailand membungkan Indonesia 4-0.
Chanathip ”Jay” Songkrasin (28), bintang sepak bola Thailand, telah merasakan banyak berkah di tahun 2022 yang baru berjalan selama dua pekan. Ia memulai tahun baru dengan mengangkat trofi Piala AFF keenam untuk Thailand serta meraih predikat pemain terbaik turnamen untuk ketiga kalinya. Kemudian, Jay, sapaannya, menggemparkan Asia karena hijrah ke tim juara Liga Jepang, Kawasaki Frontale, untuk kompetisi tahun ini.
Tiga trofi juara dan tiga gelar pemain terbaik Piala AFF menjadikan Jay sebagai pemain terbaik sepanjang sejarah turnamen antarnegara Asia Tenggara itu. Berkat prestasi itu amat wajar apabila tim sekelas Kawasaki Frontale tertarik untuk menggunakan jasanya.
Tidak tanggung-tanggung, Frontale rela mengeluarkan dana transfer mencapai 500 juta yen (3,8 juta euro) atau sekitar Rp 61,8 miliar untuk membawa Jay berpindah dari Sapporo, kota terluas di wilayah utara Jepang, ke Kawasaki yang masuk kawasan Tokyo Raya. Itu menjadi nilai transfer tertinggi bagi pesepak bola Thailand sekaligus Asia Tenggara.
Proses negosiasi pun terbilang cepat karena tim berjuluk ”Azzurro Nero” itu baru memulai negosiasi dengan Hookaido Consadole Sapporo usai menyaksikan aksi Jay mencetak brace atau dua gol ke gawang Vietnam pada semifinal Piala AFF, 23 Desember 2021.
Frontale menjadikan Jay sebagai pilar utama klub demi memenuhi misi di tahun ini untuk menjadi juara Liga Jepang dalam tiga musim beruntun. Kemudian, tim yang berusia 67 tahun itu berambisi meraih gelar pertama di ajang Liga Champions Asia.
”Saya bersyukur memiliki kesempatan bermain di Kawasaki Frontale. Saya akan menggunakan pengalaman saya selama ini untuk berkontribusi bagi tim di dalam dan luar lapangan,” ujar Jay yang memiliki tinggi 1,58 meter itu dilansir laman Frontale.
Hijrah dari Consadole ke Frontale mengubah pula target Jay di Liga Jepang. Apabila dalam lima musim terakhir ia tampil membantu Consadole menjadi tim papan tengah, bersama Frontale, target utamanya ialah mendapatkan medali juara perdana di Jepang.
”Saya sangat senang ketika mendengar kabar Frontale ingin memboyong saya. Sebab, hal itu sesuai dengan target saya di tahun ini untuk memenangkan Liga Jepang,” ujarnya.
Andai bisa menjadi juara liga bersama Frontale, maka Jay akan mengikuti jejak rekannya di timnas Thailand, Theerathon Bunmathan, yang merasakan juara Liga Jepang bersama Yokohama F Marinos pada 2019.
Klub ”100” pertama
Sebelumnya, Consadole juga mengeluarkan dana sekitar 2,8 juta euro (Rp 45,6 miliar) untuk merekrut Jay dari tim juara Liga Thailand, Muangthong United, pada Juli 2017. Ia membantu Consadole menembus peringkat keempat di musim 2018 dan menjadi runner-up Piala Liga Jepang edisi 2019. Prestasi itu adalah catatan terbaik bagi klub yang berdiri pada 1935 itu.
Pemain berposisi gelandang serang itu pun sempat masuk dalam susunan 11 pemain terbaik Liga Jepang musim 2018. Ia menjadi pemain Asia Tenggara pertama yang dinobatkan dalam predikat bergengsi itu.
DOKUMENTASI HOKKAIDO CONSADOLE SAPPORO
Aksi pemain timnas Thailand, Chanathip Songkrasin, ketika membela Hokkaido Consadole Sapporo pada Liga Jepang musim 2021.
Dalam lima musim berkarier di Jepang, ia telah tampil 115 laga dengan menyumbangkan 14 gol bagi Consadole. Belum ada pemain Asia Tenggara lain yang pernah mencapai 100 penampilan di liga terbaik di Benua Asia itu.
Catatan bersejarah untuk masuk klub ”100” Liga Jepang tercipta ketika Consadole menghadapi Vegalta di Stadion Sapporo Dome, 24 April 2021. Ia menyumbangkan asis bagi gol Tsuyoshi Ogashiwa untuk laga yang dimenangkan Consadole 2-1.
Sebelum berkarier di Jepang, Jay telah memenangi tiga kompetisi profesional di Thailand bersama Muangthong, mulai dari Liga Thailand 2018, Piala Liga Thailand 2016, dan Piala Champions Thailand 2017. Ia pun telah mengangkat trofi Piala Liga Thailand 2014 bersama klub profesional pertamanya, BEC Tero Sasana.
Di level timnas, Jay juga sudah mempersembahkan gelar di setiap tingkatan usia. Selain tiga gelar Piala AFF, satu trofi Piala Raja Thailand 2016 adalah trofi yang telah dipersembahkannya untuk tim ”Changsuek”.
Di timnas yunior, ia memberikan gelar Piala AFF U-19 pada 2011. Lalu, Jay menyumbangkan dua medali emas untuk Thailand ketika membela timnas U-23 pada SEA Games 2013 dan 2015.
Jay mengakui, gaji di Thailand jelas jauh lebih besar dibandingkan ketika dirinya memulai karier di Jepang. Namun, lanjutnya, tampil di Jepang telah membantunya untuk meningkatkan kualitas permainannya.
”Jika banyak pemain (Asia Tenggara) bermain di luar negeri, misalnya Jepang, maka kualitas sepak bola di kawasan kita akan meningkat. Secara otomatis, jarak kualitas negara Asia Tenggara dan negara Asia lainnya akan kian kecil,” ujar Jay, yang berusia 28 tahun, dalam konferensi pers usai kemenangan Thailand di Piala AFF 2020, 1 Januari lalu.
Ia menambahkan, ”Ketika datang ke Jepang, orang-orang meremehkan saya karena postur tubuh saya. Namun, saya ingin terus belajar dan bekerja keras untuk meningkatkan permainan saya.”
Pelatih Thailand Alexandre Polking menjelaskan, performa gemilang Jay pada laga penentu kontra Vietnam dan Indonesia di Piala AFF merupakan buah dari pengalamannya berkompetisi di Jepang. ”Jay bisa membuat perbedaan di momen penting karena bermain di level berbeda dibandingkan dengan mayoritas pemain Asia Tenggara,” kata Polking.
Didikan keras Ayah
Untuk menjadi pemain terbaik di Asia Tenggara, jejak Jay tidak instan. Jauh sebelum mengikuti latihan di akademi sepak bola Sam Phran Wittaya di kampung halamannya, Distrik Sam Phran, Provinsi Nakhon Pathom, Jay telah mendapat pendidikan dasar sepak bola dari sang Ayah, Kongphop Songkrasin.
Kongphop telah melatih Jay melakukan operan dan juggling bola sejak anaknya masih berusia tiga tahun. Setelah memasuki usia sekolah, Kongphop mulai mengajarkan Jay mendribel dan tembakan terarah.
Jay mengenang, Ayahnya sangat keras dan mudah marah ketika melatihnya. ”Ia tak segan menampar saya ketika saya tidak serius berlatih. Terkadang, ia harus bertengkar dengan ibu saya karena masalah itu,” kata Jay kepada FourFourTwo.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Gelandang timnas Indonesia, Evan Dimas Darmono (kiri), berebut bola dengan gelandang timnas Thailand, Chanathip Songkrasin (kanan), dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Thailand mengalahkan Indonesia dengan skor 3-0.
Kongphop mengungkapkan, dirinya amat mengidolakan Diego Maradona. Ketika mengetahui istrinya mengandung seorang putra, ia selalu berdoa agar bisa memiliki putra yang mahir bermain sepak bola seperti sang idola.
Impiannya itu yang membawanya mendidik Jay teknik-teknik dasar bermain bola sejak usia dini. Ia pun selalu mencari informasi di surat kabar untuk lokasi seleksi beasiswa sekolah sepak bola di Thailand. Pasalnya, sebagai pemilik kios permen, ia tidak memiliki cukup dana untuk memasukkan Jay ke akademi sepak bola elite.
”Saya selalu berusaha mendukung Jay di mana pun ia bermain. Dulu saya paling keras berteriak ketika ia bermain di level anak, sekarang saya bangga melihatnya bisa tampil di Jepang dan bergabung dengan Frontale,” tutur Kongphop dilansir media Thailand, Siam Sport.
Jay telah membuktikan pemain Asia Tenggara juga bisa bersaing di level tertinggi sepak bola Asia. Kerja keras dan kemauan keluar dari zona nyaman menjadi resep Jay menjadi pesepak bola terbaik di Asia Tenggara saat ini.