Media Perlu Lebih Gencar Memberitakan Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim
Pemberitaan media daring terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim masih rendah. Berita-berita seputar isu-isu ini hanya berkutat pada narasi kebijakan di tingkat pusat dan tidak mengelaborasi masalah atau menggali

Aktivis kelompok Extinction Rebellion berkumpul di Lapangan Parlemen, pusat kota London, Inggris, dalam aksi terkait krisis iklim, Selasa (1/9/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Media-media di Indonesia belum banyak yang menyajikan informasi dan pemberitaan tentang isu lingkungan ataupun perubahan iklim. Keahlian wartawan menyajikan pemberitaan dan kebijakan redaksi merupakan faktor penting untuk lebih mengarusutamakan isu lingkungan dan perubahan iklim ini.
Rangkuman tersebut tertuang dalam buku berjudul Media dan Perubahan Iklim yang disusun tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Buku ini menyajikan tentang studi atas bingkai dan keterbacaan berita mengenai perubahan iklim di media daring.
Pengacara Publik LBH Pers Mustafa yang juga salah satu penyusun buku tersebut mengemukakan, buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan selama lima bulan pada Agustus-Desember 2021. Penyusunan buku ini dilatarbelakangi kondisi lingkungan saat ini yang sedang dalam keadaan tidak baik, tetapi kurang terinformasikan kepada publik.
”Negara kita sudah mengakui atau berkomitmen untuk menjaga lingkungan yang tertuang dalam Kesepakatan Paris 2015. Namun, dalam tataran kebijakan, pelaksanaannya masih kurang diketahui. Sedangkan hasil penelitian Yougov Cambridge Globalism Project menunjukkan, 18 persen penduduk Indonesia tidak percaya dengan isu lingkungan dan perubahan iklim,” ujarnya dalam diskusi daring, Jumat (18/2/2022).
Menurut Mustafa, kondisi ini juga sejalan dengan rendahnya perhatian penyedia informasi, khususnya media daring di Indonesia, dalam memberitakan isu perubahan iklim. Media massa di Indonesia juga cenderung menyajikan informasi yang kurang memadai terhadap isu energi terbarukan. Sebaliknya, beberapa media cenderung melihat entitas usaha yang merusak lingkungan, seperti pertambangan, sebagai bisnis yang positif.

Aktivis kelompok Extinction Rebellion membentangkan spanduk saat berpawai menuju Lapangan Parlemen di pusat kota London, Inggris, dalam aksi terkait krisis iklim, Selasa (1/9/2020).
Mustafa menjelaskan, tujuan penelitian yang dirangkum dalam buku ini yaitu menyediakan penilaian mengenai kinerja media dalam meliput isu perubahan iklim. Selain itu, tujuan lainnya yakni menggali celah pemberitaan yang bisa dikembangkan dalam strategi komunikasi mengenai emisi karbon.
Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis bingkai dan uji keterbacaan. Metode analisis bingkai bertujuan untuk memotret hubungan antara isu perubahan iklim dan isu turunannya dengan topik polusi udara serta kebakaran hutan. Analisis juga menggunakan sampel 22 media daring yang masuk dalam peringkat 50 besar Alexa 2021.
Peneliti kemudian mengumpulkan populasi data dari pemberitaan media tersebut dengan kata kunci perubahan iklim, polusi udara, dan kebakaran hutan selama periode 1 Januari-31 Desember 2020. Hasilnya, diperoleh 764 berita yang terdiri dari 221 berita tentang perubahan iklim, 288 berita tentang polusi udara, dan 255 berita tentang kebakaran hutan.
Baca juga : Perubahan Iklim Memperparah Kejadian Bencana dan Wabah Penyakit
Sebagian besar berita dari media daring tersebut juga menjadikan isu lingkungan sebagai isu utama kecuali dalam isu polusi udara. Adapun isu polusi udara didominasi tentang ekonomi dan bisnis, terutama otomotif dan energi terbarukan. Sedangkan isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) didominasi topik bencana.
”Dari kedua isu turunan, hanya polusi udara yang memiliki keterkaitan yang cukup besar dengan isu perubahan iklim. Media sangat jarang menghubungkan isu karhutla dengan perubahan iklim meski kajian ilmiah menunjukkan hubungan yang cukup erat antar-keduanya. Keterkaitan antara polusi udara dan karhutla pun rendah,” kata Mustafa.

Salah satu kesimpulan penelitian ini yaitu variasi topik isu perubahan iklim dan polusi udara cukup beragam. Namun, perspektif warga yang terdampak perubahan iklim ataupun kerusakan lingkungan sangat jarang diangkat. Akibatnya, berita seputar isu-isu ini hanya berkutat pada narasi kebijakan di tingkat pusat dan tidak mengelaborasi masalah atau menggali solusi.
Hambatan
Menurut Mustafa, salah satu hambatan atau penyebab kurangnya pemberitaan tentang isu lingkungan ataupun perubahan iklim yang dirangkum dalam penelitian ini yaitu terkait dengan ekonomi media tersebut. Perubahan iklim merupakan isu yang dianggap tidak mendatangkan audiens sehingga tidak menguntungkan bagi media daring.
Dalam aspek lainnya, pemberitaan tentang lingkungan masih rendah karena tidak adanya kesadaran dan pengetahuan wartawan tentang isu ini. Hal tersebut juga tidak terlepas dari kondisi internal media yang tidak memiliki desk khusus lingkungan atau jurnalis yang memiliki kecakapan dalam meliput isu perubahan iklim.
”Meski kajian mengenai perubahan iklim banyak dibuat dan dikomunikasikan pada media, kajian tersebut sering disajikan dalam bentuk yang sulit dipahami. Ditambah lagi rendahnya kesadaran dan pengetahuan wartawan mengenai isu perubahan iklim sehingga berakibat pada buruknya kualitas liputan,” tuturnya.
Selain itu, hambatan lainnya yakni adanya keterlibatan industri perusak lingkungan yang memiliki jaringan kuat dalam dunia politik dan media di Indonesia. Hal ini berpengaruh dalam penetapan kebijakan besar yang melindungi praktik kerusakan lingkungan.
Kebijakan redaksi
Ketua Perhimpunan Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) Rochimawati memandang bahwa isu lingkungan bisa menarik untuk dibaca jika wartawan mengetahui cara mengemasnya dengan baik. Di sisi lain, redaksi juga harus memiliki kepekaan dan komitmen untuk memberikan ruang lebih bagi pemberitaan tentang isu lingkungan dan perubahan iklim.

”Wartawan bisa membuat isu lingkungan menjadi isu keseharian yang ringan dan humanis. Hal ini akan membuat orang tertarik untuk membaca isu lingkungan atau krisis iklim. Selama ini, orang hanya mengetahui isu krisis iklim setelah ada kejadian bencana, deforestasi, atau kebakaran hutan. Ini menjadi pekerjaan rumah orang-orang media,” ucapnya.
Baca juga: Peran Media sebagai Pengawas Semakin Penting di Masa Pandemi
Pemimpin Redaksi Forest Digest Bagja Hidayat sepakat bahwa wartawan dan redaksi harus memberikan ruang lebih untuk berita yang memuat isu lingkungan dan perubahan iklim serta mengemasnya dengan lebih menarik. Sebab, ia tidak memungkiri bahwa selama ini media daring sangat bergantung pada kata kunci internet dan optimasi mesin pencari (SEO) untuk mendapatkan klik dan dibaca orang sebanyak mungkin.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F12%2F73962518_1545240001.jpg)
Waduk Gondang di Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, mengalami kekeringan, Sabtu (15/9/2018). Perubahan iklim bisa memicu bencana kekeringan sehingga mengancam produktivitas pertanian. Untuk itu, berbagai upaya untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim perlu dilakukan, termasuk riset untuk menghasilkan tanaman yang tahan cuaca ekstrem.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2F20181105_PESISIR_D_web_1541404791.jpg)
Kawasan pesisir utara dengan tanaman mangrove yang terus menyusut karena rusak diterjang ombak, perubahan iklim dan menjadi lahan tambak seperti di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (5/11/2018).
[/caption]