Senjata Damai Bersuara
Muda acap kali diidentikkan dengan pendobrakan terhadap aturan konvensional. Jalan damai lewat beragam cara utamanya menjadi pilihan yang muda. Budaya pop dengan banyak bentuknya yang jadi senjatanya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2F41cd1c02-e17c-4558-a880-16971736e949_jpg.jpg)
Para aktivis HAM yang dimotori Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti Aksi Kamisan ke-626 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/1/2020). Sejak reformasi yang digulirkan mahasiswa pada 1998, pergerakan anak muda terasa bangkit lagi perlahan setelah dua dekade.
”Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.”
-Tan Malaka_
Muda acap kali diidentikkan dengan pendobrakan terhadap aturan konvensional untuk kemaslahatan yang terpinggirkan dan yang mencari keadilan. Jalan damai lewat beragam cara utamanya menjadi pilihan yang muda. Budaya pop dengan banyak bentuknya yang jadi senjatanya.
Suatu saat nanti tanah air kembali berdiri/ Suatu saat nanti kita memimpin diri sendiri/
Sepenggal lirik lagu ”Peradaban” milik kelompok musik .feast mengiringi mahasiswa dan pelajar yang menyuarakan pendapatnya pada September 2019 lalu. Lagu ini seakan menjadi pelecut semangat kaum muda di Jakarta, Yogyakarta, hingga Makassar yang menggugat keadilan karena sejumlah undang-undang bermasalah.
Sejak reformasi yang digulirkan mahasiswa pada 1998, pergerakan anak muda terasa bangkit lagi perlahan setelah dua dekade. Ya, mereka memang bukan yang lama-lama berdiskusi tentang buku-buku Pramoedya Ananta Toer secara diam-diam sampai tengah malam. Mereka bukan juga yang berkumpul di sebuah kamar kos sambil memainkan gitar lagu Bento.
Namun, mereka sama-sama meresapi nilai dan pemikiran yang membangun kesadaran dan membingkai idealisme dari bentuk pop culture, baik musik, film, hingga buku bacaan. Novan Pramudito (22), mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta, pun mengungkapkan mulai mengulik perihal penghilangan paksa 1998 setelah mendengar salah satu lagu .Feast yang berjudul ”Berita Kehilangan”.
”Ya, tadinya mana ngerti, kan. Kejadiannya aja pas aku belum lahir itu. Tapi dari dengar lagu, salah satunya .Feast. Jadi pengen tahu. Nemu juga tentang Aksi Kamisan yang bikin makin ngulik lagi apa penyebabnya dan kenapa enggak tuntas juga,” ujar Novan, yang jadi menyadari peristiwa lain dari lagu ”Peradaban”.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2F20191010KUM28_1641036322.jpg)
Musisi Iksan Skuter duet dengan Jason Ranti membawakan sejumlah lagu dalam rangkaian bincang santai bertajuk ”Mendesak Tapi Santuy” di kawasan Setiabudi, Jakarta, Rabu (9/10/2019). Pergerakan anak muda bangkit lagi selama dua dekade ini salah satunya melalui lagu.
Selain lewat lagu, pemantik terkait kasus penghilangan paksa ini juga muncul lewat komik singkat Earth-6 yang digambar oleh Rein Maychaelson dan dirilis berkala lewat akun Instagram milik Sun Eater yang merupakan label rekaman.
”Untuk konten dan ide komiknya dikembangin bareng dari kami dibantu Rein. Maksudnya berusaha memaparkan ada kondisi begini lho ya. Kesimpulannya itu ada pada yang membaca. Jadi, menginformasikan aja, semacam speaker masjid aja, kami sebagai corong aja,” ungkap Co-Founder dan Director Sun Eater Kukuh Rizal Arfianto.
Baca juga: Yang Muda Yang Bergerak
Sun Eater sendiri juga menaungi beberapa musisi. Salah satunya .Feast yang dalam tiap lagunya berisi kisah persoalan yang kerap terjadi di negara ini. Belum lama ini, Sun Eater juga bekerja sama dengan grup musik Tashoora lewat proyek Sounds Cute Might Delete Later. Dalam proyek ini, Tashoora memperkenalkan lagu baru berjudul ”Safi” yang berupaya memaknai kebebasan berpendapat.
Ia pun memahami pop culture, termasuk musik ini kerap menjadi bentuk upaya perlawanan terhadap rezim. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga hampir di berbagai negara. Ia berkaca pada peristiwa Perancis, Mei 1968. Grafiti, mural, dan poster dengan slogan menjadi corong bersuara. Il est interdit d’interdire yang artinya dilarang melarang menjadi salah satu yang disuarakan terkait kebebasan berpendapat.
Kedekatan pop culture dengan anak muda juga menjadi alasan. ”Anak muda akan selalu mencari medium yang pas untuk bersuara. Biasanya mencari yang memiliki kedekatan. Musik, film, komik, bahkan mungkin meme saat ini di sosial media adalah hal yang dekat dengan anak muda. Jadi, itu yang digunakan untuk bersuara dan bisa jadi efektif didengar dan membesar juga,” ujar salah seorang personel Tashoora, Gusti Arirang.
Gusti pun mengungkapkan, keberadaan media sosial saat ini membantunya menangkap kondisi sekitar yang kemudian menjadi materi karya sekaligus menjadi sarana bersuara. ”Ada yang sering kontak lewat DM, cerita ada persoalan di daerahnya. Cerita kekerasan aparat dan minta kita untuk membantu. Ya, jadi salah satu inspirasi,” ujarnya, yang bersama Tashoora menuangkan persoalan kekerasan aparat lewat lagu ”Aparat”.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2F8f0fdd38-4bc3-45e0-b57c-88899c4e2856_jpg.jpg)
Tim film Penyalin Cahaya yang meraih penghargaan Piala Citra untuk kategori film cerita panjang terbaik pada acara malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center di Jakarta, Rabu (10/11/2021) malam. Film yang disutradarai Wregas Bhanuteja ini meraih 12 dari 17 kategori penghargaan piala Citra.
Secara terpisah, sutradara Wregas Bhanuteja yang memenangi piala Festival Film Indonesia 2021 lewat filmnya, Penyalin Cahaya, menjelaskan pesan lebih mudah diterima, terutama oleh anak muda, lewat sesuatu hal yang tidak menggurui. Di Penyalin Cahaya, ia menyuarakan perihal kekerasan seksual di lingkungan kampus dan komunitas.
”Yang ingin disampaikan adalah keberpihakan pada korban yang diperlukan. Untuk hal semacam ini, film bisa jadi salah satu media yang efektif. Anak muda itu sebenarnya memiliki kesadaran yang tinggi, tapi tidak suka bertele-tele. Film ini harapannya akan lebih membangun kesadaran yang sudah ada untuk bergerak bersama melawan kekerasan seksual dan berpihak pada korban,” ungkapnya.
Bukan barang baru memang memanfaatkan pop culture untuk bersuara. Tiap era selalu ada karya yang menggugat ketidakadilan dan bersuara bagi yang terpinggirkan, baik film, musik, teater, komik, mural, hingga buku. Daya dobraknya dan kemampuannya menggerakkan massa secara damai pun tak diragukan. Jadi, jangan sekali-kali mencoba merepresinya karena idealisme mereka berlipatganda.