Prof Sulistyowati Irianto punya rahasia di balik keberaniannya melawan ketidakadilan selama ini. Dalam perbincangan untuk ”Back to BDM”, ia membeberkan rahasia itu.
Oleh
Budiman Tanuredjo dan Agnes Rita Sulistyawaty
·2 menit baca
KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY
Sulistyowati Irianto, Guru Besar bidang Antropologi Hukum UI
Bertahun-tahun lantang menyuarakan aneka persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia tidak lantas membuat Sulistyowati Irianto (61) lelah dan tergiur menduduki kursi kekuasaan. ”Aku enggak (tertarik), sih,” kata Sulis, sapaan akrab Guru Besar Antropologi Hukum UI ini, Kamis (13/1/2022).
Dalam perbincangan Back to BDM yang tayang di Kompas.id pada 16 Januari 2022, Sulis mengatakan bahwa karakter dirinya tidak disukai lingkungan kekuasaan. Kenapa? ”Karena saya suka melawan,” ujarnya sambil tertawa berderai.
Bentuk perlawanan yang disuarakan Sulis tercatat sejak lama. Di era reformasi, sebagai dosen, Sulis ikut turun menjatuhkan rezim yang berkuasa.
Tahun lalu, ia ikut menandatangani Surat Koalisi Guru Besar Anti Korupsi kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi. Para guru besar itu meminta MK mengembalikan KPK ke khitah-nya.
KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY
Sulistyowati Irianto, Guru Besar bidang Antropologi Hukum UI
Penerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2014 ini pun bergabung mendorong kelanjutan legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di DPR saat pembahasan aturan ini macet tahun lalu.
Sebagai anggota Dewan Guru Besar UI, Sulis juga buka suara menentang rangkap jabatan Rektor UI dan perubahan statuta UI.
Terakhir, Sulis ikut memprotes peleburan Lembaga Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Langkah ini dinilainya sebagai fenomena puncak yang mengonfirmasi terbitnya kebijakan antisains.
Sebelum persoalan ini, Sulis berulang kali keberatan dengan dominasi rezim berkuasa di ruang perguruan tinggi yang membentuk akademisi malas dan oportunis. Jabatan guru besar ingin diraih tanpa menyelesaikan kewajiban akademis secara bertanggung jawab. Peran joki guru besar pun muncul.
Keberanian ini terjaga karena amanat orangtua yang tertanam dalam diri Sulis. ”Ayahku bilang, ’Nduk, nek kowe bener, ojo wedi (Nak, kalau kamu benar, jangan takut)’.”
Petuah ini yang menjadi resep Sulis terus melawan kesewenang-wenangan.