Pengesahan RUU TNI Lemahkan Supremasi Sipil
Melalui revisi UU TNI, penugasan TNI dalam operasi militer selain perang tidak lagi dilaksanakan berdasarkan keputusan politik negara. Hal ini dinilai salah satu bentuk pelemahan supremasi sipil.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah gencarnya penolakan dari publik, DPR tetap memberikan persetujuan pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Revisi ini tidak hanya menambah jabatan sipil di kementerian/lembaga (K/L) yang bisa diisi prajurit TNI aktif atau menambah usia pensiun prajurit. Namun, hal ini juga menambah tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) dari semula 14 tugas pokok menjadi 16 tugas pokok.
Penugasan TNI dalam OMSP ini juga dipandang berpotensi menghilangkan wewenang dan otoritas sipil karena cukup dilaksanakan dengan peraturan pemerintah (PP) atau peraturan presiden (perpres).
Ketua DPR Puan Maharani selaku pemimpin rapat paripurna, saat meminta persetujuan ke anggota DPR, tiga kali menanyakan persetujuan. Di tiga kesempatan itu, tidak ada penolakan ataupun interupsi dari semua anggota DPR yang hadir. Setelah RUU TNI disetujui disahkan menjadi undang-undang, selanjutnya pengesahan menjadi kewenangan Presiden Prabowo Subianto.
”Kami menegaskan perubahan UU TNI tetap berlandaskan pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia serta memenuhi hukum nasional dan internasional yang telah disahkan,” ujar Puan dalam rapat yang dihadiri sejumlah menteri Kabinet Merah Putih, di antaranya Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Selama sidang berlangsung, di sekitar Kompleks Parlemen, massa mahasiswa dan masyarakat sipil menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI. Kelompok mahasiswa dari Universitas Nasional, Universitas Trisakti, dan IPB University membentangkan spanduk protes bertuliskan ”Tolak RUU TNI, Pertahankan Supremasi Sipil” dan ”Trisakti Ogah Orba Lagi”. Spanduk itu dipasang di Gerbang Pancasila, DPR.
Seruan serupa juga disampaikan berbagai kelompok mahasiswa di Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Selain itu, lebih dari 29.000 orang juga menandatangani petisi daring di change.org untuk menolak revisi UU TNI.
Presiden Prabowo yang ditemui di sela kegiatannya di Batang, Jawa Tengah, tidak memberi komentar mengenai disetujuinya RUU TNI menjadi undang-undang.
Supremasi sipil
Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Diandra Mengko, memandang, dalam revisi UU TNI, OMSP tidak lagi dilaksanakan berdasarkan keputusan politik negara. Bentuk supremasi sipil ini dicabut dan diganti dengan peraturan pemerintah (PP) atau peraturan presiden (perpres) yang bisa disusun tanpa keterlibatan DPR. Padahal, kebijakan politik negara dalam pengerahan pasukan untuk operasi militer menunjukkan sipil sebagai otoritas tertinggi.
Adapun OMSP itu, menurut hasil revisi UU TNI, termaktub dalam Pasal 7. Hal itu merupakan salah satu dari tiga perubahan krusial. Perubahan krusial lain adalah Pasal 47 terkait penempatan prajurit di jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai masa dinas prajurit.
”Salah satu wujud paling nyata dari supremasi sipil itu adalah keputusan politik negara. Keputusan ini menentukan metode, sumber daya, hingga batas waktu. Presiden sebagai pemegang keputusan sipil tertinggi lalu diotorisasi oleh DPR, baru setelah itu dilaksanakan,” kata Diandra.
Sementara itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyoroti pembahasan RUU TNI yang tidak transparan. Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, menyampaikan, draf RUU TNI tidak pernah disebarluaskan secara resmi oleh DPR. Dampaknya, masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara bermakna.
Klaim serap masukan
Saat membacakan laporan pembahasan RUU TNI, Ketua Komisi I DPR Utut Adianto mengklaim, pembahasan RUU TNI telah menyerap masukan dari para pemangku kepentingan. Selain itu, peran aktif dari masyarakat juga dilibatkan sebagai bagian dari pemenuhan prinsip partisipasi yang bermakna dalam pembentukan undang-undang sebagaimana dimandatkan putusan Mahkamah Konstitusi.
Komisi I DPR juga menggelar rapat dengan menteri-menteri terkait serta dengan Panglima TNI dan para kepala staf. Rapat terakhir digelar pada 18 Maret saat diambil keputusan tingkat I persetujuan pengesahan RUU TNI.
Utut pun memaparkan poin-poin penting dalam RUU TNI. Ia menyebutkan RUU TNI fokus pada tiga substansi utama. Pertama, penegasan kedudukan TNI di bawah Presiden. Kemudian, penambahan tugas pokok TNI dalam OMSP dari semula 14 tugas pokok menjadi 16 tugas pokok. Penambahannya adalah kewenangan untuk membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber serta membantu melindungi dan menyelamatkan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri.
Selanjutnya, penambahan jabatan sipil di K/L yang bisa diisi prajurit TNI aktif dari semula 10 K/L menjadi 14 K/L.
Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menegaskan, DPR tetap berperan dalam OMSP. Hasil dari operasi militer tetap dilaporkan kepada DPR. ”OMSP itu ada aturannya. Sesuai dengan fungsinya, hasil dari OMSP akan dilaporkan pada saat rapat-rapat kerja dengan DPR,” ujarnya.
Terkait jabatan sipil yang diisi prajurit, Dave juga meyakini UU TNI akan diterapkan dengan mengedepankan meritokrasi. Penempatan prajurit di instansi sipil tidak asal pilih sehingga yakin tidak adanya titipan dari pihak tertentu.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan, revisi UU TNI ditujukan untuk memperkuat kebijakan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) industri pertahanan dalam negeri guna menopang kekuatan dan kemampuan TNI sebagai pengawal kedaulatan NKRI.
Revisi juga untuk memperjelas batasan dan mekanisme pelibatan TNI dalam tugas non-militer dengan terlebih dahulu harus pensiun, meningkatkan kesejahteraan prajurit dan jaminan sosial bagi keluarga prajurit, serta menyesuaikan ketentuan terkait jenjang karier dan usia pensiun.
BACA JUGA:
Polisi Bubarkan Paksa Aksi Mahasiswa
Situasi di depan Gedung MPR/DPR/DPR pada Kamis malam memanas. Mahasiswa yang berunjuk rasa menolak pengesahan RUU TNI dipaksa bubar.
KOMPAS.ID
komp.as/bubarkanpaksa
Grafik: Panitia Kerja Pengesahan RUU TNI
Foto:
Polisi menyemprotkan air untuk membubarkan masyarakat sipil dan mahasiswa saat menggelar aksi penolakan revisi UU TNI di gerbang depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/3/2025) sekitar pukul 18.00 WIB. Revisi UU TNI disertai proses kilat pengesahannya menimbulkan gejolak aksi penolakan di kalangan masyarakat. Revisi UU TNI tersebut dinilai mencederai kedaulatan rakyat dan menjadi ancaman supremasi sipil di Indonesia.