Transformasi Gerakan Buruh dalam Dunia yang Berubah
Analis Indonesia Labor Institute
Meskipun globalisasi telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan perluasan pasar global, globalisasi tidak bekerja untuk setiap orang. Manfaatnya tidak terdistribusi secara merata dan sering kali merugikan para pekerja, terutama pekerja rentan, migran, dan informal.
Di bawah pengaruh globalisasi dan kebutuhan persaingan antarnegara untuk menarik modal, terjadi perlombaan tanpa akhir menuju titik terendah (race to the bottom), seperti tekanan upah minim, pemotongan tarif pajak perusahaan, serta dan pengecualian pajak dan fasilitas finansial lainnya.
Akibatnya, globalisasi lebih menguntungkan korporasi karena terkonsolidasi kuat. Bebas berkeliling dunia mengikuti kepentingan keuntungan, ketimbang organisasi buruh yang sibuk berkompetisi untuk menambah anggota.
Ditambah lagi dengan melemahnya resistensi perlawanan buruh akibat kompromi politik pemimpin buruh untuk mengakses jabatan di lembaga eksekutif.
Globalisasi terus dikritik karena memperluas ketimpangan ekonomi dunia, memicu migrasi global masif, ketidakamanan kerja, mempromosikan sistem kerja tidak layak, yang berjalan secara paralel dengan menurunnya kekuatan serikat buruh.
Pengaruh Post-Fordism
Masalah utama yang dihadapi oleh para aktivis serikat buruh di era industri saat ini adalah bagaimana mengorganisasikan para pekerja yang tersebar di tempat kerja yang terdesentralisasi ke usaha yang lebih kecil, perputaran pekerja yang tinggi, meningkatnya bentuk-bentuk pekerjaan yang dikasualkan dan tidak tetap (precarious employment).
Bila ditilik dari sejarah, masalah ini berasal dari sistem industri Post-Fordism yang dimulai tahun 1970-an sampai 1980-an, sebagai respons terhadap krisis model produksi ’Fordisme’ akibat penurunan produktivitas dalam model produksi massal, peningkatan persaingan global dari Jepang, dan perkembangan teknologi informasi dan otomatisasi.
Post-Fordism memperkenalkan sistem kerja baru, termasuk tempat kerja yang terfragmentasi ke unit-unit lebih kecil, peningkatan otomatisasi dan percepatan produksi, sistem kerja kontrak. Yang lebih berpengaruh adalah terjadinya penurunan sektor manufaktur, diganti dengan bangkitnya industri sektor jasa yang menggantikan manufaktur.
Dengan karakteristik industri yang menurunkan jumlah pekerja kerah biru dan meningkatkan pekerja kerah putih, maka tren ini juga menurunkan jumlah keanggotaan dan pengaruh serikat buruh di sebagian besar negara maju.
Situasi inilah yang mengikis basis kekuatan serikat buruh yang sudah mapan, melemahkan bentuk organisasi tempat kerja tradisional, dan membuat serikat buruh semakin sulit untuk merekrut dan mempertahankan anggotanya.
Mantra utama neoliberal adalah peningkatan daya saing (competitiveness) untuk menaikkan dividen pemegang saham. Melalui korporasi global dan jaringan pasok global (supply chains), dunia diperkenalkan dengan narasi best-practices.
Istilah ini dulunya dipahami sebagai kebijakan progresif atau egaliter, tetapi kini sering digunakan untuk merujuk pada kebijakan yang mampu menurunkan biaya operasi korporasi, meskipun dengan praktik tidak adil. Best-practices akhirnya menjadi worst practices karena efisiensi tidak selalu menghasilkan kebaikan.
Sejak akhir 1970-an, para pekerja di seluruh dunia umumnya mengalami peningkatan penganggur, serta peningkatan pekerjaan kontrak yang tidak tetap dan ketidakpastian dalam pekerjaan.
Ini berkaitan dengan agenda lanjutan globalisasi yang menciptakan deindustrialisasi di banyak negara maju, desakan privatisasi, dan pengurangan belanja sektor publik.
Beberapa faktor struktural berkontribusi terhadap ketimpangan ini, antara lain, pertama, deregulasi pasar kerja dan race to the bottom.
Dalam upaya menarik investasi asing, banyak negara melonggarkan regulasi ketenagakerjaan, menekan upah, dan membatasi aktivitas serikat pekerja. Undang-Undang Cipta Kerja (kluster ketenagakerjaan) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, menjadi contoh sempurna dalam konteks ini.
Kedua, pelemahan kekuatan tawar kolektif serikat buruh, melemahkan peran serikat buruh dalam menegosiasikan upah yang layak, tunjangan, dan kondisi kerja yang aman.
Ketiga, eskalasi pekerjaan tidak layak dan informal, lewat rantai pasok global melalui sistem kerja kontrak dan tanpa kejelasan status. Contohnya adalah pekerja ojek online (ojol).
Keempat, akibat disrupsi teknologi dan lingkungan, para pekerja sering kali tak memiliki akses ke pelatihan untuk mendapatkan peluang mobilitas dalam ekonomi global yang baru.
Desain perekonomian global akhirnya didasarkan pada tenaga kerja murah, yang mereproduksi ketimpangan kolonial lama dan memindahkan ekonomi beracun dari negara-negara Utara ke Selatan. Dunia tidak mungkin mencapai pembangunan berkelanjutan jika perekonomian dibangun di atas fondasi tenaga kerja yang rentan dan tidak pasti.
Ini menjadi tantangan besar bagi gerakan buruh ke depan.
Negara-negara dengan partai buruh atau sosial-demokrat parlementer mengalami pergeseran ideologi ke kanan akibat pengaruh neoliberalisme sehingga memperlemah hubungan mereka dengan organisasi buruh berbasis tempat kerja.
Bahkan, dalam beberapa kasus, serikat pekerja ikut menempuh arah yang sama, ke kanan, seperti yang terjadi pada pemilu di Amerika Serikat, di mana banyak buruh berpindah dari Demokrat (Partai Demokrat), menjadi mendukung Partai Republik, Donald Trump.
Perjuangan cara baru
Peningkatan pekerja rentan dan masa kerja pendek menyumbang terjadinya defisit kerja layak. Keyakinan buruh terhadap nilai perjuangan serikat menurun. Inilah kemenangan penting dari strategi korporasi global, mengurangi kemungkinan munculnya kesadaran kelas dan perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme.
Pemerintah juga mengalami dilema, antara mengikuti tuntutan liberalisasi atau pekerja sehingga alih-alih melindungi kepentingan umum, pemerintah cenderung membiarkan terjadinya dinamika global akumulasi yang eksplosif dan spiral ketimpangan yang tak terkendali. Sejarah distribusi kekayaan selalu bernuansa politik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Piketty, seorang pengamat ketimpangan ekonomi dunia, sejarah distribusi kekayaan adalah hasil gabungan dari semua aktor yang terlibat.
Pertama, dibentuk oleh cara pandang para aktor ekonomi, sosial, dan politik terhadap apa yang dianggap adil dan tak adil. Kemudian, dipengaruhi oleh kekuatan buruh sebagai faktor pembentuk sejarah distribusi.
Dinamika ini menunjukkan bahwa tanpa adanya perlindungan kelembagaan yang kuat dan kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif, globalisasi akan terus memberi manfaat yang tak seimbang, menguntungkan pemodal ketimbang pekerja.
Jika orang ingin memiliki pilihan tentang di mana mereka bisa bekerja, tak ada orang yang dengan sengaja memilih kerja tidak layak, atau bekerja dengan risiko kematian tinggi. Umumnya pekerja membuat keputusan untuk menerima pekerjaan dalam kondisi yang sebenarnya bukan pilihan mereka.
Ketidakamanan inilah yang menjadi alasan mengapa beberapa pekerjaan yang paling kotor dan paling berbahaya justru sering disajikan sebagai ”pekerjaan transisi yang adil”.
Contoh paling jelas atas hal ini adalah pekerja ojekdaring. Meski mayoritas memiliki penghasilan minim, jam kerja panjang, tanpa pengawasan dan jaminan sosial, hal itu dianggap berjalan dalam sistem kemitraan yang adil.
Sejarah membuktikan bahwa pekerja memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan ketika bersatu dan berjuang demi kepentingan bersama. Jika kapitalisme kini bersifat lebih global dari sebelumnya, kelas pekerja yang dihasilkannya juga bersifat global.
Beberapa strategi yang relevan digunakan adalah memberdayakan buruh melalui teknologi. Dengan bantuan teknologi yang terkait dengan globalisasi, serikat buruh memiliki potensi mobilisasi yang bahkan lebih besar dibandingkan dengan gerakan buruh yang berkembang pesat seabad yang lalu.
Media sosial jelas memberikan cara-cara inovatif bagi serikat buruh untuk menyampaikan berita dan pandangan mereka kepada anggota ataupun non-anggota, memperkuat keanggotaan sekaligus terhubung dengan dunia di luar serikat guna memperluas daya tarik dan relevansi publik mereka.
Karena internasionalisme kelas pekerja kini sudah tersedia, maka fokus utama dari serikat buruh global adalah pengembangan dan penegakan standar kerja yang disepakati bersama serta diterima secara global.
Hal itu, misalnya, serikat buruh harus berjuang keras memastikan terciptanya sebuah konvensi baru internasional untuk melindungi pekerja ojek daring(pekerja digital platform), yang saat ini sedang didiskusikan di kantor Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Area perjuangan lain serikat juga bisa dilakukan dengan mengadvokasi hak buruh memanfaatkan beberapa instrumen internasional perlindungan buruh dan sosial (responsible business conduct) yang saat ini banyak dibuat.
Yang terbaru adalah aturan Uni Eropa, OECD, dan negara lainnya. Aturan ini bisa digunakan di seluruh dunia untuk praktik kecurangan, eksploitasi hak buruh, dan kerusakan lingkungan, yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan perusahaan rantai pasoknya di negara berkembang.
Semboyan lama gerakan buruh, ”luka bagi satu orang adalah luka bagi semua”, kini semakin memungkinkan diperjuangkan di panggung global karena teknologi memfasilitasi konsolidasi buruh lebih cepat dibandingkan dengan masa lalu. Tanpa gerakan buruh, perlawanan mendasar terhadap tatanan ekonomi sosial global yang tidak adil, tak akan berhasil.