Warisan Hidup Sehat dari Para Pemuka Agama
Tren hidup sehat sejak lama tinggal di Jawa Barat. Banyak di antaranya warisan kearifan hidup para pemuka agama.
Gaya hidup sehat kembali menjadi tren saat dunia diterjang pandemi. Namun, lama sebelum saat ini, banyak hal baik diwariskan pemuka agama untuk masa depan lebih baik.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2F8af21c95-4159-41e0-af75-0c1dfaf18a13_jpg.jpg)
Suasana Warung Docang Pak Kumis, Rabu (5/1/2022), di Kota Cirebon, Jawa Barat. Docang merupakan makanan khas Cirebon yang berisi lontong, taoge, kerupuk, parutan kelapa, daun pepaya, daun singkong, dan kuah oncom.
Warung Pak Kumis di Jalan Tentara Pelajar, Kota Cirebon, Jabar, Rabu (5/1/2022) pagi, sudah ramai didatangi pengunjung. Tidak hanya warga setempat, tetapi juga warga luar kota.
Ragam kuliner khas Cirebon ditawarkan di sana, dari pedesan tulang hingga lengko. Namun, docang paling banyak dicari. Namanya diambil dari bodo kacang atau kuah kacang (kedelai) yang dibacem.
”Kata orang, docang enak dimakan pagi hari” ucap Eeng Mainah (57), pemilik Warung Pak Kumis. ”Pak Kumis” merupakan sebutan untuk mendiang suaminya, Asnan, yang memang berkumis.
Saat itu, tangan Eeng cekatan menyiramkan kuah bening ke mangkuk berisi taoge, daun pepaya, potongan lontong, dan parutan kelapa. Kuah segar itu menguarkan aroma oncom. Sebelum disajikan, remuk kerupuk aci ditaburkan di atasnya.
Akan tetapi, docang tidak hanya enak disantap. Dibuat dengan bahan-bahan segar, docang dibalur sejarah besar syiar Islam di Nusantara.
Baca juga: Hidup Sehat dengan Buah dan Sayur
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2Fb526b6c0-5fc2-4e3c-9f74-a39a3b32a14d_jpg.jpg)
Potret docang, kuliner khas Cirebon, buatan Eeng Mainah (57) di Warung Docang Pak Kumis, Rabu (5/1/2022), di Jalan Tentara Pelajar, Kota Cirebon, Jawa Barat. Docang merupakan makanan khas Cirebon yang berisi lontong, taoge, kerupuk, parutan kelapa, daun pepaya, daun singkong, dan kuah oncom.
Konon, docang adalah sisa-sisa makanan para Wali Songo. Sembilan tokoh besar penyebar Islam di Jawa itu diceritakan tidak habis menyantap makanan saat berkumpul di Cirebon. Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon tahun 1479-1568, termasuk di dalamnya.
Sisa-sisa makanan itu lantas dipungut pengikut mereka untuk diolah kembali. Warga percaya akan mendapatkan pertolongan dan berkah wali setelah mengonsumsinya. Versi lainnya, Sunan Gunung Jati meminta Ki Gede Bungko, seorang pendekar, dan istrinya menyediakan makanan bagi tamu. Jadilah rupa masakan docang.
Pilihan para wali jelas tidak keliru. Selain nikmat, kata pengamat budaya Cirebon, Akbarudin Sucipto, docang juga menyehatkan. ”Jadi, lebih mengarah ke vegetarian. Docang kan banyak sayuran. Dari dulu, leluhur sudah mengajarkan makanan sehat,” katanya.
Amalan para sesepuh di Cirebon, katanya, juga kerap berhubungan dengan kesehatan. Riyadhoh atau pelatihan diri untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, misalnya, mengajarkan puasa. ”Mereka juga meninggalkan makanan bernyawa, berdaging,” ungkapnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2Fd27bf620-b571-45da-bae5-73be4e566332_jpg.jpg)
Muhammad Fahri Firdaus, dokter ahli gizi klinis di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon, saat diwawancarai Rabu (5/1/2022).
Muhammad Fahri Firdaus, dokter ahli gizi klinis di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon, mengatakan, docang mengandung segudang gizi. Serat di daun pepaya dan taoge, contohnya, sangat diperlukan tubuh untuk mengendalikan kolestrol.
Dage atau oncom, kedelai yang difermentasi, dalam docang juga memiliki antioksidan, protein, dan vitamin B12 yang mencegah anemia. Hal serupa, katanya, juga banyak ditemukan di negara lain di Asia. ”Jadi, siraman oncom docang itu jangan dianggap remeh,” katanya.
Berbagai sayuran itu juga bakal memperlambat penyerapan glukosa yang berasal dari lontong. Fahri menyarankan, penikmat docang tidak berlebihan memakan kerupuk karena berkalori tinggi.

Sambal tomat Cibiuk di warung Cibiuk Garut.
Sambal Cibiuk
Konsumsi makanan sehat juga diwariskan Sheikh Jafar Sidiq, ulama abad ke-18 di Cibiuk, Garut, lewat sambal. Setiap kali menyebarkan ajaran agama di rumahnya, Sheikh Jafar Sidiq selalu menjamu tamunya dengan makanan, termasuk sambal, buatan anaknya Eyang Fatimah. Bahannya diambil dari tanaman yang ditanam sendiri. Konon, kata Darpan dan Budi Suhardiman dalam buku Seputar Garut, orang yang melahap tidak akan sakit perut.
Kuncinya ada di pemilihan bahan-bahan segar pilihan. Pedasnya dari cabai besar yang disebut orang Sunda sebagai cengek domba. Meski pedas, kadar air dan penggunaan tomat dan kemangi membuat sambal ini bisa dinikmati penggemar kuliner.
Tomat juga memegang peran penting mendukung nutrisi tubuh lewat likopen. Likopen merupakan senyawa berwarna merah muda yang juga banyak terdapat di buah berwarna merah, seperti semangka dan jambu biji yang merah. Manfaatnya banyak, terutama sebagai antioksidan yang bisa menangkal radikal bebas, menjaga keremajaan kulit, dan mencegah kanker.
Ciri khas sambal dengan ulekan kasar juga diyakini baik untuk tubuh. Selain tidak menghilangkan serat, menguyah bahan pembuat sambal itu ideal mengontrol gula darah.
Dengan kelebihan itu, tidak heran apabila sambal ini sangat diminati dari masa ke masa. Tidak hanya itu, banyak orang bertumpu hidup dari keberadaan sambal ini.
”Di sini ada ayam negeri, ayam kampung, gurami, dan nila. Pilihannya bisa dibakar dan digoreng. Sambalnya? Tentu di sini pakai sambal cibiuk,” kata Neni Nafisah (44), pemilik Rumah Makan Nasi Liwet Aap Cibiuk, Garut, tidak jauh dari makam Sheikh Jafar Sidiq.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2F9d38f656-e275-4f90-a2c5-bb4b3e31357e_jpg.jpg)
Seporsi sambal cibiuk tersaji bersama ayam goreng, nasi dan sayuran di Rumah Makan Nasi Liwet Aap Cibiuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Jumat (7/1/2022).
Sheikh Jafar Sidiq tidak sendirian. Kawan dekatnya, Sheikh Abdul Muhyi di Pamijahan, Kabupaten Tasikmalaya, juga punya kepedulian pada kesehatan dan alam. Beliau melarang aktivitas merokok hingga cara bertani ramah lingkungan.
Pesan itu masih dipegang sampai sekarang. Larangan merokok diberlakukan dalam radius lebih kurang 300 meter dari makam dan Goa Pamijahan, tempat bersemadi Sheikh Abdul Muhyi.
Mengutip cerita turun-temurun warga setempat, larangan itu muncul saat Sheikh Abdul Muhyi hendak pergi Jumatan ke Mekkah menggunakan jalur bawah tanah lewat goa. Saat beristirahat kedinginan di bawah laut, beliau menyalakan rokok. Namun, tak disangka, asap rokok membesar menjadi kabut dan menghalangi jalur yang hendak ditempuh.
Larangan itu relevan dengan risikonya. Rokok bisa menimbulkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin. Selain merusak kesehatan perokok itu sendiri, asap nikotin yang berembus di rumah-rumah mereka telah meracuni jutaan anak dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif.
Baca juga: Sedikit Mengubah Diet Membuat Hidup Kita Sehat dan Ramah Lingkungan

Makam Sheikh Abdul Muhyi menjadi pusat peziarahan utama di Situs Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Konsep penjagaan lingkungan terlihat dari keberadaan makam Sheikh Abdul Muhyi di atas bukit Gunung Mujarod. Sebelum dijadikan makam, kawasan itu merupakan tempatnya mengajarkan agama, menata kehidupan, termasuk cara bertani kepada pengikutnya.
Sepanjang sejarahnya, bukit kampung ini paling hijau di Pamijahan. Di sekitarnya beberapa pohon kiara tumbuh besar. Tidak ada orang yang berani menebang pohon atau membuat rumah di sekitarnya.
Keberadaan akar pohon besar membuat Gunung Mujarod menjadi tempat penampungan air bagi masyarakat. Dikunjungi ribuan peziarah dan dihuni ribuan penduduk, air bersih di Pamijahan tidak pernah berhenti mengalir meskipun pada musim kemarau.
Hidup selama berabad-abad, warisan besar para pemuka agama ini membuktikan kekuatannya. Giliran manusia di era ini untuk menjaga dan terus memelihara ragam manfaatnya.
Baca juga: Diabetes Bukan Hanya Soal Gula