Produk sejumlah ”brand” sepatu asal Kota Bandung, Jawa Barat, sukses menembus pasar global dengan pekerja lokal. Bermodal konsistensi mempertahankan karakter produk, pelanggan dari sejumlah negara berdatangan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana galeri Exodos57 yang menjual sepatu produk lokal asal Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/12/2021). Sepatu yang dibuat oleh perajin lokal tersebut diminati pelanggan dari luar negeri, seperti Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Kanada, dan Brasil.
Produk sejumlah brand sepatu asal Kota Bandung, Jawa Barat, sukses menembus pasar global dengan pekerja lokal. Bermodal konsistensi mempertahankan karakter produk, pelanggan dari sejumlah negara berdatangan. Semuanya mematahkan stigma tangan-tangan perajin lokal hanya menghasilkan barang kelas dua.
Deretan sepatu bergaya vintage sneakers dipajang di galeri Exodos57, Kota Bandung, Kamis (16/12/2021). Merek sepatu lokal berbahan kulit dan kanvas ini ramai diperbincangkan sejak dirilis lima tahun lalu.
Konsep dan eksekusi produknya terbilang berani. Beberapa mode memadukan tiga hingga empat warna. Penggabungan beberapa bahan sengaja dibuat kentara secara visual sehingga semakin memperkuat karakter motifnya.
”Karakter produk itu sangat penting untuk dijual. Kalau hanya mengikuti (selera) pasar, 2-3 tahun juga akan jenuh,” ujar pemilik Exodos57, Gally Magido Rangga.
Produk dengan karakter kuat itu tidak hanya diminati pelanggan dari dalam negeri, tetapi juga mancanegara. Sebanyak 20-30 persen produknya ”terbang” ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Kanada, dan Brasil.
Sebelum pandemi Covid-19, sepatu Exodos57 laku terjual lebih dari 2.000 pasang per bulan. Namun, selama pandemi, volume penjualannya sekitar 600 pasang per bulan.
Dalam membuat produknya, Gally mencari bahan kulit sapi terbaik dari Garut (Jabar), Magetan (Jatim), dan DI Yogyakarta. Kanvas dipasok dari Bandung yang menjadi rumah bagi industri konfeksi. Sementara sekitar 20 pekerjanya merupakan perajin asal Cibaduyut dan Buahbatu, Bandung.
”Bukan hanya materialnya, brand dan pekerjanya juga lokal. Jadi, memberdayakan semua unsur lokal, baru bisa dikatakan local pride,” ujarnya.
Gally tak pernah meragukan kreativitas pekerja lokal. Bahkan, menurut dia, Indonesia sedang dilirik pasar industri sepatu dunia karena kualitas produk yang dihasilkan pekerjanya.
Pemerintah harusnya berinisiatif membuat asosiasi brand-brand lokal yang berkualitas. Ingat, pasar dalam negeri kita saat ini masih dikuasai merek asing.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana galeri Exodos57 yang menjual sepatu produk lokal asal Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/12/2021). Indonesia kini sedang dilirik pasar industri sepatu dunia karena kualitas produk yang dihasilkan pekerjanya.
Pria asal Tentena, Sulawesi Tengah, itu mencontohkan, merek-merek sepatu raksasa mempunyai banyak pabrik di sejumlah negara. Namun, produk buatan Indonesia selalu menjadi buruan utama.
Menurut Gally, hal itu menjadi peluang bagi sektor ekonomi kreatif dalam negeri. Apalagi, kesadaran menghargai karya perajin lokal mulai tumbuh sehingga mesti terus digaungkan.
”Pemerintah harusnya berinisiatif membuat asosiasi brand-brand lokal yang berkualitas. Ingat, pasar dalam negeri kita saat ini masih dikuasai merek asing. Asosiasi ini nantinya bisa menjadi tempat belajar bagi brand lokal yang baru tumbuh,” ujarnya.
Meskipun banyak merek lokal bersaing di bisnis sepatu, tidak sedikit juga yang tumbang. Menurut Gally, salah satu penyebabnya adalah terlalu mengikuti arus pasar.
”Jangan terbawa euforia. Memang ada masanya tren sepatu tertentu lagi ramai. Namun, itu tidak lama. Ada yang ikut arus, padahal sudah capek-capek bangun karakter produknya,” ujarnya.
Bagi Gally, konsisten memperkuat karakter tak bisa ditawar dalam berbisnis. Pelanggan berani membayar mahal untuk konsistensi itu. Buktinya, beberapa pelanggannya dari luar negeri membeli kembali setiap Exodos57 merilis model baru.
Kualitas produk Exodos57 membuat Rahma (29), pelanggan asal Bandung, betah memakai brand tersebut sejak tiga tahun lalu. Selain tidak pasaran, modelnya juga terkesan kokoh sehingga menambah kepercayaan diri orang yang menggunakannya.
”Awalnya saya mengira ini produk luar (negeri) karena kualitasnya bagus sekali. Setelah tahu produk lokal, saya tambah kagum. Ini bukti karya pekerja lokal bisa bersaing,” katanya.
Sejumlah sepatu terpajang di toko Saint Barkley, Jalan Terusan Jakarta, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (17/12/2021). Jenama lokal asal Bandung ini telah eksis sejak 2012 dan memiliki kualitas yang tidak kalah dengan sepatu produksi luar negeri.
Produk Saint Barkley (SB), merek sepatu asal Bandung lainnya, juga membuktikan bisa bersaing di pasar global. Bahkan, brand yang eksis sejak 2012 itu dijual juga di Malaysia dan Korea Selatan, berkolaborasi dengan produk lokal setempat dalam pemasaran.
”Untuk pasar online (daring), kami sudah menembus sampai Barcelona, Spanyol. Bahkan, ongkos kirim ke sana lebih mahal daripada harga produknya. Karena itu, tahun depan kami berencana membuka store di UK (Inggris Raya) untuk menjangkau pembeli di sana,” ujar salah seorang pemilik SB, David Firmansyah.
Semula, SB ingin masuk ke pasar apparel (pakaian) yang tengah menjamur di Bandung. Namun, karena dianggap terlalu banyak, dia akhirnya memilih sepatu.
David pun memutar otak untuk mendapatkan sepatu yang menarik dan berkualitas. Dia terus menyempurnakan 11 jenis sepatu yang menjadi andalan SB. ”Saya lebih memilih menyempurnakan yang ada daripada membuat yang baru. Salah satu model kami kembangkan dari 2012, baru dapat desain yang ideal tahun 2019. Kenyamanan tetap diutamakan,” ujarnya.
Untuk mendapatkan kenyamanan tersebut, lanjut David, pihaknya serius mencari pabrik yang bisa mengerjakan produk sesuai standar. Hal ini yang membuat pengerjaan produk SB pindah dari pabrik di Bandung menuju Surabaya pada tahun 2020.
”Dari awal (2012) sampai 2020 kami memesan sepatu di Bandung. Terakhir, standar desain yang kami keluarkan tidak disanggupi oleh mereka. Kami akhirnya pindah mencari pabrik lain. Di Surabaya, ada pabrik yang menyanggupi desain kami. Kualitas menjadi prioritas,” ujarnya.
Kita coba nyambung dulu. Istilahnya, heureuyna sarua (bercandanya sama). Jadi, untuk urusan bisnis belakangan. Setelah ada kedekatan, bisnis pun pasti akan berjalan. Yang penting relasi.
Kompas
Sejumlah sepatu terpajang di toko Saint Barkley, Jalan Terusan Jakarta, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (17/12/2021). Jenama lokal asal Bandung ini telah eksis sejak 2012 dan memiliki kualitas yang tidak kalah dengan sepatu produksi luar negeri.
Dari pabrik di Bandung, pesanan SB dikerjakan lebih dari 20 perajin lokal. Setelah pindah ke pabrik di Surabaya, produk mereka dikerjakan ratusan pekerja. ”Kami menargetkan produksi 9.000 pasang sepatu setiap enam bulan dan bisa mencapai 20.000 pasang per tahun,” ujarnya.
Di samping kualitas bahan dan pengerjaan, relasi dengan berbagai pihak pun turut membantu produk SB terkenal. David yang berkecimpung di dunia musik dan olahraga skateboard kerap mendapatkan saran dan feedback dari rekan-rekannya untuk membuat produk yang lebih baik.
”Sekarang kami juga bekerja sama dengan Burgerkill (band metal asal Bandung) dan Motul (merek pelumas). Kalau anak-anak skateboard, biasanya saya nanya, apa yang kurang. Kaki orang kan beda-beda. Jadi, feedback dari mereka bisa membantu saya mengembangkan produk,” ujarnya.
Selain itu, pendekatan personal ini juga dilakukan untuk mitranya di luar negeri. David tidak langsung mengajukan perjanjian bisnis ketika ada yang ingin bekerja sama. Dia memilih mengajak tamu-tamu tersebut berjalan-jalan dan menjamu mereka demi bisa berkomunikasi lebih nyaman.
”Kita coba nyambung dulu. Istilahnya, heureuyna sarua (bercandanya sama). Jadi, untuk urusan bisnis belakangan. Setelah ada kedekatan, bisnis pun pasti akan berjalan. Yang penting relasi,” ujarnya.
Di tengah persaingan industri sepatu yang semakin ketat, produk kreativitas pekerja lokal masih terus diburu oleh konsumen dari penjuru dunia. Prestise semu memakai brand asing mestinya menjadi masa lalu karena buatan dalam negeri tak kalah berkualitas.