JAKARTA, KOMPAS — Suasana pembahasan revisi Undang-Undang TNI oleh panitia kerja pemerintah dan Komisi I DPR, di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025) sore, sempat tegang. Hal itu terjadi saat sejumlah perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan menerobos masuk ke dalam ruang rapat dan meminta agar pembahasan revisi undang-undang tersebut dihentikan.
”Kami dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan pemerhati di bidang pertahanan, hentikan karena (rapat pembahasan revisi UU TNI) ini dilakukan secara diam-diam dan tertutup!” teriak Andrie Yunus dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) saat unjuk rasa di tengah-tengah rapat, Sabtu (15/3).
Kontras menjadi salah satu organisasi masyarakat sipil dalam Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan. Sebelum hadir di tengah pembahasan revisi UU TNI, koalisi sudah meminta agar pembahasan revisi di Hotel Fairmont dihentikan. Alasannya, pembahasan diam-diam, tertutup, dan digelar di hotel mewah di tengah kebijakan efisiensi negara.
Selain berorasi, mereka juga membawa poster bertuliskan ”DPR dan Pemerintah Bahas RUU TNI di Hotel Mewah dan di Akhir Pekan. Halo Efisiensi?”, ”Gantian Aja Gimana? TNI Jadi ASN, Sipil yang Angkat Senjata!”, dan ”Kayak Kurang Kerjaan Aja, Ngambil Double Job”.
Aksi mereka sempat membuat suasana rapat pembahasan revisi UU TNI yang diikuti oleh Komisi I DPR dan Kementerian Pertahanan itu menegang. Sempat terjadi aksi dorong-mendorong agar pengunjuk rasa keluar dari ruangan rapat.
”Bapak ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan di dalam, kami menolak adanya dwifungsi ABRI, hentikan proses pembahasan RUU TNI!” tegas pengunjuk rasa lagi.
Mereka juga sempat meneriakkan kata-kata tolak revisi UU dan meminta TNI agar kembali ke barak.
Tindak lanjut
Ketua Komisi I DPR Utut Adianto mengatakan, rapat konsinyering di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat-Minggu (14-16/3/2025), adalah tindak lanjut setelah rapat kerja dengan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI sepanjang pekan ini. Rapat panitia kerja (panja) membahas substansi pasal per pasal baik yang diusulkan DPR maupun pemerintah.
”Kalau ditanya klusternya apa, ada tiga, yaitu soal kedudukan Kementerian Pertahanan dan TNI, kemudian soal lingkup baru yang TNI boleh tetap aktif, serta terakhir soal usia prajurit,” jelas Utut.
Terkait dengan pembahasan usia prajurit, menurut dia, hal tersebut adalah bagian dari keadilan. Selama ini, prajurit tamtama dan bintara pensiun di usia 53 tahun. Dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, usia pensiun prajurit diperpanjang secara berjenjang.
”Kalau resminya nanti kami keluarkan setelah semuanya digedok. Kalau sekarang, ya, saya belum boleh. Karena ini, kan, bagian dari yang belum disahkan. Kami harus gedok dulu semua, rapat dengan menterinya, baru nanti kami umumkan,” ujar politikus PDI-P itu.
Terkait pembahasan usia pensiun tersebut, DPR juga meminta pendapat dari Menteri Keuangan apakah akan membebani keuangan negara atau tidak. Ternyata, masih ada ruang fiskal untuk kebutuhan tersebut.
Berdasarkan data yang dimiliki Komisi I DPR, jumlah prajurit TNI mencapai 457.000 orang. Yang paling banyak adalah prajurit tamtama dan bintara sekitar 300.000 orang. Jumlah perwira pertama dan perwira menengah lebih banyak daripada jumlah perwira tinggi.
”Dari sisi keuangan negara oke. Kami sudah melakukan pengecekan silang dengan Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu yang hadir di sini, ada Sekretaris Jenderal Heru Pambudi yang dulu Direktur Jenderal Bea Cukai,” imbuhnya.
Sementara itu, untuk konsep perundang-undangan ada Direktur Jenderal Perundang-undangan (PP) Kementerian Hukum Dhahana Putra, Wakil Menteri Pertahanan Marsekal Madya TNI (Purn) Donny Ermawan Taufanto, dan Wakil Menteri Sekretaris Negara Bambang Eko Suhariyanto.
Menurut Utut, ada penambahan enam kementerian dan lembaga dari yang sebelumnya hanya 10 kementerian dan lembaga bisa ditempati TNI aktif. Enam kementerian dan lembaga tambahan yang dimasukkan dalam revisi UU TNI itu di antaranya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Operasi militer
Utut menegaskan bahwa melalui revisi UU TNI ini, tidak semua kementerian dan lembaga akan diisi oleh tentara aktif. Pengisian jabatan sipil itu didasarkan atas permintaan dari presiden berdasarkan kebutuhan dari presiden.
Misalnya, untuk kebutuhan pengerahan operasi militer selain perang (OMSP) berkaitan dengan narkotika, diatur melalui peraturan pemerintah (PP) dan atau peraturan presiden (perpres). Penambahan kewenangan tersebut tidak akan tumpang tindih dengan kewenangan Polri.