Selain ketidakpastian, pandemi juga meningkatkan urgensi transformasi sekaligus transisi. Transformasi makin diperlukan saat ketidakpastian meningkat. Transisi semakin urgen saat tak ada banyak pilihan.
Oleh
A Prasetyantoko, Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Proyek pembangunan jalur dan stasiun kereta ringan (LRT) di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN kita menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan berada pada kisaran 3,5 persen sampai 4 persen pada tahun ini.
Laporan rutin Bank Dunia Indonesia Economic Prospects edisi Desember 2021 mengambil judul ”A Green Horizon: Toward a High Growth and Low Carbon Economy”. Laporan ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 3,7 persen tahun ini dan menjadi 5,2 persen tahun depan, dengan catatan tidak ada perubahan penting.
Soal ketidakpastian akibat pandemi, kita semakin hari semakin mengerti. Selain ketidakpastian, pandemi juga meningkatkan urgensi transformasi sekaligus transisi. Transformasi justru semakin diperlukan saat terjadi peningkatan ketidakpastian. Sementara transisi semakin urgen saat tak ada banyak pilihan.
Pandemi telah membuat ruang gerak dan pilihan kita semakin sempit, tetapi dalam waktu bersamaan terbuka ruang berinovasi. Satu-satunya cara menghadapi ketidakpastian adalah menciptakan kepastian itu sendiri. Untuk itu, diperlukan perombakan mendasar di banyak bidang.
Satu-satunya cara menghadapi ketidakpastian adalah menciptakan kepastian itu sendiri.
Pemulihan ekonomi pascapandemi mempunyai dua tantangan sekaligus. Pertama, bagaimana pemulihan ekonomi diikuti dengan peningkatan produktivitas guna mencapai pertumbuhan optimal. Kedua, pemulihan ekonomi merupakan fase penting dalam transisi menuju perekonomian rendah karbon.
Pertanyaannya, bagaimana dua tujuan tersebut bisa dicapai, sementara ruang kita terasa semakin sempit akibat tak kunjung usainya tantangan pandemi.
Transformasi
Apakah perekonomian Indonesia masih mampu menjadi kekuatan ekonomi ke-7 dunia pada 2030 nanti? Firma konsultan global McKinsey dalam laporannya berjudul Ten Ideas to Unlock Indonesia’s Growth After Covid-19 menegaskan masih terbukanya peluang tersebut. Jika Indonesia bisa dengan cepat kembali pada pertumbuhan seperti sebelum pandemi, hal itu akan mengakselerasi perubahan posisi ekonomi Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita bisa kembali pada fase pertumbuhan sebelum pandemi karena hingga hari ini, bahkan, kita tidak tahu kapan akhir dari pandemi. Namun, situasi serupa dialami semua negara di dunia.
Dalam dasawarsa terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia berfluktuasi dalam kisaran 5 persen. Pernah mencapai angka tertinggi pada 2017 sebesar 6,3 persen dan kembali ke 5 persen pada 2019. Pada 2020, perekonomian mengalami kontraksi sebesar 2,2 persen, akan mulai memasuki fase pemulihan pada 2021 ini. Masalahnya, tahun ini dan bahkan tahun depan, pertumbuhan ekonomi masih belum mencapai 6 persen, sebagaimana disyaratkan McKinsey guna menjadi kekuatan ke-7 terbesar dunia pada 2030 nanti.
Akan tetapi, perlu diingat situasi pascapandemi serta tantangan ke depannya juga berbeda. Bisa jadi, pertumbuhan optimal memang bukan di angka 6-7 persen.
Akan tetapi, perlu diingat situasi pascapandemi serta tantangan ke depannya juga berbeda. Bisa jadi, pertumbuhan optimal memang bukan di angka 6-7 persen.
Meski begitu, rekomendasi McKinsey tetap saja relevan. Masalah pokok kita sebagai bangsa adalah bagaimana meningkatkan resiliensi terhadap pandemi, terutama melalui penguatan sistem kesehatan. Selanjutnya, bagaimana adopsi teknologi bisa dilakukan secara lebih cepat sehingga memunculkan berbagai peluang baru yang selama ini belum terlihat. Selain itu, bagaimana mengakselerasi upaya menuju fase pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan emisi rendah karbon.
Secara lebih teknis, tantangan perekonomian Indonesia adalah bagaimana mempercepat transformasi sektor pertanian melalui adopsi teknologi secara lebih sistematis. Transformasi sektoral juga harus dibarengi dengan penciptaan sistem mata rantai pasok yang lebih efisien, baik di tingkat domestik maupun regional. Dengan begitu, pertumbuhan sektoral akan memiliki nilai tambah lebih besar bagi perekonomian domestik. Produktivitas akan naik dan meski tingkat pertumbuhan lebih rendah, dampaknya akan lebih besar.
Kompas
Supriyanto
Sektor turisme, sama seperti di negara lain di seluruh dunia, menjadi sektor paling terdisrupsi akibat pandemi. Orientasi pada turis domestik menjadi salah satu jalan keluar. Karena itu, pembangunan infrastruktur fisik sampai ke daerah menjadi salah satu faktor penting yang mendukung upaya tersebut. Selain itu, juga inovasi dalam pengembangan destinasi wisata baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan leisure pascapandemi.
Intinya, pandemi harus menjadi momentum mempercepat transformasi di berbagai sektor melalui adopsi teknologi. Nilai tambah adopsi teknologi di negara berkembang, seperti Indonesia, harusnya lebih tinggi dibandingkan dengan adopsi teknologi di negara maju. Inilah satu satu peluang yang harus dimanfaatkan pada fase pemulihan ekonomi pascapandemi.
Transformasi ekonomi di negara berkembang juga akan menghasilkan kinerja lebih baik dibandingkan dengan negara maju karena ruang untuk tumbuh masih lebih lebar. Syaratnya dilakukan dalam kerangka transformasi struktural yang harus dikelola secara sistematis.
Bank Dunia memberi pesan serupa. Pandemi harus menjadi momentum melakukan berbagai tranformasi guna meningkatkan resiliensi terhadap pandemi sekaligus mengantisipasi transisi pada ekonomi rendah karbon.
Secara khusus perhatian diberikan pada proses transisi dan transformasi PT Perusahaan Listrik Negara sebagai penyedia utama energi nasional. Transisi PLN harus dilakukan secara hati-hati agar pengalihan pada sumber energi rendah karbon tidak menimbulkan gejolak. Lemahnya perencanaan dalam penghentian pengunaan batubara hanya akan menimbulkan kelangkaan sumber energi yang tentu kontraproduktif dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Transisi menuju pertumbuhan (tinggi) dengan emisi karbon rendah merupakan tantangan hampir semua negara di dunia. Kita tidak sendiri, baik dalam mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi (optimal) pascapandemi maupun menuju ekonomi berorientasi lingkungan. Karena itu, kecepatan melakukan konsolidasi menjadi kunci keberhasilan agar tetap mampu tumbuh lebih cepat dari negara lain sehingga potensi sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia dalam beberapa tahun ke depan dapat direalisasikan.
Untuk itu, Bank Dunia merekomendasikan beberapa langkah. Pertama, mempersiapkan diri lebih baik menghadapi pandemi yang akan berubah menjadi endemi. Kedua, menjaga fleksibilitas kebijakan fiskal dan moneter agar tetap mendorong pertumbuhan, tetapi mengantisipasi risiko stabilitas.
Ketiga, memastikan tersedianya ruang fiskal yang mencukupi, menyokong upaya mitigasi pandemi, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Keempat, melanjutkan reformasi struktural menuju pertumbuhan ekonomi inklusif dan berorientasi lingkungan.
Pandemi telah membuka peluang lebih besar dalam melakukan transformasi serta mengakselerasi proses transisi menuju perekonomian berkelanjutan.