Pindah Kerja, Cari Apa?
Tujuan dalam mencari kerja terus berkembang. Banyak anak muda yang sering berpindah kerja untuk mengembangkan potensi dirinya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F1c0dbb1a-10e5-412c-a55b-acebcdc54d0f_jpg.jpg)
Pencari kerja berburu informasi lowongan pekerjaan dalam bursa kerja di Ratu Plaza, Jakarta Pusat, Selasa (7/12/2021). Bursa kerja yang diselenggarakan oleh Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi tersebut dilaksanakan bergantian di lima Wilayah Kota Administrasi Jakarta hingga 14 Desember 2021.
Pekerja muda sering berpindah-pindah tempat kerja. Bukan mereka kutu loncat yang tak setia kepada perusahaan. Mereka juga tidak sekadar mencari gaji lebih tinggi dan promosi, tetapi mereka butuh tantangan baru yang membuatnya bisa berkembang sesuai keinginan.
Tiga pekerja muda di Jakarta dan Tangerang Selatan (Banten), Kennardi Julianto (29), Ayu PS (29), dan Paramita (27), mengisahkan pengalaman pindah kerja. Tak hanya dua-tiga kali, tetapi sampai empat kali. Mereka berharap bekerja di perusahaan berbeda bisa memberi aneka pengalaman dan pembelajaran yang memampukan pekerja muda menghadapi tantangan baru.
Kennardi sudah empat kali pindah kantor sejak terjun ke dunia karier. Sejak awal, dia memang berniat bekerja di industri media kreatif karena berlatar belakang pendidikan bidang komunikasi. Menurut Ken, sapaan akrabnya, ekosistem industri media kreatif yang begitu dinamis membuat karyawan harus selalu mengembangkan karier sekaligus potensi diri. Pengembangan ada kalanya harus didukung dengan berpindah kerja.
”Bekerja di industri media kreatif itu turnover karyawan tinggi. Kita juga enggak ada sense of attachment ke perusahaan karena lebih memilih untuk investasi ke diri sendiri agar nilai lo gak turun,” ujar Ken dari BSD, Tangerang Selatan, saat dihubungi Selasa (11/1/2022).
Ken awalnya bekerja sebagai media planner di agensi media pada 2016. Namun, ia mendapati dirinya lebih ingin bekerja di agensi iklan. Setelah 16 bulan, dia mengundurkan diri.
Ia melanjutkan karier ke agensi iklan asal Jepang, berkantor di Jakarta Selatan, sebagai strategic planner. Sama seperti di tempat kerja sebelumnya, Ken keluar tak lama sesudah bekerja selama setahun lebih demi mendapat karier lebih bagus.
Pemuda kelahiran Jakarta tersebut akhirnya bekerja di agensi iklan. Setahun bekerja sebagai strategic planner ternyata membuat fisik Ken tak kuat akibat beban kerja semakin banyak. Ia menderita gerd (gangguan asam lambung), lalu mundur walau belum ada tempat kerja baru.
Tak disangka, ia mendapat tawaran dari atasan lamanya untuk kembali bekerja dengan level jabatan yang lebih tinggi karena dianggap punya rekam jejak kerja yang baik, portofolio menarik, dan banyak pengalaman. Ia menjabat planning manager di perusahaan itu selama dua tahun terakhir. ”Bos gue enggak bilang apa-apa soal pindah-pindah kerja, cuma bilang udah bisa dan banyak pengalaman,” kata lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.
Ken menjelaskan, tujuan dalam mencari kerja terus berkembang. Awalnya, ia mencari kerja hanya demi mendapat penghasilan sesuai keahliannya. Seiring waktu berlalu, Ken juga fokus pada manfaat yang bisa diperoleh untuk diri dan stabilitas yang ditawarkan perusahaan.
Ken menilai, berpindah-pindah kantor memiliki poin plus dan minus. Di industri lain, berpindah kantor bisa memengaruhi penilaian tentang kesetiaan terhadap perusahaan. Namun, pekerja muda di industri media kreatif pada umumnya tidak fokus pada hal itu.
”Justru dengan pindah kantor, gue jadi belajar adaptasi dengan sistem perusahaan yang berbeda. Portofolio klien jadi banyak. Sejauh ini perusahaan yang gue lamar tak memasalahkan karena gue kerja sampai proyek selesai. Bukan hanya enam bulan terus pergi,” kata Ken.
Proses belajar
Sebagai lulusan psikologi dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Ayu PS (29) ingin bekerja di bidang pendidikan. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru TK di sekolah multinasional di Bogor pada 2015.
Setelah 1,5 tahun bekerja, ia merasa tak mendapat pengalaman yang memperluas wawasannya. Ayu keluar dan memilih mengambil sertifikasi SDM untuk bekerja di kantor. Ayu sempat bekerja selama enam bulan di sebuah perusahaan donat di Jakarta sebagai recruitment specialist officer. Ia tidak betah karena tak cocok dengan budaya kerja di sana. Setelah mundur, ia menerima tawaran bekerja di perusahaan minuman sebagai learning and development staff sepanjang 2017.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fdd52472e-9fd2-4b9d-8c73-b59f9de5bc57_jpg.jpg)
Pencari kerja berburu informasi lowongan pekerjaan dalam bursa kerja di Ratu Plaza, Jakarta Pusat, Selasa (7/12/2021). Selama pandemi Covid-19, angkatan kerja usia 15-29 tahun relatif lebih sulit mencari pekerjaan dibandingkan dengan angkatan kerja lama.
”Aku enjoy di situ karena bos-bosnya mau mengajari, ajak diskusi, berpikiran terbuka. Lingkungan kerjanya enak. Tapi yang buat aku resign, jadwal kerjanya padat sampai aku jadi sakit,” kata Ayu, Kamis (13/1/2021).
Ia sempat bekerja di perusahaan media sebagai learning planning and development specialist pada 2018. Setelah bekerja 25 bulan, ia sadar ternyata suka budaya kerja lebih dinamis dan cepat. Alhasil dia langsung menerima tawaran bos lamanya di Coca-Cola untuk bekerja di sebuah perusahaan rintisan bidang properti pada 2020. Kini, Ayu menjabat sebagai people and culture senior associate.
Soal berpindah kerja di industri berbeda, Ayu mengaku pada dasarnya suka pekerjaan yang bisa menantang kemampuan diri. ”Aku mencari lingkungan kerja yang berpikiran terbuka, beragam, dan ada tantangannya. Jadi, aku bisa berkontribusi ke perusahaan dan perusahaan bisa menantang proses belajar aku, ada give and take,” ujarnya.
Ayu bahkan rela untuk tidak menempatkan gaji sebagai prioritas utama dalam melamar pekerjaan asal perusahaan itu berpotensi untuk tumbuh dan membantu dirinya berkembang. Karena itu, gadis ini menolak konotasi negatif dari istilah kutu loncat dalam dunia kerja.
”Ada banyak alasan orang resign: benefit, kenaikan gaji, karier, dan juga mau berkembang. Kita tak bisa stuck di satu perusahaan yang enggak kasih kesempatan untuk bertumbuh. Apa yang bisa kita lakukan? Challenge diri sendiri,” ujar Ayu yang merasa mendapat banyak pengalaman dari bekerja pada bermacam industri.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F17a1a376-32cf-444a-95a7-959f542380bf_jpg.jpg)
Pencari kerja berburu informasi lowongan pekerjaan dalam bursa kerja di Ratu Plaza, Jakarta Pusat, Selasa (7/12/2021).
Sama halnya dengan Paramita yang tak mengejar gaji tinggi saat memilih pekerjaan. Alumnus Jurusan Jurnalistik Universitas Taruma Negara Jakarta tersebut sejak awal sangat suka menulis. Pekerjaan yang ia incar terutama menjadi copy writer yang bisa mendesain sendiri halaman tempat tulisannya berada.
Setelah lulus tahun 2016, ia bekerja di bagian merchandise di perusahaan department store. Meski bukan bidang yang ia suka, ia berusaha bekerja dengan baik sampai sekitar 1,5 tahun. Seiring waktu, Paramita ingin mencari pekerjaan lain. ”Waktu itu beban keuangan saya sudah tak besar lagi sehingga bisa cari pekerjaan sesuai keinginan,” tuturnya pada Sabtu (15/1/20220).
Bukannya menjadi copy writer, cewek yang mahir berbahasa Inggris itu malah bekerja sebagai asisten engineer pada perusahaan konstruksi yang sedang ikut menggarap proyek kereta api ringan (LRT). ”Pekerjaanku menjembatani komunikasi antara pihak perusahaan dan pihak lain yang juga bekerja di proyek LRT. Aku baru tahu ternyata mereka kesulitan mencari insinyur Indonesia yang bisa berbahasa Inggris dengan baik. Nah, aku tertarik kerja di situ karena harus belajar banyak soal pekerjaan mereka,” kata Paramita yang doyan belajar.
Baca juga : Waktunya Anak Muda Bicara
Proyek selesai, tapi Paramita mendapat tawaran lagi untuk bekerja di Jakpro, pemilik proyek LRT, tetapi ia menolak. ”Aku tak mau malah terjebak di bidang itu, bisa lupa sama cita-cita nanti,” ujarnya.
Setelah pindah kerja ke dua industri fashion lalu merasa kurang cocok, sekarang ia bekerja di perusahaan besar penyedia aneka alat rumah tangga. Tugasnya, antara lain, merencanakan branding baru perusahaan.
”Aku berusaha menikmati setiap pekerjaanku. Kadang heran mengapa aku terus yang harus bikin ini-itu, tapi enggak apa. Nikmati saja sambil mencari kesempatan bekerja sebagai copy writer sesuai keinginan awal,” tutur Paramita.
Perubahan orientasi
Menanggapi fenomena itu, praktisi bidang sumber daya manusia yang juga Direktur Experd Consultant Ellen Rachman menyatakan, orientasi pekerja muda sudah jauh berubah dibanding era dulu. Mereka itu sudah biasa mencari info terkini dari berselancar di internet mengenai jenis pekerjaan dan apa yang mereka inginkan. Jangan mengharap pekerja muda setia sampai pensiun di tempat kerja pertama.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F20201125nik-foto-bursa-kerja2_1606302958.jpg)
Ribuan pencari kerja berburu lowongan pekerjaan di bursa kerja Sidoarjo, Rabu (25/11/2020).
”Mereka ingin mendapat kesempatan berkembang lebih besar dan lebih cepat. Jika tak mendapatkannya di tempat ia bekerja sekarang, ia akan mencarinya di tempat lain,” kata Ellen pada Rabu (12/1/2022). Ia menambahkan, sudah biasa pekerja muda sekarang menanyakan ke dirinya sendiri, what in it for me? (apa untungnya untuk aku?). Tak heran jika merasa diabaikan di tempat kerja, mereka akan mencari pekerjaan di tempat lain.
Anak muda, lanjut Ellen, juga sudah menyiapkan keterampilan dirinya untuk loncat ke pekerjaan yang hari ini terus berkembang jenisnya. ”Kita enggak usah menyuruh mereka upgrade diri, mereka sudah tahu, kok, bahkan sudah melakukannya,” ujarnya.
Menurut Ellen, yang harus pekerja senior lakukan atas mereka, antara lain, menjalin komunikasi dengan baik. Maklum, cara berkomunikasi anak sekarang sudah jauh berbeda dengan pekerja senior. Itu sebabnya, mereka perlu bimbingan, tetapi harus dilakukan dengan ”bahasa” mereka.