Pengembangan desa wisata tidak selalu harus merujuk desa wisata peringkat atas sebagai tolok ukur. Memulai dari hal yang sederhana dan bebenah secara perlahan justru bisa menghadirkan kelebihan tersendiri
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Rumah yang berjejal di Dusun Butuh, Desa Temanggung, Kaliangkrik, Jawa Tengah, menjadi daya tarik utama dusun di lereng Gunung Sumbing tersebut, Selasa (14/12/2021). Dusun yang dihuni sedikitnya 475 keluarga tersebut terus dikembangkan menjadi desa wisata dengan harapan mampu menghadirkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat.
Menjadi desa wisata merupakan cita-cita banyak desa. Paling tidak itu yang saya tangkap ketika kami berkesempatan menjadi mitra kerja di sejumlah desa.
Cerita sukses desa-desa wisata, seperti Desa Ponggok di Klaten, Desa Pujon Kidul di Malang, Desa Sade di Lombok Tengah, menjadi alasan mereka. Tahun 2021, Asosiasi Desa Wisata (Asidewi) mencatat, terdapat 1.838 desa wisata, dari total 83.381 desa/kelurahan di Indonesia.
Pariwisata merupakan sektor yang memiliki kaitan kegiatan ke belakang (backward linkage) dan kaitan kegiatan ke depan (forward linkage) yang luas. Oleh karena itu, desa wisata diharapkan mampu meningkatkan perekonomian sebagian besar penduduknya.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) tampaknya juga serius menggarap desa wisata. Menteri Desa & PDTT bahkan berharap kebangkitan ekonomi desa akibat pandemi dapat dimulai dari sektor pariwisata, melalui desa wisata.
Pihak kementerian menjanjikan kemudahan informasi tentang desa-desa wisata yang kelak dapat diakses melalui aplikasi di internet. Tahun 2017 Kemendesa sudah membuat proyek percontohan desa wisata di 10 lokasi, tersebar di seluruh Indonesia.
Penelitian cukup komprehensif juga mereka lakukan dalam menyiapkan desa wisata, antara lain tertuang pada “Desa Wisata: Membangun Desa dengan Memanfaatkan Potensi Budaya” yang mengupas potensi wisata Desa Banyuroto, Salaman, Magelang (Susilo dkk., 2018).
Kompas
Pengunjung berjalan di tengah hutan mangrove Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, seperti pada Minggu (19/12/2021). Selain berfungsi meredam abrasi bahkan tsunami, hutan mangrove juga menjadi lokasi wisata.
Kajian dan studi tentang pengembangan desa wisata dari sisi akademik sudah banyak dilakukan. Artikel ini mengupas aspek-aspek yang dapat diperbaiki dari desa-desa yang bercita-cita menjadi desa wisata, dari sudut pandang pengunjung.
Ada dua hal yang sering dilupakan oleh para pengambil keputusan tingkat desa, yaitu penataan objek wisata dan penyediaan fasilitas publik yang layak.
Mencari kekhasan
Pengunjung desa wisata berharap menemukan hal unik yang tidak mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya pemandangan alam pedesaan, tetapi juga makanan khas dengan cara penyajiannya.
Dalam kasus desa-desa mitra kami, mereka memiliki objek wisata yang layak jual, yaitu curug (air terjun) dan danau. Kelemahannya adalah kawasan objek wisata utama belum ditata secara baik. Beberapa penduduk mengoperasikan perahu yang disewakan kepada pengunjung untuk berkeliling danau. Saung-saung bambu juga tersedia di sekitar objek wisata, lengkap dengan warung yang menyediakan makanan dan minuman.
Namun, menu yang disediakan tidak asing bagi pengunjung: mi instan, bakso, dan minuman kemasan. Selain jenis makanan dan minuman yang dijual, pengelolaan sampah di sekitar objek wisata juga perlu diperbaiki. Hal yang menantang karena berkaitan dengan perubahan kebiasaan penduduk setempat dalam membuang sampah.
Desa wisata tidak harus seperti Sade di Lombok Tengah yang ‘sudah jadi’, tetapi bisa dimulai dari hal sederhana. Beberapa waktu yang lalu kami menemukan tempat makan dekat dengan sebuah embung (waduk), yang menyediakan menu nasi urap dan nasi pecel dengan berbagai sayuran lokal, wader goreng, dan disajikan dengan pincuk daun pisang. Minuman yang tersedia selain air kelapa muda, juga ramuan empon-empon hasil desa tersebut: jahe, sereh dan jeruk.
Di masa pandemi, sebagian pengunjung setianya adalah para "gowesers" alias komunitas pesepeda. Sambil beristirahat di saung bambu, para pesepeda itu menyantap makanan dan minuman khas desa, dengan pemandangan tepi danau. Akhir pekan merupakan momen ‘panen’ bagi pemilik warung, karena jumlah pengunjung yang datang berlipat. Pemilik warung mengatakan, ia mempekerjakan beberapa tetangga untuk melayani pengunjung di akhir pekan.
Hal lain yang sering menjadi keluhan pengunjung adalah fasilitas umum, terutama toilet. Kebersihan toilet adalah mutlak. Kebiasaan pengunjung dan penduduk desa yang berbeda dalam urusan toilet bisa melahirkan standar kebersihan yang berbeda.
Kami pernah membantu menyediakan toilet umum di sebuah desa, lengkap dengan tamannya. Selain membantu pembangunan fisiknya, kami juga memperkenalkan standar kebersihan yang layak dalam menggunakan toilet, kepada penduduknya.
Hal lain yang sering menjadi keluhan pengunjung adalah fasilitas umum, terutama toilet. Kebersihan toilet adalah mutlak.
Pengembangan desa wisata tidak selalu harus merujuk desa wisata peringkat atas sebagai tolok ukur. Memulai dari hal yang sederhana dan bebenah secara perlahan justru memiliki kelebihan. Paling tidak memberi waktu bagi warga desa belajar untuk menjadi tuan rumah yang baik, yang menyadari bahwa pengunjung menginginkan hal-hal yang berbeda dari kehidupan mereka sehari-hari.
Keunikan suasana dan tempat yang dimiliki desa perlu dilengkapi dengan perilaku tuan rumah yang mendukung. Kebiasaan yang seringkali tidak muluk-muluk, seperti mengelola sampah dengan baik serta menyediakan toilet yang layak. Seperti kata seorang kawan, “Desa itu sendiri sudah cantik, untuk menarik orang mengunjunginya, tidak perlu bersolek berlebihan, cukup bebersih diri”.
*SIWI NUGRAHENI, Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan