Kisah dari Jabar Sarat Pesan yang Terus Menghidupi
Kuliner asal Jawa Barat tidak hanya enak dimakan. Dari setiap santapannya, ada sejarah dan pesan besar yang ditinggalkan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2Fc84bd2fc-ae9a-4738-8504-d20245ae8f84_jpg.jpg)
Warga menikmati docang di Warung Docang Pak Kumis, Rabu (5/1/2022), di Kota Cirebon, Jawa Barat. Docang merupakan makanan khas Cirebon yang berisi lontong, taoge, kerupuk, parutan kelapa, daun pepaya, daun singkong, dan kuah oncom.
Kreativitas mengolah ragam jenis makanan menjadi sumber kehidupan bagi banyak warga Jabar, dari dulu hingga sekarang. Tidak hanya dikenal di dalam negeri, tapi melanglang buana ke banyak negara.
Warung ”Pak Kumis” di Jalan Tentara Pelajar, Kota Cirebon, Rabu (5/1/2022), berlantai semen dan beratap tenda bambu. Di dalamnya, hanya ada gerobak sederhana berisi dandang, aneka sayuran, lontong, hingga teh tawar. Meski begitu, lapak ini jadi buruan penikmat kuliner luar kota, seperti Bandung dan Jakarta. Sajian docang jadi andalannya.
”Tadi pagi ada yang bungkus docang enam porsi untuk dibawa ke Jakarta. Kuahnya dipisah. Daunnya sendiri, taogenya juga mentah. Ini bisa tahan sampai sore,” ujar Eeng Mainah (57), pemilik warung.
Eeng sudah berjualan docang selama 15 tahun. Setiap hari, dia membuka warung pukul 05.00-11.00 dengan menu utama docang, Rp 8.000 per porsi. Terutama pukul 08.00-09.00, warungnya kerap dipadati warga, terutama saat akhir pekan.
Setelah istirahat beberapa jam, warungnya kembali beroperasi pukul 17.00-21.00. Menunya lebih beragam, ada seblak, pedesan tulang dan ceker, hingga mi. Konsumen masih bisa memesan docang yang kadung ternama.
Berbagai momen yang terekam dalam spanduk di warungnya bicara tentang nikmat docang itu. Salah satu yang diingat Eeng saat docang buatannya mejeng dalam acara pertunjukan musik televisi swasta nasional tahun 2016.
Kala itu, banyak artis Ibu Kota memuji makanannya. Lebih kurang 500 porsi docang buatannya ludes. Docang karya Eeng juga beberapa kali tersaji di acara reuni sekolah dan kampus.
Baca juga : Warisan Hidup Sehat dari Para Pemuka Agama
Upeti kerajaan
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F2019%2F09%2Ffa%2Fd09%2F20190831131721_IMG_2314JPG%2F20190831131721_IMG_2314SILO.jpg)
Suasana Festival Empal Gentong di Kantor DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (31/8/2019). Festival tersebut menjadi salah satu rangkaian HUT ke-650 tahun Kota Cirebon. Pada Minggu (1/9/2019), sebanyak 650 porsi empal gentong dibagikan gratis.
Eeng masih tidak menyangka docangnya bakal digemari banyak orang dan sukses mengubah taraf hidupnya. Tidak hanya membuat rumahnya berkeramik dan memenuhi kebutuhan harian, lulusan SD ini juga mengantarkan dua anaknya tamat SMA.
Sebelum menjajakan docang, Eeng mengatakan, hidup prihatin. Asnan, suaminya, adalah tukang parkir di toko roti. Kadang, suaminya juga jualan burung, barang bekas, hingga menjadi penarik becak.
Suatu hari, Asnan, yang kebetulan berkumis, jenuh dan memutuskan ingin berdagang. Eeng dan suaminya lantas belajar membuat docang dari orangtuanya dan memberanikan diri berjualan.
Jualannya ternyata laku keras. Konsumen muncul dan selalu datang lagi, bahkan saat ”Pak Kumis” sudah berpulang sejak 2011. Dari pengakuan pelanggan, lidah mereka sudah cocok dengan docang buatannya.
”Cuma sekarang suka ada yang tanya, kok yang jualan enggak berkumis?” kata Eeng, yang pernah jadi pelayan toko dengan jam kerja pukul 08.00-20.00, tersenyum.
Pengamat budaya Cirebon Akbarudin Sucipto menilai docang adalah salah satu potret kreativitas warga Cirebon mengolah bahan pangan di sekitarnya. Jauh sebelum itu, pada abad-14, Mbah Kuwu Cirebon sudah mengajarkan menggodok rebon jadi terasi.
”Sampai-sampai dalam laporan Belanda, terasi ini jadi oleh-oleh pemerintahan residen. Bahkan, sebelum itu, terasi, garam, dan lainnya jadi upeti untuk Kerajaan Padjadjaran,” paparnya.
Pengamat sejarah dari Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon Eva Nur Arovah menilai, docang tidak bisa dipisahkan dari letak geografis Cirebon tempo dulu. Dia mengatakan, kapal dari berbagai negara dan etnis berlabuh di Cirebon.
Mereka tidak hanya membawa agama, perdagangan, tetapi juga budaya. Kuliner termasuk budaya yang bergerak perlahan,” ungkapnya. Kacang-kacangan di docang, misalnya, disebut mendapat pengaruh dari China.
Ini tidak mengherankan, karena istri Sunan Gunung Jati berasal dari China, yakni Putri Ong Tien. Kuliner Cirebon lainnya ada yang berupa daging sapi atau kambing, lanjutnya, juga dipengaruhi dari keluarga Sunan Gunung Jati yang bersumber dari Timur Tengah.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_1348201_72_0.jpeg)
Sambal Cibiuk di warung Cibiuk Garut.
Ketekunan juga terlihat dari tangan Neni Nafisah (44), pemilik Rumah Makan Nasi Liwet Aap Cibiuk di Kabupaten Garut. Dari banyak menu ayam dan ikan yang ia tawarkan seharga Rp 20.000-Rp 25.000 per porsi, ada primadona yang tidak pernah absen, yaitu sambal cibiuk.
Seperti banyak warga cibiuk lainnya, sambal itu menjadi sumber penghasilan utama. Di beberapa warung atau rumah makan khas Sunda yang mengandalkan sambal sebagai menu favorit, ada orang Cibiuk yang jadi peraciknya. Neni, misalnya, dari sekadar ibu rumah tangga kini mengulek sambal sendiri untuk belasan hingga puluhan pelanggannya setiap hari.
Sambal cibiuk terlihat khas meski sederhana. Buatan Nani, misalnya, ditawarkan dalam dua varian, hijau dan merah. Bila hijau, biasanya menggunakan cabai rawit domba dan tomat hijau. Jika merah, biasanya ditambah cabai merah besar. Semuanya disajikan bersama tomat dan kemangi. Tidak ada minyak, hanya air yang keluar dari campuran bumbu-bumbu yang berpadu di atas cobek tanah liat.
Ada kisah menarik di balik sajian sambal di atas cobek tanah liat. Unus Suriawiria di buku Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda menyebutkan, enak atau tidaknya rasa sambal tidak hanya ditentukan dari kualitas bahan. Coet (cobek) dan mutu (ulekan) ikut berpengaruh.
Membuat sambal dalam coet tanah liat dan mutu dari pangkal pohon bambu, konon, terasa lebih nikmat dibandingkan sambal yang dibuat dengan coet dan mutu dari batu. Dari sambal cibiuk, anggapan itu ternyata tidak keliru.
Barata Wijaya (39), warga Kopo, Kota Bandung, mengatakan, sambal cibiuk belakangan menjadi favoritnya setelah akrab dengan pola hidup lebih sehat. Dia mengatakan, sambal ini tidak memberikan rasa ”bersalah” saat menyantapnya. Selain enak, sambal ini disebut menyehatkan.
Dia mencontohkan, saat disajikan dalam serpihan kasar, dia tahu bahan apa saja yang bakal masuk ke dalam tubuhnya. Bahan-bahan segar bisa memberikan nutrisi bagi tubuhnya. Selain itu, tanpa digoreng, Barata bisa memastikan kalau tidak ada minyak sawit yang digunakan untuk membuat sambal itu.
”Sambal yang dibuat dadakan seperti ini menyelamatkan selera makan saya. Tetap sehat ternyata bisa tetap enak saat ada sambal cibiuk,” katanya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_11127999_1_0.jpeg)
Penjual menata jaket di industri kerajinan kulit domba di Sentra Kulit Astiga di Kabupaten Garut.
Kemampuan asgar
Seperti docang di Cirebon, sambal cibiuk menjadi potongan kreativitas warga asli Garut alias Asgar. Kemampuan itu seperti menjadi embrio bagi kehadiran sajian kuliner lainnya.
Dodol Garut merek Picnic besutan Ato Hermanto, misalnya, merambah ke daerah-daerah di Nusantara sejak dibuat 1950-an. Dari awalnya hanya makanan titip jual, sekarang kuliner dari beras ketan lokal ini menjadi oleh-oleh Garut.
Ada juga beras liwet instan karya Andris Wijaya sejak 2011. Menggunakan beras dan rempah dari Garut, kuliner ini mendapat sejumlah penghargaan dari Kementerian Perdagangan hingga kalangan perbankan. Permintaan dari konsumen dari Uni Emirat Arab hingga Amerika Serikat juga berdatangan.
Tidak hanya kuliner, Garut juga lama dikenal sebagai gudangnya orang dengan keterampilan khas. Kawasan Sukaregang hingga kini menjadi sentra industri sandang berbahan kulit domba setidaknya sejak tahun 1800-an.
Ada juga Banyuresmi yang lama kesohor dengan kemampuan warganya memangkas rambut di daerah-daerah di Nusantara hingga Malaysia dan Arab Saudi. Diduga, hal itu menyebar saat dipicu geger Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan SM Kartosoewirjo, sekitar tahun 1949.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_1332571_91_2.jpeg)
Aneka sambal dan lalapan di warung Cibiuk Garut.
Atau, simak juga keberadaan akar wangi di Samarang, kaki Gunung Guntur. Didatangkan langsung dari India oleh Mr Haag, tuan tanah Belanda pada 1908, kini minyak akar wangi Garut diperebutkan perusahaan parfum dan perisa (bahan tambahan) makanan dari Italia, Perancis, Jepang, dan Amerika Serikat.
Lewat sambal cibiuk, ragam kuliner, dan kemampuan khas lainnya, kreativitas jelas sulit dipisahkan dari tanah Jabar. Lama menghidupi ribuan orang hingga saat ini, sepertinya itu sesuai keinginan Syekh Jafar Sidiq, tokoh penyebar agama Islam abad ke-18 yang memopulerkan sambal cibuk. Konon, beliau dikenal sebagai ulama yang kerap mendorong masyarakat untuk selalu hidup mandiri dan terus berkreasi.
Baca juga : Giliran Coletot, Kudapan Singkong Eratkan Jabar-DI Yogyakarta