Para pahlawan biasanya berjuang untuk kepentingan kelompok sendiri, ada pamrih. Pembelot yang bukan pengkhianat berkorban untuk keyakinan dan kepentingan lebih besar: kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh
Ariel Heryanto
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Ariel Heryanto
Seorang mahasiswa mati tertembak dalam demonstrasi anti-Soekarno tahun 1966. Menurut Arief Budiman, tokoh aktivis Angkatan 66, para aktivis tak ada yang mengenalnya. Menurut yang mengenal almarhum, ia bukan seorang aktivis. ”Mungkin ia penonton sial. Kena peluru nyasar karena terlambat tiarap,” seloroh Arief.
Namun, ia dipahlawankan Orde Baru, untuk mencemarkan wibawa pemerintah Soekarno. Nama Arif Rahman Hakim dipakai menjadi nama jalan di beberapa kota. Juga untuk nama masjid di Kampus Salemba, Universitas Indonesia, selain nama stasiun radio swasta di Jakarta.
Perombakan jauh lebih besar melanda seluruh negeri setelah Orde Baru berkuasa. Bukan hanya jalan dan gedung di sejumlah kota berubah nama menjadi nama-nama tentara. Sejak itu Indonesia menjadi sebuah negara yang sangat berbeda. Daftar mereka yang dipahlawankan dan dikutuk berubah radikal.
Tokoh sejarah yang paling memukau untuk dibahas bukan para pahlawan nasional. Bukan lawan mereka. Bukan para pengkhianat. Tetapi mereka yang tak gampang masuk salah satu kategori itu. Ada miripnya pahlawan. Sekaligus ada miripnya pengkhianat.
Pahlawan nasional disanjung dalam berbagai propaganda karena jasa mereka. Kolonialisme berwatak rasis. Maka, mayoritas yang dipilih jadi pahlawan adalah kaum pribumi. Yang menarik, tak sedikit kaum pribumi berkulit gelap yang berpihak pada pemerintah kolonial. Jangan terburu menuduh mereka pengkhianat.
Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, 90 persen pegawai pemerintah kolonial adalah warga pribumi. Masa itu, ide Indonesia merdeka belum terbayangkan mayoritas penduduk jajahan. Angan-angan indah itu asing. Beredarnya sebatas sebagian aktivis dan kaum terpelajar yang berjumlah kecil.
Pemerintah kolonial pada masanya sah. Juga berwibawa sebagai sponsor utama modernitas di Nusantara. Ia merintis pembangunan sekolah modern, klinik, toko, gedung seni dan budaya. Juga merintis terbitan koran, siaran radio, bank, kantor pos, pabrik, jaringan kereta api, selain tentara dan penjara. Wajar jika kaum muda dari aneka ras berlomba membina karier sebagai pegawai pemerintah pada masa itu.
Tokoh paling memukau dari semua tokoh sejarah kolonial adalah orang-orang dari bangsa penjajah yang berpihak pada kaum terjajah. Tidak sedikit jumlahnya. Misalnya Haji Johannes Cornelis Princen. Ia lahir dan besar di Belanda, tapi membelot dari tentara Belanda dan membela RI. Menjelang berakhirnya penjajahan Jepang, ada Laksamana Muda Tadashi Maeda yang kemudian terkenal karena mendukung RI.
Tokoh-tokoh luar biasa itu hadir dalam berbagai zaman dan aneka konflik di dunia. Sebelum Timor Leste merdeka, tak sedikit warga lokal berpihak pada RI. Sebaliknya, beberapa orang Indonesia mendukung kemerdekaan Timor Leste. Salah satu yang saya kenal dekat adalah almarhum George Junus Aditjondro.
Multatuli menulis Max Havelaar untuk Hindia Belanda. Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen untuk Timor Leste. Yang lebih mutakhir Edward Snowden membongkar rahasia negara demi perlindungan rakyat Amerika Serikat. Apakah para pembelot itu berkhianat? Ada dua jenis pembelot.
Dalam konflik antara dua kubu yang tidak berimbang, bisa ada pembelot dari kubu lemah yang mengabdi kelompok yang kuat. Jika pembelotan itu dilakukan demi pamrih cari selamat atau keuntungan diri sendiri, julukan ”pengkhianat” untuk mereka bisa dimaklumi.
Bagaimana yang sebaliknya? Mereka yang membelot dari kubu raksasa untuk membela kubu lawan yang lemah? Pamrih pribadi tak bisa diharapkan. Malahan ancaman dan derita berkepanjangan akan datang menghantam.
Yang mendorong tindakan mereka bisa beraneka. Mungkin keyakinan politik, iman agama, nilai-nilai moral. Atau kemanusiaan universal yang tercantum pada butir kedua Pancasila. Istilah ”pengkhianat” tidak pas untuk mereka. Bahkan istilah ”pahlawan” tidak memadai.
Para pahlawan biasanya berjuang untuk kepentingan kelompok sendiri. Ada pamrih walau kolektif dan tidak pribadi. Pembelot yang bukan pengkhianat berkorban untuk keyakinan dan kepentingan lebih besar: kemanusiaan yang adil dan beradab. Melampaui kotak-kotak politik identitas, termasuk nasion.
Semasa perang antarnegara, tokoh-tokoh demikian menjengkelkan para penguasa dan kaum nasionalis yang fanatik. Namun, cepat atau lambat semua masyarakat berubah. Setelah perang berlalu cukup lama, kita bisa belajar lebih dewasa meninjau ulang sosok pahlawan, pengkhianat, dan mereka yang tidak masuk dua kutub ketegori itu. Contohnya di Belanda.
Ketika revolusi kemerdekaan RI, sineas Belanda, Joris Ivens, membela RI dengan karya yang terkenal, Indonesia Calling (1946). Ia dikutuk Pemerintah Belanda sebagai pengkhianat. Bertahun-tahun ia tidak bisa pulang ke tanah airnya. Tetapi ketika Joris berusia 90 tahun, beberapa bulan sebelum mati, Pemerintah Belanda meminta maaf kepadanya dan memberikan anugerah kehormatan (1988).
Beberapa patung pahlawan kolonial Belanda ditolak sebagian warga Belanda sendiri karena kekejaman mereka di masa lalu. Gejala serupa terjadi di bagian lain di Eropa, juga di Amerika dan Australia, ketika maraknya protes mendunia Black Lives Matter (2020).
Di Belanda sudah belasan nama orang Indonesia dipakai sebagai nama jalan. Sebagian pernah berjasa bagi Belanda. Tidak semua. Malahan beberapa pejuang kemerdekaan RI yang dulu dihukum mati, atau hukum penjara, atau hukum pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kini nama mereka jadi nama jalan di sana: Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan SK Trimurti.
Perubahan besar-besaran nama jalan menandakan perubahan besar sosok negara dan masyarakat. Bukan sekadar pergantian pejabat pemerintahan dengan corak yang sama dari rezim sebelumnya. Indonesia baru mengalami dua kali. Pertama, ketika revolusi nasionalis mengakhiri kolonialisme. Kedua, ketika revolusi kapitalis melahirkan Orde Baru.
Kelak bila ada perubahan besar yang berikut, mungkin nama orang-orang hebat dari Belanda, Jepang, atau Timor Leste akan dijadikan nama jalan di banyak kota di Tanah Air. Juga nama tokoh-tokoh sebangsa, seperti Munir, Marsinah, Yap Thiam Hien, Mas Marco, dan Pramoedya Toer.
Ariel Heryanto
Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia