Peminat pasar perumahan kini didominasi milenial dan gen Z. Peluang pasar ini perlu digarap dengan mencermati tren kebutuhan pasar properti ke depan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Pekerja melakukan perawatan taman di sebuah kompleks perumahan menengah ke atas baru di kawasan Kemang, Bogor, Jawa Barat, Minggu (26/9/2021). Kompleks perumahan menengah ke atas baru terus bermunculan di pinggiran Ibu Kota seiring mulai terbangunnya infrastruktur seperti jalan tol yang masif dibangun hingga pinggiran Ibu Kota.
Siapa yang tidak bermimpi punya rumah? Masa pandemi Covid-19 telah menggiring kesadaran sebagian masyarakat akan kebutuhan dasar hunian yang nyaman, sehat, dan multifungsi. Generasi milenial dan generasi Z pun kian mendominasi pasar perumahan.
Commercial Director Lamudi.co.id Yoga Priyautama mengemukakan, selama dua tahun pandemi, pencarian properti di laman tersebut meningkat 36,8 persen secara tahunan. Pencarian properti yang sempat turun pada April 2020 secara bertahap kembali menggeliat dan kian meningkat seiring banyaknya insentif properti dari pemerintah.
”Ini menunjukkan, orang masih cari properti walaupun di masa pandemi. Perpanjangan stimulus pajak sangat membantu kenaikan pasar properti,” katanya, dalam Diskusi ”Tren Properti Incaran Milenial: Cara Mudah Punya Rumah” secara daring, yang diselenggarakan Infobank TV.
Yoga menambahkan, pencarian properti saat ini didominasi kelompok masyarakat berumur 25-34 tahun, yang tergolong generasi milenial dan generasi (gen) Z. Hampir 90 persen pencarian properti dilakukan secara digital dengan menggunakan telepon pintar. Tipikal pembeli properti dari kaum milenial yang pada tahun ini berusia 27-41 tahun, serta gen Z yang berumur sampai 26 tahun umumnya mencari informasi sebanyak-banyaknya, sebelum memutuskan membeli.
Kebanggaan memiliki properti masih menjadi sesuatu yang menarik untuk kaum milenial dan gen Z. Aktualisasi diri adalah (dengan) membangun rumah sendiri.
”Kebanggaan memiliki properti masih menjadi sesuatu yang menarik untuk kaum milenial dan gen Z. Aktualisasi diri adalah (dengan) membangun rumah sendiri. Informasi menjadi faktor terpenting untuk mengambill keputusan membeli rumah. Mereka mencari tahu dulu soal properti yang ingin dibeli, lokasi yang baik, hingga skema pembiayaan KPR,” lanjut Yoga.
Dari kajian lamudi.co.id, rumah tapak masih menjadi primadona untuk tempat tinggal (end user), yakni mencapai 83,7 persen dari total pencarian rumah pada tahun 2021 dan sebesar 92,01 persen pada tahun 2020. Pembiayaan juga didominasi dengan KPR.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara kawasan perumahan di Cakung, Jakarta Timur, Jumat (28/5/2021). Peluang masyarakat dalam membidik sektor properti membesar dengan adanya sejumlah insentif yang digulirkan pemerintah.
Dengan adanya dominasi pasar kaum milenial dan gen Z, penting bagi pelaku properti untuk beradaptasi dengan cara pemasaran dan uang muka relatif ringan guna menjangkau kaum muda ini. Di sisi lain, perbankan perlu menangkap peluang melalui kemudahan pembiayaan.
Dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), generasi milenial dan Z juga mendominasi penyerapan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Sebanyak 78 persen alokasi FLPP dimanfaatkan kaum milenial, dan 12 persen oleh gen Z.
Namun, kebutuhan rumah yang terus melaju setiap tahun menyebabkan tingkat kekurangan (backlog) rumah masih tinggi, yang didominasi kaum milenial. Jumlah masyarakat yang belum memiliki rumah saat ini mencapai 12,75 juta rumah tangga. Adapun, keluarga yang menempati rumah tidak layak huni mencapai 7 juta rumah tangga.
Beli atau sewa
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan PUPR Herry Trisaputra Zuna, mengungkapkan, problem perumahan tidak hanya dialami masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga warga berpenghasilan menengah.
Pasokan rumah bersubsidi lebih banyak tersedia di luar kota-kota besar, meskipun mayoritas masyarakat bertempat tinggal dan bekerja di kota-kota besar.
Sementara itu, pasokan rumah bersubsidi lebih banyak tersedia di luar kota-kota besar, meskipun mayoritas masyarakat bertempat tinggal dan bekerja di kota-kota besar. Sebagai ilustrasi, rumah bersubsidi tidak tersedia di DKI Jakarta karena harga lahan yang mahal, sedangkan orientasi rumah bersubsidi masih berupa rumah tapak.
ARSIP VIDA BEKASI
Suasana perumahan Cluster Botanica, di dalam kompleks perumahan Vida Bekasi, Jabar. Perumahan ini mengusung konsep hunian yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan.
Menurut Herry, diperlukan solusi perkotaan dan metropolitan melalui penyediaan hunian vertikal untuk mengurai backlog rumah. Namun, konsekuensinya adalah harga jual yang lebih tinggi dan tingkat keterjangkauan. Oleh karena itu, masalah kekurangan rumah dan hunian perlu terus dicermati dengan melihat sejauh mana tren kebutuhan pasar ke depan.
”Apakah semua (orang) harus memiliki rumah, atau tidak harus memiliki? Ini terkait (kebutuhan) sewa rumah. Perlu dicermati, tidak hanya penyediaan rumah milik, tetapi kita juga harus masuk ke rumah sewa,” kata Herry.
Di sisi lain, skema-skema pembiayaan perlu menyentuh pekerja non MBR maupun pekerja informal yang jumlahnya cukup besar. Tak dimungkiri tren pekerja informal atau pekerja mandiri terus meningkat dan didominasi kaum milenial. Pekerja informal dengan pendapatan yang tidak tetap umumnya kesulitan dalam mengakses pembiayaan dari perbankan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Proyek pembangunan perumahan di kawasan Cipondoh, Tangerang, Senin (23/8/2021). Produk rumah tapak tetap menjadi segmen yang banyak dicari dalam masa pandemi Covid-19 dibandingkan apartemen atau rumah susun. Nilai jual yang lebih tinggi menjadikan properti jenis rumah tapak sebagai salah satu pilihan investasi masyarakat.
Meski demikian, sejumlah insentif dan stimulus properti tengah digulirkan pemerintah. Di antaranya, kebijakan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) 3,5 persen sejak Mei 2021. Selain itu, stimulus pajak berupa Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang diperpanjang hingga Desember 2021.
Dengan stimulus itu, Herry menilai inilah momentum yang tepat untuk membeli rumah. Ini karena harga rumah terus meningkat, sedangkan tabungan kalah cepat meningkat. ”Jangan pernah berpikir menabung dulu baru membeli rumah, tetapi berpikir membeli rumah sambil menabung,” ujar Herry.
Direktur Consumer and Commercial Lending BTN Hirwandi Gafar mengemukakan, generasi milenial dan Z berpenghasilan rendah berkesempatan untuk memanfaatkan skema pembiayaan subsidi berupa KPR FLPP, subsidi bantuan uang muka, atau tabungan perumahan rakyat (tapera). Tapera yang baru digulirkan pemerintah memberikan fasilitas pembiayaan yang bersumber dari simpanan dan iuran peserta tapera.
Dari sisi suplai, tren perumahan yang diminati generasi milenial dan Z yakni perumahan yang didukung teknologi informasi, area komunitas untuk berinteraksi, serta kemudahan pembiayaan.
Dari sisi suplai, tren perumahan yang diminati generasi milenial dan Z yakni perumahan yang didukung teknologi informasi, area komunitas untuk berinteraksi, serta kemudahan pembiayaan. Pengembangan kawasan perumahan terus didorong berupa kawasan menengah besar, agar tidak muncul kluster perumahan-perumahan skala kecil yang memicu kekumuhan dan kemacetan.
Ketua Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Adi Setianto mengemukakan, tapera dengan model pembiayaan gotong royong dari pekerja dan untuk pekerja dinilai dapat menjembatani pekerja informal atau pekerja mandiri untuk memperoleh akses pembiayaan dari lembaga keuangan.
Dengan kepesertaan tapera minimal 1 tahun dan rutin menabung, pekerja yang tergolong masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 8 juta per bulan dapat mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan tenor pinjaman hingga 30 tahun dan bunga KPR 5 persen.