Pemilihan Paus: Vatikan Bersiap Menggelar Konklaf
Vatikan sedang mempersiapkan pertemuan tertutup para kardinal yang akan memilih pengganti Paus Fransiskus. Lupakan dulu apa yang mungkin sudah kita tonton di film Conclave (2024).
Konklaf ”yang sesungguhnya” akan dilaksanakan pada 7 Mei 2025.
Kata konklaf berasal dari bahasa Latin cum clave yang artinya ’dengan kunci’. Ini merujuk pada ritual yang berlangsung berabad-abad untuk memilih Paus yang baru. Ritual sejak Abad Pertengahan ini mengurung para kardinal yang berhak memilih dan dipilih menjadi Paus (kardinal elektor) di dalam Kapel Sistina, hingga akhirnya mereka sepakat memilih pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma yang baru. Saat ini, ada 135 kardinal elektor.
Mereka dilarang berkomunikasi dengan pihak luar, tidak boleh menggunakan telepon, televisi, atau internet. Mereka juga diharapkan tetap merahasiakan hasil pemilihan.
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah warisan Paus Fransiskus akan berlanjut sepeninggalnya? Selama bertahun-tahun, kaum tradisionalis tak setuju dengan pendekatan progresif Paus Fransiskus. Setelah Paus Fransiskus tiada, apakah penggantinya akan menempuh jalan yang sama atau membawa Gereja Katolik ke arah yang lain?
Menurut Direktur Observatorium Geopolitik Agama Francois Mabille, terlepas dari reformasinya, Paus Fransiskus tidak mengubah doktrin fundamental. Ini menunjukkan Paus berikutnya dapat membawa gaya baru dan prioritas berbeda, tetapi tidak mungkin mengubah kepercayaan yang sudah ada selama 2.000 tahun.
”Paus Fransiskus tidak mengubah apa pun, baik dalam isu aborsi, akhir kehidupan, pernikahan bagi pastor, penahbisan perempuan, maupun homoseksualitas yang merupakan pokok-pokok doktrin konservatif tradisional,” kata Mabille.
Namun, Paus Fransiskus juga mengambil langkah-langkah radikal. Ia membuat perubahan kelembagaan, mengangkat tabir kerahasiaan kepausan atas pelecehan seksual anak, membatasi penggunaan misa bahasa Latin, dan membuka pintu bagi pemberkatan pasangan sesama jenis.
Paus Fransiskus menekankan kerendahan hati, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berbicara bagi mereka yang tidak bersuara, dan mengecam yang berkuasa. Itu dilakukannya sembari berjanji untuk membuka Gereja bagi semua orang. Mabille tidak yakin isu migran akan ditangani oleh Paus yang baru dengan cara yang sama dan sesering Paus Fransiskus.
Paus yang baru diharapkan mampu mengelola sejumlah tantangan utama yang dihadapi Gereja Katolik, mulai dari peran perempuan hingga pengungkapan berkelanjutan soal pelecehan seksual anak oleh para pastor. Gereja Eropa juga menghadapi krisis dalam hal panggilan dan menurunnya kehadiran di gereja, meski jumlah umat beriman meningkat di Afrika dan Asia.
Menurut Sekretaris Jenderal Lembaga Penelitian untuk Studi Agama Martin Dumont, pemimpin Gereja harus menjadi titik pemersatu bagi semua umat Katolik. Itu dapat ditentukan oleh kepribadian Paus. ”Dibutuhkan Paus yang berbicara lebih sedikit dan dengan pendekatan yang lebih terkendali. Paus Fransiskus berbicara terus tentang semua hal,” ujarnya.
Dalam konklaf sebelumnya, para kardinal telah membentuk kelompok-kelompok yang berbeda. Dumont mencatat, pada 2005, setelah wafatnya Yohanes Paulus II, ada dua poros berbeda yang muncul dengan tokoh-tokoh kuat, yakni Kardinal Carlo Maria Martini dan Joseph Ratzinger yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI.
Akan tetapi, pada tahun ini tidak ada kubu-kubu tertentu. Paus Fransiskus menunjuk hampir 80 persen kardinal yang memenuhi syarat untuk memilih penggantinya. Namun, pengalaman mengingatkan agar tidak berasumsi bahwa mereka akan memilih Paus berikutnya sesuai dengan keinginan.
Dumont menunjuk Fridolin Ambongo, Uskup Agung Kinshasa, yang diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus hanya untuk memimpin protes oleh para uskup Afrika terhadap pemberkatan pasangan sesama jenis.
Mabille mengatakan, ada orang-orang yang kecewa dengan Paus Fransiskus. Banyak yang menganggapnya otoriter dan meninggalkan para pendukungnya. Dumont memperkirakan dalam konklaf 7 Mei nanti mungkin akan ada beberapa kejutan sebagai akibat dari hal itu.
Lebih rumit
Kejutan dalam konklaf kali ini, menurut para pengamat, bisa muncul karena para kardinal tidak saling mengenal dengan baik dan belum bersatu. Sejarawan gereja Alberto Melloni mengatakan, para kardinal akan mempertimbangkan hal-hal yang praktis seperti memilih calon yang berusia 60-an tahun sehingga umat Katolik dapat memiliki seorang Paus selama 20 tahun atau lebih.
Pertimbangan lain, apakah mereka akan memilih seorang Paus dari wilayah yang masih berkembang, seperti Asia atau Afrika. Jika iya, kemungkinan akan terjadi lebih banyak pergolakan pada birokrasi Vatikan yang didominasi Eropa, yang kurang sreg dengan gaya Paus Fransiskus.
Para kardinal juga harus mempertimbangkan apakah akan memilih Paus yang relatif tidak dikenal atau yang dikenal. Masalahnya, antarkardinal hampir tidak saling kenal. Paus Fransiskus pada Desember 2024 menambahkan 20 kardinal baru ke dalam pemilih konklaf.
Mereka berasal dari Aljazair, Argentina, dan Australia. Dari para kardinal yang mengikuti konklaf, ada beberapa kandidat yang terkemuka, seperti Kardinal Pietro Parolin dari Italia yang selama ini menjabat sekretaris negara atau orang nomor dua di Vatikan.
Ada juga nama Kardinal Luis Tagle dari Filipina yang mengepalai kantor penginjilan Vatikan yang bertanggung jawab atas Gereja Katolik di sebagian besar negara berkembang. Ia merupakan kandidat teratas untuk menjadi Paus pertama Asia dalam sejarah. Ada kandidat utama yang mewakili sayap konservatif Gereja, yakni Kardinal Peter Erdo dari Hongaria yang menjadi Uskup Agung Budapest.
”Tidak ada calon terdepan saat ini. Untuk menjadi calon terdepan, harus punya banyak suara pendukung,” kata pengamat Vatikan, Marco Politi, yang buku terbarunya, The Unfinished, membahas urusan Paus Fransiskus yang belum selesai. Menurut Melloni, Gereja saat ini terpecah. Hal terpenting saat ini adalah menemukan orang yang menyatukan dan bukan berpura-pura Gereja tidak terpecah.