Aturan ketat pembatasan kegiatan yang mengharuskan orang lebih banyak di rumah menjadikan merokok sebagai pelarian yang ampuh mengatasi kejenuhan dan rasa cemas. Padahal, kebiasaan itu menambah gangguan kesehatan.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga melewati salah satu lorong di permukiman warga yang dihiasi mural bertema kawasan bebas asap rokok di lingkungan warga RW 006 Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (7/10/2021).
Kondisi pandemi sejatinya bisa mendorong kesadaran untuk berperilaku hidup lebih sehat. Namun, hal tersebut tak berlaku bagi para perokok. Di tengah besarnya risiko gangguan kesehatan hingga berbagai tekanan hidup akibat pandemi, perilaku konsumsi rokok masyarakat Indonesia justru tetap tinggi.
Hasil pengkajian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa perokok akan 50 persen lebih berisiko mengalami gejala Covid-19 yang parah dibandingkan dengan para pasien yang tidak merokok. Kandungan nikotin di dalam rokok diketahui dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, dalam hal penanganan, para perokok yang positif Covid-19 berpotensi dua kali lebih membutuhkan ventilator dan ruang ICU. Bahkan, risiko kematiannya juga meningkat jauh lebih besar.
Laman resmi Health Promoting University, Universitas Gadjah Mada, juga mengungkap bahwa hampir lima juta kematian prematur disebabkan oleh kebiasaan merokok. Dalam suatu proyeksi disebutkan, ketika permasalahan tersebut tak lekas diatasi, maka pada tahun 2030 rokok dapat membunuh setidaknya seperenam populasi manusia.
Tahun 2020, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok komoditas rokok dan tembakau mencapai Rp 73.442. Kemudian meningkat menjadi Rp 76.583 untuk tahun 2021.
Efek adiksi yang dirasakan para penikmat tembakau membuat kebiasaan itu sangat sulit untuk dihilangkan. Di dalam tembakau terkandung setidaknya lebih dari 3.000 senyawa dan salah satu yang paling kuat menimbulkan kecanduan adalah nikotin.
Zat tersebut menjadikan dopamin dalam otak meningkat yang memicu ketergantungan. Itulah sebabnya sekalipun beragam risiko berbahaya pada kesehatan telah terinformasi baik, tetap akan kalah dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin yang didapat dari isapan asap rokok.
Konsumsi rokok tinggi
Situasi buruk pandemi yang membuat peningkatan risiko fatal bagi kesehatan sepertinya tidak dengan mudah menggeser kebiasaan merokok bagi pencandunya. Hal itu terbukti dengan tingginya jumlah konsumsi rokok bahkan dalam rentang dua tahun masa pandemi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengeluaran konsumsi untuk rokok tahun 2020-2021 tetap tergolong tinggi. Tahun 2020, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok komoditas rokok dan tembakau mencapai Rp 73.442. Kemudian meningkat menjadi Rp 76.583 untuk tahun 2021.
Besaran itu menempatkan rata-rata pengeluaran rokok dan tembakau masyarakat Indonesia di urutan kedua setelah kebutuhan pokok, yaitu kelompok makanan dan minuman jadi. Besaran pengeluaran tersebut bahkan terpaut jauh lebih besar dibandingkan dengan pembelian kebutuhan protein seperti ikan, telur dan susu, daging bahkan sayur dan buah.
Secara proporsi, konsumsi rokok dan tembakau di dua tahun masa pandemi itu mencapai 6 persen rata-rata pengeluaran per kapita dalam sebulan. Meski cenderung stagnan sejak 2015, ada sedikit peningkatan dalam tiga tahun terakhir.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Mural bertema kawasan bebas asap rokok menghiasi permukiman warga di lingkungan RW 006 Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (7/10/2021).
Tingkat konsumsi rokok dan tembakau yang tetap tinggi ini juga menegaskan ketiadaan pengaruh tekanan kondisi keseharian dan ekonomi di masa pandemi pada perilaku merokok. Terkait hal tersebut, hasil studi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun lalu mengungkap adanya perubahan status dan perilaku merokok saat pandemi.
Riset yang dilakukan terhadap 412 responden ini memotret perilaku para perokok terkait intensitas, pengeluaran, hingga perubahan harga rokok yang dikonsumsi pada kondisi pandemi. Berkaitan dengan intensitas merokok, perubahan terpotret pada 37 persen responden yang menyatakan adanya penurunan jumlah konsumsi.
Meskipun demikian, jika dihitung dalam rata-rata mingguan, responden yang masuk dalam kategori menurun tersebut rata-rata masih mengonsumsi 60 batang rokok. Sementara, sebagian besar responden (60 persen) mengaku jumlah konsumsi rokok tidak berubah dari rata-rata 78 batang per minggu.
Dalam hal pengeluaran, lebih dari separuh responden pun menyatakan tidak terdapat perubahan besaran yang dikeluarkan setiap minggu untuk membeli rokok. Pada proporsi yang cukup besar pula, yaitu sekitar 42 persen responden mengaku pengeluaran untuk konsumsi rokok menurun.
Pola konsumsi merokok yang juga cukup stabil disampaikan oleh tujuh dari sepuluh responden terkait dengan harga rokok yang paling sering dikonsumsi, yaitu sekitar Rp 97.091 untuk 69 batang setiap minggunya. Sementara ada sekitar 24 persen responden yang cenderung tingkat pengeluarannya menjadi menurun untuk konsumsi rokok.
Dalam konteks ini, saat pandemi kelompok responden tersebut berarti memilih untuk beralih membeli rokok yang harganya lebih murah. Kelompok yang bergeser tersebut menghabiskan pengeluaran tak kurang dari Rp 88.850 untuk 78 batang per minggu.
Tekanan kecemasan
Hal lain yang juga penting untuk dipahami dalam melihat tingkat konsumsi rokok selama masa pandemi berkaitan dengan kondisi kenyamanan dan adanya perubahan pola aktivitas. Adanya aturan ketat untuk pembatasan kegiatan yang mengharuskan orang lebih banyak berdiam diri di rumah menjadikan merokok sebagai pilihan pelarian yang ampuh mengatasi kejenuhan dan rasa cemas.
Studi di Eropa menemukan bahwa di Inggris lebih dari 625.000 orang dewasa berusia muda menjadi perokok selama masa lockdown pertama. Di Perancis, hampir sepertiga perokok mengonsumsi batang tembakau lebih banyak sejak masa pembatasan awal diberlakukan. Peningkatan konsumsi rokok tersebut paling besar memang dipicu karena faktor kecemasan yang dialami masyarakat.
Sama halnya seperti di Indonesia, tingkat kecemasan dalam menghadapi masa pandemi pun terekam pada hasil survei BPS tentang perilaku masyarakat di masa pembatasan kegiatan darurat pertengahan tahun lalu. Hasil survei mendapati bahwa lebih dari 60 persen dari 212.762 responden menyatakan merasakan kejenuhan ketika harus berdiam diri di rumah.
Kekhawatiran yang berlebih pada kompleksitas dan ketidakpastian pandemi memang telah memberikan tekanan pada kondisi kesehatan fisik dan mental. Alasan kesehatan semestinya dapat menjadi prioritas yang membangun kesadaran pada tanggung jawab memelihara kesehatan tubuh, salah satunya dengan tidak merokok. (LITBANG KOMPAS)