Di persidangan, saksi dari KPK menyebut, Zarof, terdakwa perkara bebas Ronald Tannur, hanya sekali lapor gratifikasi. Di rumahnya ditemukan uang Rp 915 miliar dan emas 51 kilogram yang diduga terkait gratifikasi.
JAKARTA, KOMPAS — Bekas pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, tidak pernah melaporkan uang Rp 915 miliar dan emas 51 kilogram yang diduga sebagai hasil gratifikasi yang dia terima untuk pengurusan perkara di lingkungan pengadilan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Selama bertugas di MA sejak 2012 hingga 2022, Zarof hanya sekali melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK, yakni berupa karangan bunga senilai Rp 35,5 juta.
Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan pemeriksaan saksi pada perkara kasus suap hakim terkait putusan bebas Ronald Tannur dan gratifikasi dengan terdakwa Zarof di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (14/4/2025). Hadir sebagai saksi dalam sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Rosihan Juhriah Rangkuti itu adalah Kepala Satuan Tugas Pemeriksaan dan Pelaporan Gratifikasi Direktorat Gratifikasi KPK Indira Malik.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pilkada 2024 Awalnya, jaksa penuntut umum mendalami laporan gratifikasi yang pernah dilakukan Zarof selama periode 2012-2022. Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Indira yang dibacakan jaksa disebutkan bahwa Zarof hanya sekali melaporkan gratifikasi pada 2018. Laporan itu berupa penerimaan karangan bunga senilai Rp 35,5 juta saat pernikahan putra Zarof, yakni Ronny Bara Pratama.
”Di dalam BAP, saksi sampaikan di dalam poin 14 ada penyebutan gratifikasi Saudara Zarof Ricar tahun 2018 berupa karangan bunga senilai Rp 35.500.000 yang diberikan tamu undangan pada acara pernikahan putra Zarof Ricar, yaitu Ronny Bara Pratama, dengan Nydia Astari pada 30 Maret 2018 di Hotel Bidakara Jakarta. Ini berdasarkan hasil analisis begitu?” tanya jaksa.
Menanggapi pertanyaan jaksa, Indira menjelaskan, Zarof hanya melaporkan penerimaan gratifikasi berupa karangan bunga Rp 35,5 juta tersebut. Adapun hasil analisis bahwa penerimaan karangan bunga itu belum melewati batas waktu, yakni maksimal 30 hari saat menerima pemberian gratifikasi. Pihaknya menyimpulkan bahwa karangan bunga itu tidak dianggap sebagai suap.
”Karena penerimaan itu masih dalam batas yang diperkenankan, jadi tidak ada penerimaan itu yang ditetapkan sebagai milik negara atau yang dianggap suap,” kata Indira.
”Tadi saksi, kan, menerangkan terkait adanya data laporan gratifikasi periode 2012 sampai dengan 2022 untuk atas nama terdakwa hanya ada yang satu laporan penerimaan aja gratifikasi, ya?” tanya jaksa.
”Iya,” jawab Indira.
”Selebihnya enggak ada, ya, termasuk uang tunai dalam pecahan mata uang rupiah, dollar Singapura, dollar Amerika, euro, Hong Kong, dan logam mulia emas juga tidak pernah ada laporan terkait itu, ya?” tanya jaksa.
”Belum ada,” jawab Indira.
Adapun dalam perkara ini, Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat berupa pembantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim berupa uang senilai Rp 5 miliar serta menerima gratifikasi berupa uang senilai Rp 915 miliar dan emas 51 kilogram selama menjabat di MA untuk membantu pengurusan perkara pada 2012-2022. Zarof juga didakwa turut serta dalam kasus suap hakim terkait putusan bebas Ronald Tannur.
Gratifikasi itu diduga terkait dengan jabatannya di MA. Selama bertugas di MA, Zarof pernah menjabat Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA (2006-2014), Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA (2014-2017), serta Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA (2017-2022).
Berdasarkan dakwaan jaksa, selama periode jabatan tersebut, Zarof dinilai telah menerima pemberian uang yang berhubungan dengan penanganan perkara dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan, mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.
Gratifikasi terkait perkara
Majelis hakim dalam sidang ini juga mendalami terkait temuan harta milik Zarof yang disita penyidik Kejagung, yakni Rp 915 miliar dan emas 51 kilogram, kepada Indira selaku saksi.
”Itu sekitar Rp 900 miliar dan emas 51 kilogram di rumah terdakwa, apakah penerimaan tersebut itu memenuhi unsur gratifikasi yang wajib dilaporkan?” tanya hakim.
Indira mengaku bukan kapasitasnya menjawab hal itu karena dirinya bukan sebagai saksi ahli. Ia mengaku tidak bisa memutuskan apakah harta tersebut masuk dalam unsur gratifikasi yang wajib dilaporkan.
Namun, Indira mengatakan, secara umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa gratifikasi mesti jelas siapa penerima, siapa penyelenggara negara, siapa pemberinya, serta dalam rangka apa, apakah berkaitan dengan jabatan atau tidak.
”Jadi, kalau kaitannya dengan uang Rp 900 miliar yang ditemukan di rumah terdakwa, apakah itu termasuk kategori yang wajar, apakah itu bisa termasuk indikasi terkuat kaitannya dengan jabatan. Bisa jelaskan enggak itu?” tanya hakim kembali.
”Izin pimpinan, saya rasa saya bukan dalam kapasitas sebagai ahli,” katanya.
Indira mengatakan bahwa pihaknya hanya bisa menganalisis hal itu jika ada laporan terkait gratifikasi itu kepada KPK. Oleh karena itu, selama tidak ada laporan, pihaknya tidak bisa melakukan analisis. Adapun uang senilai Rp 915 miliar dan emas 51 kilogram juga disebut tidak pernah ada yang melaporkannya ke KPK.
”Jadi, kalau informasinya tidak tahu, tidak lengkap, kami tidak bisa menganalisisnya. Setelah informasi lengkap, baru kita bisa memutuskan, oh, iya, benar, ini gratifikasi yang di suap atau ini bukan,” tambah Indira.
”Jadi, menganalisis berdasarkan laporan dari seseorang yang memperoleh pemberian sehingga dianalisis apakah itu merupakan gratifikasi atau tidak, begitu?” tanya hakim kembali.
Indira membenarkan hal tersebut. Setelah ada laporan, pihaknya akan menganalisis apakah gratifikasi itu termasuk gratifikasi yang dianggap suap atau tidak. ”Baik, jadi hanya berdasarkan laporan dan data yang ada, ya. Jadi terhadap yang Rp 900 miliar ini tidak pernah ada laporan itu ya?” kata hakim
”Tidak ada laporan,” ujar Indira Malik.
Sementara itu, tim kuasa hukum Zarof tidak memberikan pertanyaan apa pun kepada saksi yang dihadirkan. Begitu pula Zarof. Ia menyatakan sudah cukup penjelasan dari saksi tersebut.
(DYT)