Mel Ahyar mengakui cukup berjuang untuk bisa membawakan koleksinya kali ini di panggung Timur Tengah. Hal ini mengingat penggemar mode di sana akrab dengan busana yang identik dengan abaya, tunik, dan sejenisnya.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
KBRI DOHA/DIANA PRATIWI/NONY DAULIKA
Busana Karya Mel Ahyar pada acara 18th Heya Arabian Fashion Exhibition yang berlangsung di Qatar, pertengahan Desember 2021.
Kehidupan modern yang terus berkembang kerap kali dibenturkan dengan lunturnya nilai tradisi. Namun belakangan, muncul pemahaman untuk tak ketinggalan zaman tapi tetap kokoh merawat tradisi dan budaya yang telah dimiliki. Lewat gemerlap adibusana, hal ini diejawantahkan.
Setelah nyaris dua tahun tak memamerkan karyanya di landas peraga secara langsung karena pandemi, desainer Mel Ahyar memperoleh lagi kesempatannya. Bukan di tanah air, melainkan di 18th Heya Arabian Fashion Exhibition yang berlangsung di Qatar pada pertengahan Desember 2021.
“Fashion show secara langsung lagi setelah pandemi, ini yang pertama. Sebelumnya tetap koleksi baru muncul, tapi ditampilkan secara online peragaannya. Seneng banget akhirnya kembali lagi. Ada backstage lagi dan pengalaman lain,” ungkap Mel ketika dihubungi, Selasa (21/12/2021).
Sebagai salah satu pembuka di pagelaran busana ini, Mel menampilkan koleksinya yang bertajuk Juxtapose. Ada delapan tampilan yang disuguhkan pada peragaan kali ini. Karya dari Indonesia ini mendapat tempat karena sejalan dengan fokus pada perhelatan kali ini yang ingin menyoroti mode dari Asia. Selain Indonesia, India menjadi negara Asia lain yang ikut serta.
Keterlibatan Mel dalam ajang ini merupakan pilihan langsung dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Doha. Hanya dalam waktu sekitar 1,5 bulan, Mel pun merampungkan koleksinya kali ini untuk dibawa melanglang buana hingga ke Qatar. “Sempat bingung juga ini jadi apa enggak. Tanggalnya sempat mundur,” ungkap Mel.
KBRI DOHA/DIANA PRATIWI/NONY DAULIKA
Busana Karya Mel Ahyar pada acara 18th Heya Arabian Fashion Exhibition yang berlangsung di Qatar, pertengahan Desember 2021.
Dengan durasi pengerjaan yang singkat, Mel pun berinovasi. Koleksi Juxtapose ini merupakan penggabungan dengan koleksinya yang pernah muncul di Jakarta Fashion Week 2020 yakni Skins. Sebagian tampilan dari koleksi Skins dicupliknya dan dipadukan dengan sejumlah tampilan baru.
Koleksi Skins sendiri kental dengan ciri khas dari Mel yakni payet, bordir, sulam, patch, dan ilustrasi. Potongan busananya pun eksentrik dan terlihat dinamis. Kehadiran koleksi Skins memang membawa pesan tentang kehidupan modern yang riuh, terutama media sosial yang selalu ramai. Hal ini pun tertuang dalam warna-warni yang muncul pada detil busana.
Sesuai dengan judul koleksi kali ini yakni Juxtapose, Mel memadukan koleksinya yang kental dengan nuansa modern bersama wastra Indonesia, seperti songket, ulos, gedog tuban, dan batik tulis yang motifnya dibuatnya sendiri. “Memilih wastra yang akan dibawa ini tidak mudah karena Indonesia ini kaya sekali dengan wastra,” ujar desainer lulusan Esmod, Paris, Perancis ini.
Pemilihan songket ini karena merupakan salah satu wastra Indonesia yang populer dengan motif yang apik. Bekerjasama dengan Rumah Tenun Palembang, Mel membesut songket untuk masuk ke karyanya. Sementara gedog tuban dipilih karena belum banyak orang yang tahu padahal memiliki karakteristik yang menarik dan unik. Begitu pula dengan ulos.
KBRI DOHA/DIANA PRATIWI/NONY DAULIKA
Busana Karya Mel Ahyar pada acara 18th Heya Arabian Fashion Exhibition yang berlangsung di Qatar, pertengahan Desember 2021.
Kedekatannya dengan wastra ini makin terbangun ketika dirinya masuk ke divisi daya saing Dewan Kerajinan Nasional. Mel banyak bersinggungan dengan para pengrajin dan memahami seluk beluknya sehingga menggugahnya dan menjadi salah satu inspirasi untuk Juxtapose yang diperkenalkan ke kalangan internasional.
Dalam tiap koleksinya, Mel memang lebih akrab dengan konsep modern. “Tapi kali ini, aku mau bercerita banyak tentang Indonesia, tentang kebudayaan kita yang juga harus dikenal orang. Kenapa Juxtapose? Karena ini ada modern dan tradisional. Dan banyak hal yang ingin aku sampaikan sepanjang pandemi ini,” tutur Mel.
Bukan Abaya
Mel mengakui cukup berjuang untuk bisa membawakan koleksinya kali ini di panggung Timur Tengah. Hal ini mengingat penggemar mode di sana akrab dengan busana yang identik dengan abaya, tunik, dan sejenisnya. Mel justru enggan mengikuti pakem tersebut karena merasa ini menjadi kesempatan emas untuk memperkenalkan mengenai Indonesia lewat ragam mode dan wastra.
Kendati demikian, siluet yang ditampilkan tetap busana yang tertutup seperti gaun panjang yang dipadu dengan luaran. Atasan dengan lengan gelembung dipadu dengan bawahan berupa rok panjang atau lilitan kain. Aksesoris milik Rinaldy Yunardi menyempurnakan tampilan karyanya.
KBRI DOHA/DIANA PRATIWI/NONY DAULIKA
Busana Karya Mel Ahyar pada acara 18th Heya Arabian Fashion Exhibition yang berlangsung di Qatar, pertengahan Desember 2021.
“Enggak harus pakai penutup kepala memang. Yang bareng tampil itu juga enggan ada yang pakai penutup kepala, busananya malah glamor banget. Tapi memang cutting-nya panjang atau tidak terlalu terbuka sekali. Kecenderungannya di sana memang menyukai yang glamor,” kata Mel.
Karena itu, respon yang diperolehnya dari khalayak di sana pun cukup positif. Meski banyak pertanyaan yang muncul mengenai wastra yang dibawanya, busana yang disuguhkannya diminati sebagai salah satu pilihan busana pesta.
Memang kombinasi dari wastra dan bahan organdi silk yang dipilih Mel berpadu dengan bordir dan payet khasnya itu menampilkan kesan mewah pada koleksi kali ini. Kerumitan dalam membentuk bordir dan payet merupakan nilai tersendiri bagi tiap busana besutannya, termasuk pada Juxtapose.
“Budaya ini memang harus dirawat dan dijaga. Kesejahteraan pengrajin ini juga perlu dipikirkan. Kalau tidak ada mereka, regenerasinya juga tidak berjalan, budaya wastra ini bisa ikut hilang. Kalau hilang, jati diri bangsa ini juga ikut terkikis. Ini salah satu yang bisa menjadi citra Indonesia di luar,” ungkapnya.
Siapa lagi yang punya tanggung jawab menjaganya kalau bukan kita. Modernitas memang tak bisa dihindari, tapi merawat tradisi adalah niscaya.