Kebijakan yang pruden penting dipatuhi oleh negara berkembang yang memiliki defisit struktural di neraca perdagangan barang dan jasa.
Oleh
Mirza Adityaswara
·5 menit baca
DIDIE SW
Ilustrasi dollar AS
Sebagai negara yang sangat tergantung dari aliran modal, Indonesia harus memperhatikan apa yang terjadi pada kebijakan ekonomi dan moneter negara besar, utamanya Amerika dan China.
Kita baru tujuh hari di tahun 2022. Memang masih terlalu awal untuk melihat tren karena pelaku pasar keuangan global banyak yang belum kembali dari liburan. Walaupun demikian, dalam seminggu, kinerja pasar keuangan global mengirimkan sinyal yang cukup seragam, yaitu adanya kekhawatiran akan kenaikan suku bunga The Fed. Indeks saham teknologi Amerika, NASDAQ, turun 5,7 persen dan indeks S&P500 turun 2,5 persen. Indeks FTSE di London turun 0,3 persen dan bursa saham Shanghai turun 1,8 persen.
Karena ekonomi Amerika sudah bangkit dari krisis Covid, maka The Fed perlu mengurangi stimulus moneter dan menaikkan suku bunga. Sebab, jika dibiarkan, akan menimbulkan inflasi yang terlalu tinggi. Imbal hasil (yield) surat utang Amerika mulai meningkat, misalnya tenor 10 tahun naik cepat dari 1,52 persen ke 1,77 persen.
Tapi jika terjadi kenaikan suku bunga Amerika yang terlalu cepat, dikhawatirkan pemulihan ekonomi akan melambat. Maka dari itu, harga saham di sana turun. Jika aktivitas manusia kembali ke kantor, penggunaan teknologi untuk rapat dan berbelanja akan berkurang. Maka dari itu, harga saham perusahaan teknologi juga turun. Yang turun tajam adalah crypto asset.
Naik turunnya harga crypto asset tidak didasari oleh fundamental ekonomi. Harga bitcoin naik 44 persen di Oktober-November 2021, tapi kemudian turun 54 persen di November ke Januari 2022, mungkin karena mengantisipasi kenaikan kurs dollar AS. Maka dari itu, investasi di crypto asset sebaiknya tidak dilakukan oleh masyarakat awam karena volatilitasnya sulit dianalisis.
AP PHOTO/KIN CHEUNG, FILE
Bitcoin
Antisipasi terhadap kenaikan suku bunga dan kenaikan yield surat utang Amerika membuat pembelian dollar AS mulai menguat. Misalnya, dollar AS menguat sekitar 1 persen terhadap won Korea, rubel Rusia, dan real Brasil di awal Januari 2022. Dollar AS juga menguat 0,7 persen terhadap rupiah.
Dunia sedang menuju dari keadaan tidak normal ke normalisasi. Memori kita harus diingatkan dan sejarah harus ditulis. Di masa krisis Covid 2020-2021, anggaran negara mengalami tekanan luar biasa, penerimaan turun tajam sedangkan pengeluaran subsidi untuk menyelamatkan masyarakat meningkat signifikan sehingga defisit anggaran memburuk drastis, terpaksa harus dibiayai dari utang. Jadi, peningkatan rasio utang pemerintah pada masa pandemi adalah untuk menolong manusia.
Pada periode penanganan krisis Covid-19, otoritas moneter di sejumlah negara harus menyelamatkan ekonomi dengan cara melonggarkan likuiditas secara luar biasa, menurunkan suku bunga secara signifikan, bahkan harus ikut membiayai anggaran pemerintah, yang mana dalam situasi normal tidak boleh dilakukan.
Otoritas pengawas seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) di sejumlah negara juga harus melonggarkan aturan ”prudensial”, merelaksasi aturan pencadangan kredit bermasalah agar supaya perbankan dan lembaga pembiayaan tidak merugi. Di Indonesia, berbagai pelonggaran kebijakan fiskal, moneter, dan relaksasi lembaga keuangan tersebut difasilitasi dengan dibuatnya perppu di bulan Maret-April tahun 2020. Perppu tersebut sudah menjadi UU No 2/2020. Namun, ini kebijakan khusus hanya untuk masa darurat setelah tiga tahun harus kembali kepada asas pengelolaan makro-ekonomi yang normal.
Kompas
Ilustrasi bank
Omicron belum mereda, tapi asumsi para ekonom adalah wabah akan terus melandai. Seiring dengan meningkatnya vaksinasi dan teratasinya wabah Covid-19, maka sejak triwulan IV-2021, aktivitas ekonomi mengalami akselerasi. Maka dari itu, kebijakan fiskal dan moneter serta kebijakan pencadangan perbankan di sejumlah negara juga mulai ancang-ancang untuk normalisasi, artinya kembali kepada kebijakan yang pruden.
Kebijakan yang pruden penting dipatuhi oleh negara berkembang yang memiliki defisit struktural di neraca perdagangan barang dan jasa (current account deficit/CAD). Mempersiapkan diri menghadapi kenaikan bunga The Fed dan kenaikan yield surat utang Amerika Serikat di tahun 2022-2024 harus dilakukan secara terkoordinasi. Kita harus mencegah gejolak sektor keuangan seperti tahun 2013 yang disebabkan pada saat itu suku bunga Amerika naik tapi defisit fiskal dan CAD kita sedang tinggi.
Saat ini kita menikmati stabilitas ekonomi makro. Tentu ada penyebabnya. Satu, pemerintah berhasil menunjukkan kepada dunia internasional bahwa defisit fiskal bisa diturunkan, membaik signifikan dari 6,1 persen PDB di tahun 2020 menjadi 4,65 persen PDB di tahun 2021. Artinya, keperluan penerbitan utang juga menjadi lebih rendah Rp 310 triliun. Di tahun 2022-2024 harus ditunjukkan bahwa prioritas pengeluaran negara sejalan dengan penurunan defisit anggaran ke bawah 3 persen PDB.
Penyebab kedua, neraca perdagangan barang dan jasa mencatat surplus (CA Surplus), suatu hal yang jarang terjadi di Indonesia. CA Surplus artinya mempunyai kelebihan devisa, padahal biasanya kita mengalami CA defisit yang membutuhkan devisa. CA surplus didorong oleh lonjakan harga komoditas tambang dan perkebunan. Ekspor kita melonjak 43 persen di Januari-November 2021.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Tumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Lonjakan harga komoditas disebabkan industri manufaktur dan pembangkit listrik harus memenuhi permintaan produksi yang tiba-tiba meningkat. Tapi jika harga komoditas akan turun di tahun 2022-2024, kita akan kembali mengalami CAD sehingga Indonesia harus cepat beralih ke ekspor barang manufaktur. Dorong penanaman modal asing (PMA) yang berorientasi ekspor dan menghemat devisa.
Penyebab ketiga adalah inflasi rendah, hanya 1,9 persen di tahun 2021. Karena inflasi yang rendah, maka suku bunga real Indonesia masih positif sekitar 1,6 persen, yaitu suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 3,5 persen dikurangi inflasi 1,9 persen.
Bandingkan dengan suku bunga real Amerika Serikat yang saat ini justru negatif karena inflasi di sana di atas 5 persen sedangkan bunga The Fed hanya 0,25 persen. Jadi, dengan suku bunga The Fed akan naik dari 0,25 persen ke 1 persen di tahun ini, supaya kurs stabil, Indonesia harus bisa mempertahankan suku bunga real positif lebih tinggi daripada Amerika Serikat dengan cara kendalikan inflasi jangan lebih dari 2,5 persen sambil ikut menaikkan bunga secara perlahan.