Anak muda tidak bisa dianggap remeh, terbukti dari pergerakan yang membawa perubahan besar di suatu negara berawal dari anak muda.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Massa dari berbagai kelompok mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di Markas Polda Sultra, Senin (27/9/2021), menuntut polisi mengusut kematian Randi dan Yusuf secara jelas. Selain lewat unjuk rasa, mahasiswa kini banyak mengungkapkan aspirasi dan kritik lewat medium digital.
Seiring berkembangnya zaman, cara menyampaikan pendapat pun berubah. Kedekatan generasi muda dengan dunia digital membuka bentuk aktivisme bernama aktivisme digital. Aktivitas ini disadari bergerak kian cepat selama pandemi.
Pertengahan 2021, jagat media sosial diramaikan oleh unggahan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia berupa meme wajah Presiden Joko Widodo bertuliskan ”Jokowi The King of Lip Service”. Dalam sekejap, respons pro dan kontra bermunculan. Seiring meme itu, Ketua BEM UI Leon Alvinda mengalami doxing dan media sosialnya sempat diretas.
Isu ini jadi kian ramai setelah pihak rektorat UI mengambil tindakan reaktif yang memicu protes dari banyak pihak. Tindakan itu dianggap membatasi kebebasan berpendapat di lingkungan kampus.
Banyak anak muda, terutama yang masuk dalam generasi Z dan generasi milenial akhir, ramai bersuara membela hak kebebasan berpendapat. Bahkan, ada yang sepakat dengan meme yang diproduksi BEM UI itu.
Hasil pemetaan Drone Emprit menunjukkan, mayoritas yang aktif dalam percakapan via Twitter terkait isu ini berusia muda, yakni 49,56 persen berusia 19-29 tahun.
Ini sejalan dengan paparan Damien Spry, dosen University of South Australia. Menurut dia, media sosial menjadi media yang paling banyak digunakan. Mencari informasi dan berpendapat telah beralih ke medium daring. Tercatat sekitar 89 persen sumber berita yang digunakan saat ini berasal dari berita daring ataupun media sosial.
KOMPAS/ TATANG MULYANA SINAGA
Deklarasi ”Bandung Antihoaks” diadakan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) pada kegiatan hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Ir Djuanda, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (31/3/2019).
Bagi anak muda, media sosial adalah wahana berekspresi untuk banyak hal. Mereka aktif mengikuti akun yang menawarkan edukasi terkait isu yang ingin didalami. Mereka aktif menandatangani petisi untuk isu-isu terkait demokrasi dan kemanusiaan. Hal yang jauh dari bayangan mengingat persepsi yang muncul tentang anak muda adalah pribadi yang hanya doyan bersenang-senang dan jauh dari berpikir kritis.
”Ini jelas salah. Anak muda sekarang justru sangat kritis. Mereka bisa bedain mana yang buzzer mana yang enggak. Kesadaran dan kepedulian mereka tinggi, apalagi mereka mudah mengakses berbagai informasi untuk memperkaya wawasan. Tetapi, memang untuk menjangkau mereka ini agak tricky. Penyampaiannya ya agak shallow, tetapi ternyata nyampe, misal lewat meme atau jokes receh,” ungkap Co-Founder Generasi Melek Politik Neildeva Despendya.
Akun Generasi Melek Politik, organisasi nirlaba untuk anak muda ini, telah memiliki lebih dari 15.000 pengikut di Instagram. Di Tiktok, pengikutnya lebih dari 7.000. ”Kami fokus pada Twitter dan Tiktok karena bermain di visual. Anak muda lebih cepat nyantol dengan visual. Bahkan, untuk Tiktok, span-nya hanya tiga detik awal, Kalau tiga detik awal enggak menarik, langsung ganti mereka. Susah, kan,” ungkap Neil.
Untuk itu, Generasi Melek Politik akrab dengan meme. Mereka mulai dari hal-hal ringan untuk selanjutnya membahas topik serius yang ternyata diminati. ”Tujuan kami membuka akses bagi anak muda di luar daerah untuk memperoleh informasi dan edukasi tentang politik, demokrasi, dan lain-lain secara berimbang,” ujar Neil.
Begitu pula dengan Arisearose. Komunitas anak muda yang berawal di Instagram dan telah mempunyai lebih dari 19.000 pengikut ini aktif bergerak menyuarakan sejumlah isu, seperti kesehatan mental, lingkungan, dan sosial politik. Sejalan dengan hal itu, mereka perlahan menghantarkan literasi digital kepada para pengikutnya.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dengan membawa pamflet mengingatkan masyarakat akan berita bohong alias hoaks di areal pengguna jalan pada kegiatan hari bebas kendaraan bermotor di Jakarta, Minggu (12/2/2017).
”Salah satunya saat menyampaikan pendapat, kami berbasis fakta dan data. Kami juga tidak mau menunjuk atau menuding seseorang, karena yang dicari adalah solusinya. Begitu juga pada isu pemilu, kami tidak akan mengarahkan ke tokoh tertentu, tetapi lebih memberikan gambaran dengan contoh nyata yang mereka lakukan. Kalau, misalnya, kampanye prolingkungan, ya kita lihat benar enggak aksinya,” tutur Co-Founder Arisearose Calista Fahira Ridrany Jasmine.
Secara terpisah, Anita Wahid yang juga turut serta dalam Siberkreasi dan menggerakkan Mafindo serta Public Virtue memberi pesan bagi anak muda untuk tetap bergerak. Aktivisme digital ini merupakan sebuah keniscayaan dan anak muda yang memegang kendali. Akan tetapi, literasi digital perlu dipegang tidak hanya dari kreasi pembuatan konten, tetapi juga etika dan keamanan.
”Basis fakta dan data ini penting, jangan katanya-katanya. Fokus pada solusi, bukan sibuk menghujat, ini perlu sekali. Untuk etika ini tak hanya berlaku bagi anak muda yang bersuara, tetapi juga bagi pihak yang dikritik. Ini juga yang terus giat diberikan literasi. Dikritik itu, ya, jangan sedikit-sedikit lapor, telinganya perlu tebal, karena maksudnya (kritik) baik,” ungkap Anita.
Anak muda tidak bisa dianggap remeh, terbukti dari pergerakan yang membawa perubahan besar di suatu negara berawal dari anak muda. Terlebih saat ini, aktivisme digital tak terelakkan. Pergerakan pun dapat mewujud berbeda meski tujuannya sama, untuk keadilan dan kesejahteraan sesama.