Sebanyak 10 persen kelompok terkaya dunia rakus dalam konsumsi karbon. Kelompok ini telah menikmati buah kemajuan berkat akumulasi jejak karbon mereka yang dominan. Karena itu, tanggung jawab terbesar berada pada mereka.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
AP/ALBERTO PEZZALI
Pengunjuk rasa dari sejumlah negara berkumpul di Glasgow, Skotlandia, Jumat (5/11/2021). Mereka memprotes para pemimpin negara dan perusahaan yang menghadiri KTT ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26).
LONDON, SABTU — Pencapaian target pengendalian penyebab dan dampak perubahan iklim tidak cukup lewat pemangkasan emisi karbon secara drastis oleh kelompok terkaya. Perlu juga kontribusi negara dan warga kaya kepada negara berkembang dan miskin. Sebab, mereka telah meraup keuntungan ratusan tahun dari pembangunan sarat emisi karbon.
Pesan ini tertuang dalam kesimpulan kajian Oxfam bersama Institute for European Environmental Policy (IEEP) dan Stockholm Environment Institute (SEI). Hasil kajian itu diumumkan pada Jumat (5/11/2021) malam waktu London atau Sabtu dini hari WIB.
Kajian itu menekankan, negara berpendapat tinggi, seperti anggota Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris, diuntungkan selama ratusan tahun oleh pembangunan yang melepaskan banyak karbon. Oleh karena itu, wajar bila mereka berkontribusi lebih besar untuk pengendalian penyebab dan dampak perubahan iklim.
Tanggung jawab pengendalian yang terdistribusi secara adil kepada negara-negara maju itu tidak hanya memangkas emisi domestik setiap negara. Namun, tanggung jawab itu juga termasuk kontribusi finansial untuk mendukung negara berkembang dan miskin mencapai target pemangkasan emisinya. Mereka juga perlu berkontribusi pada upaya memitigasi bencana yang ditimbulkan perubahan iklim.
JOE RAEDLE/GETTY IMAGES/AFP
Kru New Shepard: (kiri ke kanan) Oliver Daemen, Jeff Bezos, Wally Funk, dan Mark Bezos, berpose bersama setelah terbang ke antariksa, Selasa (20/7/2021), di Van Horn, Texas, Amerika Serikat.
Kajian itu menekankan pentingnya peran kelompok terkaya di Bumi dalam upaya pemangkasan emisi karbon global. Mereka didorong memanfaatkan pengaruhnya pada para pengambil keputusan agar membuat kebijakan yang benar-benar berkontribusi pada pengendalian perubahan iklim. Mereka juga diharapkan semakin mengembangkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dan memangkas emisi karbon.
Guna mencapai target pengendalian kenaikan suhu permukaan Bumi maksimal 1,5 derajat celsius di 2030 dari era sebelum Revolusi Industri di 1830-an, konsumsi emisi karbon per orang maksimal 2,3 ton per tahun. Konsumsi emisi per orang mencerminkan bagian individu dari total konsumsi nasional emisi negaranya, termasuk emisi yang terkait dengan konsumsi rumah tangga, penanaman modal, dan penggunaan layanan pemerintah.
Berdasarkan tren saat ini, kajian Oxfam-IEEP-SEI memproyeksikan, 1 persen kelompok terkaya dunia akan mengonsumi rata-rata 70 ton karbon per orang per tahun pada 2030 atau 30 kali di atas standar.
Sementara 10 persen kelompok terkaya dunia akan mengonsumsi rata-rata 18 ton karbon per orang per tahun alias sembilan kali di atas standar. Kelas menengah yang jumlahnya mencapai 40 persen mengonsumi 5 ton karbon per orang per tahun atau dua kali di atas level standar. Ada pun 50 persen warga dunia yang masuk kelompok termiskin hanya mengonsumi 1,5 ton emisi karbon per orang per tahun alias di bawah standar.
Kompas
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Perlawanan Perubahan Iklim melakukan aksi unjuk rasa di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (5/11/2021). Mereka meminta pemerintah melakukan aksi nyata untuk menghentikan krisis iklim global. Para aktivis meminta pemerintah untuk menghentikan pemberian izin baru untuk pembangunan PLTU batubara, mengedepankan zero deforestation, meningkatkan target penurunan emisi, dan menghentikan pemberian konsesi di pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir.
Pada 1993, emisi karbon dari 1 persen kelompok terkaya dunia setara dengan 13 persen dari total emisi global. Pada 2015, porsinya naik menjadi 15 persen dan akan bertambah menjadi 16 persen pada 2030.
Guna kembali ke jalur yang telah ditetapkan, 1 persen kelompok terkaya mesti memangkas produksi karbonnya hingga 97 persen dari aras saat ini. Tanpa pengurangan drastis dari kelompok terkaya, upaya 90 persen populasi Bumi nyaris sia-sia. Sebab, 90 persen populasi Bumi di luar kelompok terkaya amat rendah jejak karbonnya.
”Sekelompok kecil super elite seperti punya kebebasan untuk menghasilkan polusi. Emisi karbon dari sekali penerbangan antariksa kelompok superkaya melebihi emisi yang bisa dihasilkan miliaran orang miskin,” kata Kepala Kebijakan Iklim Oxfam Nafkote Dabi.
Kepala Kajian Ekonomi Rendah Karbon di IEEP, Tim Gore, mengatakan bahwa ketimpangan bukanlah hasil konsumsi mayoritas penduduk Bumi. ”Ketimpangan menunjukkan emisi berlebihan oleh kelompok terkaya Bumi. Guna mengatasi ketimpangan pada 2030, penting bagi pemerintah untuk menyasar kelompok terkaya. Langkah itu termasuk kebijakan untuk mengendalikan emisi besar seperti kapal pesiar mewah, pesawat pribadi, wisata antariksa, dan memangkas investasi di energi fosil,” katanya.
Peneliti SEI, Emily Ghosh, menyatakan, kajian Oxfam-IEEP-SEI menunjukkan aneka tantangan untuk memastikan pembagian dana pemangkasan karbon secara adil. ”Jika tetap seperti sekarang, ketimpangan karbon dan pendapatan akan kian melebar. Jalur seperti sekarang akan mengingkari inti Kesepakatan Paris,” katanya.
Kritik terhadap kelompok terkaya sebagai penghasil karbon sudah bolak-balik dilontarkan. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres mengingatkan, separuh emisi karbon global dihasilkan oleh tidak sampai 10 persen populasi dunia. ”Ketimpangan dan ketidakadilan ini seperti kanker,” katanya. (AFP/REUTERS)