UMKM dan Kendala Pembiayaan
Banyak usaha mikro-kecil yang belum terjangkau pembiayaan lembaga formal. Karena kemampuan APBN terbatas, perlu dibangun infrastruktur informasi agar usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi layak kredit.

Mirza Adityaswara
Topik tentang usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM selalu menjadi isu menarik. Apalagi untuk politisi, UMKM pastilah jadi topik primadona karena disenangi oleh para konstituen.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor UMKM menyumbang sekitar 60 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Akan tetapi, jika dilihat dari data perbankan, kredit UMKM hanya berjumlah sekitar Rp 1.000 triliun atau 20 persen dari total kredit perbankan.
Di dalam sistem pendanaan di Indonesia, perbankan mengambil peran yang besar, yaitu 77 persen. Sisanya adalah dana pensiun, asuransi, lembaga pembiayaan, koperasi, dan lainnya. Meski demikian, perbankan bukan sumber pendanaan terbesar karena komponen pendanaan dari luar negeri masih cukup signifikan.
Berbeda dengan banyak negara lain, kredit perbankan di Indonesia hanya 39 persen PDB. Tampaknya bank mengalami kesulitan menyalurkan kredit karena kurangnya informasi debitor yang layak dibiayai. Karena porsi UMKM hanya 20 persen dari total kredit, maka kredit UMKM hanya berkisar 8 persen PDB.
Jika betul UMKM menyumbang sekitar 60 persen PDB, sedangkan kredit UMKM hanya berkisar 8 persen PDB, apakah artinya sebagian besar UMKM didanai oleh modal sendiri ?
Tampaknya demikian karena sebagian besar pelaku UMKM masih berskala mikro dengan produktivitas rendah serta ketiadaan kolateral. Akibatnya, perbankan tidak berminat membiayai.
Jika betul UMKM menyumbang sekitar 60 persen PDB, sedangkan kredit UMKM hanya berkisar 8 persen PDB, apakah artinya sebagian besar UMKM didanai oleh modal sendiri ?
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F3b95da9c-8f20-4617-8fed-81b4a357c334_jpg.jpg)
Deretan kain Nusantara dipamerkan dalam Festival Inovasi UMKM, yang merupakan rangkaian Festival Kota Lama Semarang 2021, di Gedung Soesmans Kantoor, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (18/9/2021). Lantaran masih dalam situasi pandemi Covid-19, sebagian besar acara Festival Kota Lama Semarang, 16-26 September 2021, dilangsungkan secara virtual.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2019 yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), 64,6 juta usaha mikro menyumbang PDB sebesar Rp 5.913 triliun. Ini setara dengan 37 persen PDB tahun 2019.
Adapun usaha menengah berjumlah hanya 66.000 unit dan menyumbang 14 persen PDB. Usaha kecil jumlahnya lebih banyak, yaitu 783.000 unit, menyumbang 9 persen PDB.
Peranan penting diambil oleh usaha besar, jumlahnya hanya 5.550 unit, tetapi menyumbang 37 persen PDB. Artinya, kontribusi usaha besar sama dengan usaha mikro, tetapi produktivitas usaha besar jauh lebih tinggi yang ditunjukkan oleh sumbangan PDB per unit usaha.
Apakah mungkin kita membesarkan usaha kecil dan mikro tanpa keterkaitan rantai produksi dan perdagangan dengan usaha besar dan menengah? Rasanya tidak mungkin.
Apakah mungkin kita membesarkan usaha kecil dan mikro tanpa keterkaitan rantai produksi dan perdagangan dengan usaha besar dan menengah? Rasanya tidak mungkin.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi, Perbankan, dan Kredit Bermasalah
Jika kita ingin memperbesar peran kredit UMKM di dalam portofolio kredit perbankan dari saat ini kewajiban 20 persen menjadi 30 persen, yang harus dibangun adalah ekosistem usaha agar kegiatan ekonomi sektor usaha menengah-besar dan usaha mikro-kecil dapat tumbuh dengan sehat. Usaha mikro kecil harus dibuat menjadi layak kredit.
Ini tentu perlu dukungan pemerintah. Jangan lagi dunia usaha diganggu dan dibebani biaya tidak resmi. Regulator pun harus adil dan berimbang, baik itu regulator sektor keuangan maupun regulator sektor riil, misalnya Komite Pengawas Persaingan Usaha.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2F54101624-9ef5-4629-a8cd-3ae1e79d56a7_jpg.jpg)
Bros berbahan kulit ditawarkan oleh salah satu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berpameran di Jak Preneur Goes To Mall yang berlangsung di pusat perbelanjaan Gandaria City, Jakarta Selatan, Jumat (12/11/2021). Pameran hasil kolaborasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama pusat perbelanjaan modern ini dalam rangka mendukung pengembangan kewirausahaan di Jakarta.
Praktik perbankan yang sehat adalah memberikan kredit dengan dana perbankan sendiri, ada jaminan yang cukup, usaha debitor berjalan baik, utang nasabah dibayar lancar. Jaminan yang cukup bisa diperoleh dari aset tetap atau aset usaha yang dijalankan oleh debitor (misalnya persediaan barang) atau ada jaminan dari pihak lain.
Tak hanya bersandar pada pemerintah
Mengembangkan sektor kredit usaha mikro-kecil pun demikian. Pemerintah membantu pendanaan dan penjaminan. Sudah sekian tahun pemerintah secara luar biasa memberikan subsidi bunga kredit dan penjaminan kredit kepada UKM. Ada 5 jenis bantuan pemerintah kepada UMKM: 1) subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR); 2) subsidi bunga non-KUR; 3) penjaminan kredit UMKM; 4) kredit ultra mikro (UMi); dan 5) hibah BPUM (Banpres Produktif Usaha Mikro).

Didie SW
Pada 2015, pemerintah menyalurkan KUR lewat perbankan Rp 23 triliun. Nilai ini terus meningkat. Pada 2019 sudah mencapai Rp 140 triliun. Di masa pandemi, per Oktober 2021 penyaluran KUR bahkan mencapai Rp 210 triliun. Subsidi bunga KUR yang diberikan pemerintah pada 2015 bernilai Rp 39 miliar. Pada masa pandemi 2020-2021 sudah mencapai Rp 13,7 triliun per tahun dengan jumlah debitor sekitar 5,6 juta.
Penerima subsidi bunga non-KUR ada sekitar 7,2 juta debitor dengan jumlah Rp 1,7 triliun. Kredit ultra mikro penyalurannya mendekati Rp 17 triliun dengan jumlah debitor sekitar 5 juta. Penerima hibah BPUM ada 12.8 juta usaha mikro. Di luar hibah BPUM, jika kita jumlahkan, ada sekitar 17,8 juta debitor penerima subsidi kredit mikro, padahal jumlah pelaku usaha mikro ada 64.6 juta usaha mikro.
Hal ini kembali membuktikan bahwa ada banyak sekali usaha mikro yang belum terjangkau oleh pembiayaan lembaga formal. Akhirnya, mereka harus memakai modal sendiri atau pergi ke rentenir dan pinjaman daring (kerap disebut pinjol) ilegal
Karena keterbatasan APBN, tidak bisa kredit usaha mikro dan kecil ini bertumpu hanya pada dana pemerintah. Agar usaha mikro kecil layak kredit, infrastruktur informasi harus terus dibangun sehingga data tersedia bagi bank dan nonbank yang minat masuk ke bisnis kredit UMKM. Sistem Informasi Layanan Keuangan (SLIK) yang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus terus dikembangkanvsehingga dapat menjangkau informasi debitor nonbank, seperti nasabah asuransi, sekuritas, dan layanan teknologi finansial.
Agar usaha mikro kecil layak kredit, infrastruktur informasi harus terus dibangun sehingga data tersedia bagi bank dan nonbank yang minat masuk ke bisnis kredit UMKM.
Aktivitas untuk memasukkan semakin banyak usaha mikro-kecil ke dalam sistem pembayaran nasional QRIS harus terus dipacu karena dari situ dapat diperoleh data penjualan sektor usaha ini. Sangat bermanfaat bagi kreditor jika data pembayaran QRIS yang dikelola Bank Indonesia dapat terintegrasi dengan data SLIK yang dikelola Otoritas Jasa Keuangan.
Baca juga: Restrukturisasi Kredit dan Likuiditas
Informasi data jaminan juga harus dikembangkan sehingga mudah diakses oleh lembaga keuangan. Peran penting harus dijalankan oleh Badan Pertanahan dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai otoritas yang mengadministrasikan jaminan tanah dan jaminan aset bergerak.
Agar bank swasta dan nonbank berminat masuk ke bisnis kredit usaha mikro-kecil, harus ada margin keuntungan. Jika harga kredit usaha mikro-kecil terlalu tinggi, debitor kesulitan. Namun, jika harga kredit terlalu rendah, kreditor tidak berminat masuk sehingga usaha mikro-kecil harus bergantung kepada dana subsidi APBN, padahal dana pemerintah terbatas.
Contohnya, kreditor mikro terbesar di Indonesia, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kredit mikro BRI dapat tumbuh 15 persen pada September 2021 di masa pandemi, tetapi yang tumbuh sangat tinggi adalah KUR yang bunganya disubsidi pemerintah. KUR tumbuh 75 persen pada September 2021, sedangkan kredit KUPEDES BRI turun 9 persen.
Jika kredit mikro BRI saja kalah dari KUR, bank lain danBPR pasti tidak mampu bersaing dengan KUR. Di satu sisi, hal ini menunjukkan peran penting KUR, tetapi di sisi lain memperlihatkan bahwa harga kredit subsidi telah membuat bank dan nonbank tidak tertarik masuk ke bisnis kredit usaha mikro dan kecil.
Akhirnya ini akan menyulitkan pemerintah, karena kekuatan dana APBN tidak akan mampu mendanai seluruh usaha mikro, kecil, dan menengah.
Mirza Adityaswara, Ekonom & Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI)