Cukai Minuman Berpemanis Untungkan Warga Berpenghasilan Rendah Test Critical
Cukai minuman manis yang secara signifikan mengurangi pembelian minuman berpemanis dan pajak yang terkumpul bisa mendanai program peningkatan akses ke makanan sehat dan pembelajaran anak usia dini.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang pedagang usaha mikro tengah menjual minuman teh kemasan kepada pembeli di Jakarta, Senin (9/3/2020). Terkait wacana pemerintah untuk mengenakan pajak terhadap minuman berpemanis, para pedagang berharap agar pajak tersebut tidak memberatkan usaha mereka.
JAKARTA, KOMPAS — Minuman berpemanis gula dikenal sebagai penyumbang beberapa masalah kesehatan, termasuk kualitas diet yang buruk, penambahan berat badan, dan diabetes. Sejumlah kota di Amerika Serikat berhasil menerapkan cukai minuman manis yang secara signifikan mengurangi pembelian minuman berpemanis dan pajak yang terkumpul bisa mendanai program peningkatan akses ke makanan sehat dan pembelajaran anak di usia dini.
Penelitian baru dari University of Washington (UW), diterbitkan di jurnal Food Policy pada 8 Juli 2022, membahas masalah ini dengan memeriksa dampak ekuitas ekonomi dari pajak minuman manis di tiga kota di Amerika Serikat, yaitu Seattle, San Francisco, dan Philadelphia.
”Minuman manis adalah tembakau baru,” kata James Krieger, penulis senior paper ini yang juga profesor klinis sistem kesehatan dan kesehatan populasi di UW School of Public Health, dalam keterangan tertulis yang dirilis kampus ini.
Menurut Krieger, peneliti kesehatan masyarakat dan lainnya telah bekerja selama beberapa waktu untuk mengurangi penjualan minuman ini. ”Cukai bekerja dengan baik untuk mengurangi pembelian tembakau, dan telah diterapkan dan tampaknya bekerja sama baiknya dalam minuman manis,” katanya.
Studi menunjukkan pajak yang dibayarkan oleh rumah tangga menyumbang proporsi pendapatan yang lebih besar untuk rumah tangga berpenghasilan rendah, tetapi masih di kisaran 0,01 persen hingga 0,05 persen. Sementara uang per kapita tahunan yang dibayarkan rumah tangga untuk pajak, antara 5,50 dollar AS dan 31 dollar AS, tidak berbeda menurut tingkat pendapatan.
Pajak-pajak ini secara selektif dan khusus menguntungkan orang-orang dengan pendapatan lebih rendah ke tingkat yang lebih besar daripada orang-orang dengan pendapatan lebih tinggi. (James Krieger)
Para peneliti juga menemukan bahwa pajak minuman manis mendistribusikan kembali dollar AS dari rumah tangga berpenghasilan tinggi ke rendah. Lebih banyak dollar AS digunakan untuk mendanai program yang menguntungkan masyarakat berpenghasilan rendah daripada rumah tangga yang dibayar pajak. Manfaat bersih tahunan untuk masyarakat berpenghasilan rendah berkisar antara 5,3 dollar AS hingga 19,1 juta dollar AS per tahun di tiga kota di AS.
”Kota-kota telah memprioritaskan program pendanaan yang menguntungkan populasi berpenghasilan rendah, yang membuat kebijakan pajak minuman manis lebih adil secara ekonomi,” kata Krieger.
Misalnya, pendapatan yang diperoleh dari pajak minuman manis Seattle telah digunakan untuk mendanai program dan layanan yang meningkatkan akses ke makanan sehat dan mendukung kesehatan dan pembelajaran anak di usia dini. Pada tahun 2020, penerimaan pajak minuman manis juga digunakan untuk memberikan dukungan kepada masyarakat yang terdampak secara tidak proporsional oleh pandemi Covid-19.
Para peneliti mempelajari volume pembelian minuman yang dilakukan di toko oleh 1.141 rumah tangga di tiga kota AS untuk memperkirakan pajak yang dibayarkan oleh rumah tangga selama tahun pertama setelah penerapan pajak. Mereka kemudian menggunakan data penduduk kota untuk menghitung jumlah pajak minuman manis per kapita yang dibayarkan berdasarkan tingkat pendapatan.
Para peneliti juga meninjau dokumen publik dan menghubungi perwakilan kota untuk menemukan jumlah dollar AS dari pendapatan pajak tahunan dan jumlah yang diinvestasikan dalam program yang melayani masyarakat berpenghasilan rendah.
”Tidak banyak penelitian saat ini yang melihat pembelian rumah tangga yang sebenarnya dari minuman yang dikenakan pajak ini,” kata rekan penulis Melissa Knox, profesor ekonomi di UW. ”Mereka kebanyakan melihat data tingkat ritel. Tapi Anda tidak tahu apa yang dilakukan orang di tingkat rumah tangga. Mereka bisa pergi ke kota lain untuk membeli minuman manis dan membawanya kembali ke Seattle. Studi ini menangkap semua itu. Kami hanya melihat rumah tangga yang tinggal di kota-kota ini dan totalitas dari semua yang mereka laporkan telah dibeli.”
Studi menunjukkan bahwa pajak minuman manis bisa menjadi kebijakan progresif secara ekonomi. Tujuh yurisdiksi lokal di Amerika Serikat, Navajo Nation dan setidaknya 45 negara lain telah menerapkan pajak minuman manis.
”Pajak-pajak ini secara selektif dan khusus menguntungkan orang-orang dengan pendapatan lebih rendah ke tingkat yang lebih besar daripada orang-orang dengan pendapatan lebih tinggi, karena uang yang dikumpulkan dari pajak digunakan untuk program-program yang melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Itu dari segi ekonomi,” kata Krieger.
Menurut dia, pajak juga menguntungkan orang-orang dengan pendapatan lebih rendah karena selama ini konsumen minuman berpemanis didominasi populasi dari kelompok ini. ”Orang-orang akan mengonsumsi lebih sedikit produk yang tidak sehat dan mereka akan lebih sehat karena itu. Ini adalah kemenangan untuk kesehatan, ini adalah kemenangan bagi dompet dan itu adalah kemenangan bagi komunitas mereka,” katanya.
Menurunkan penjualan
Kajian terpisah daro Penn Medicine yang dipublikasikan di JAMA pada Mei 2019 telah menunjukkan, satu tahun setelah Kota Philadelphia meloloskan pajak minumannya, penjualan minuman bergula dan pemanis buatan turun 38 persen di pengecer rantai makanan. Temuan ini memberikan lebih banyak bukti yang menunjukkan pajak minuman dapat membantu mengurangi konsumsi minuman manis, yang terkait dengan peningkatan obesitas dan penyakit tidak menular terkait, seperti diabetes tipe II.
Pada 1 Januari 2017, Philadelphia menjadi kota kedua di Amerika Serikat yang menerapkan pajak atas distribusi minuman manis dan pemanis buatan. Tujuan dari pajak sebesar 1,5 sen per ons gula dalam minuman ini adalah menghasilkan pendapatan untuk mendukung sekolah komunitas, dan perbaikan taman dan pusat rekreasi, dengan potensi manfaat sampingan dari pembatasan konsumsi minuman tidak sehat.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Abarham Jip menenggak minuman kaleng bersoda saat bersama warga kampung As dan Atat, Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua, memangkur sagu di hutan adat mereka, Kamis (14/10/2021).
”Pajak minuman manis adalah salah satu strategi kebijakan yang paling efektif untuk mengurangi pembelian minuman tidak sehat ini. Ini adalah kesehatan masyarakat yang tidak perlu dipikirkan dan kebijakan yang saling menguntungkan,” kata Christina A Roberto, asisten profesor etika medis dan kebijakan kesehatan di Perelman School of Medicine di University of Pennsylvania dan tim dalam papernya.
Negara-negara di seluruh dunia, seperti Meksiko dan Inggris, telah menerapkan pajak minuman menjadi alat kesehatan masyarakat untuk membantu memperlambat peningkatan angka obesitas, epidemi global. Di Amerika Serikat saja, dua pertiga dari populasi orang dewasa mengalami obesitas atau kelebihan berat badan.
Di Philadelphia, lebih dari 68 persen orang dewasa dan 41 persen anak-anak mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Selain itu, menurut Penilaian Kesehatan Masyarakat Philadelphia, 32 persen orang dewasa dan 18 persen remaja di kota mengonsumsi satu atau lebih minuman manis setiap hari.
Situasi di Indonesia
Hingga saat ini Indonesia belum menerapkan cukai minuman berpemanis, sekalipun rencana mengenai hal ini sudah bergulir sejak 2016. Sebelumnya, target penerimaan cukai minuman berpemanis telah ditentukan untuk tahun 2022 yang diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) 104/2021. Kementerian Keuangan saat ini masih merumuskan mekanisme dan skema tarif dari rencana penerapan cukai baru ini.
Sejumlah lembaga, seperti Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) telah mendesak agar kebijakan cukai minuman berpemanis di Indonesia segera dijalankan. Hal ini karena konsumsi minuman berpemanis di Indonesia menempati ranking ketiga tertinggi di Asia Tenggara dengan jumlah konsumsi rata-rata 20,23 liter per orang per tahun. Di sisi lain, kasus penyakit tidak menular, termasuk di antaranya diabetes, di Indonesia terus meningkat dengan beban biaya kesehatan yang semakin besar.