Luhut Binsar Pandjaitan: Koordinasi Tidak Bisa Kaku
Pemerintah menjemput bola untuk meraih investasi. Hambatan investasi juga berupaya diselesaikan. Sementara di sektor maritim, berbagai persoalan menanti untuk dituntaskan.
[caption id="attachment_10380733" align="alignnone" width="720"]
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan[/caption]
Ruang lingkup Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada Kabinet Kerja 2014-2019 diperluas menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Kabinet Indonesia Maju 2019-2024.
Untuk itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (72) menyiapkan sejumlah langkah untuk meningkatkan investasi, termasuk menjemput bola kepada investor. Hambatan investasi diurai melalui regulasi dan koordinasi terpadu.
Di sisi lain, penguatan sektor kemaritiman dilanjutkan. Sejumlah tantangan, antara lain pengelolaan sumber daya, diplomasi maritim, dan pemberantasan perikanan ilegal merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Luhut Binsar Pandjaitan di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, pekan lalu.
Ruang lingkup kerja kementerian diperluas. Apakah ada tugas khusus dari Presiden Joko Widodo?
Presiden ingin lebih fokus terhadap investasi karena untuk mengurangi defisit transaksi berjalan ekspor kita harus meningkat. Saya enggak tahu pertimbangan presiden (memilih saya), mungkin selama ini saya banyak mengurusi investasi dari China dan (investasi) kelihatan berjalan. Dari yang semula (mengurus investasi) China, sekarang jadi mengurus semua. Investasi luar biasa perubahannya karena kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia semakin baik.
Apa saja ruang lingkup investasi?
Semua (urusan) investasi di kami. Akan tetapi, tidak perlu juga rebutan (dengan kementerian/instansi lain) karena terlalu banyak yang harus dikerjakan. Negara ini besar.

Realisasi Investasi 2014-triwulan II-2019 (Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal)
Bagaimana soal pembagian tugas dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)?
Tidak ada masalah. BKPM tinggal eksekusi (investasi) yang saya dorong. Mungkin karena senioritas saya, pengalaman saya, saya diberi (tugas koordinasi investasi) agar lebih gampang. Bagaimanapun, rapat perlu senioritas, maka dibuatlah kementerian koordinator.
Pada periode sebelumnya, Presiden kurang puas dengan capaian investasi. Sejauh ini, apa hambatan investasi?
Kita sendiri. Birokrasi kita, koordinasi yang enggak mudah, dan peraturan. Misalnya, penggunaan B30 (30 persen biodiesel dalam 1 liter solar) saya bikin pada 2016, sudah ditandatangani peraturan menterinya oleh Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), tetapi enggak dijalankan. Padahal, kalau dijalankan, dari hasil hitungan, kita bisa menghemat 10,8 miliar dollar AS.
Contoh lain, (pengelolaan) Natuna itu masalahnya sederhana. Kita harus mendirikan pangkalan nelayan. Itu tugas Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sudah saya katakan itu tiga tahun lalu, sudah dikerjakan, tetapi pengerjaannya tidak benar sehingga tidak bisa digunakan. Padahal, rencana awal, di situ ada pangkalan nelayan, gudang pendingin ikan, tempat penginapan nelayan, listrik, dan pabrik pengolahan untuk selanjutnya (komoditas) bisa diekspor. Akhirnya, nelayan dari pantai utara Jawa yang sudah mau (pindah ke Natuna) belum jadi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F8b491d5b-9ef2-480f-a306-5e093b6d2709_jpeg.jpg)
Tokoh nelayan Natuna, Rodhial Huda, di rumahnya di Natuna, Kepulauan Riau, saat menunjukkan lokasi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dinamakan Laut Natuna Utara, Kamis (9/1/2020). Ia meminta pemerintah segera membentuk kesatuan penjaga pantai untuk menindak kapal asing pencuri ikan.
Lalu, pembangunan pangkalan militer laut di Natuna juga enggak jadi-jadi, (pengerjaan) hanya setengah-setengah. Lebih parah lagi, pangkalan militer dan pangkalan nelayan berdekatan. Akhirnya tidak efisien. Sekarang kita perbaiki.
Natuna itu masalahnya sederhana.
Orang sering bilang, saya ini menteri segala urusan, karena saya mengundang kementerian yang di luar urusan saya, misalnya perindustrian, perdagangan, keuangan, dan pemda. Akan tetapi, proyek pembangunan butuh (koordinasi) lintas kementerian. Koordinasi harus terpadu, tidak bisa kaku hanya (sesuai) portofolio saja. Berpuluh-puluh tahun di republik ini terjadi masalah, ya, karena koordinasi kaku. Makanya, saya minta kepada Presiden agar Kementerian PUPR dan Lingkungan Hidup agar masuk ke (lingkup kementerian) kami supaya terintegrasi.
Bagaimana upaya mendorong investasi?
Presiden semakin berpengalaman memilih orang (menteri). Pemilihan anggota tim kini semakin baik sehingga koordinasi dengan tim kerja sudah jauh lebih mudah.
Dari sisi peraturan, sudah ada upaya membuat omnibus law, sekarang tinggal koordinasi. Upaya mendorong investasi dengan omnibus law sebagai salah satu cara harmonisasi peraturan perundang-undangan. Saat ini, omnibus law (ketenagakerjaan dan perpajakan) hampir final. Ke depan, ada lagi omnibus law untuk Badan Keamanan Laut. Dengan demikian, semua hambatan investasi dapat dikurangi.

Investasi asing dibuat terpusat karena lebih mudah. China, misalnya, sudah investasi di Indonesia hampir 20 miliar dollar AS selama lima tahun terakhir. Ada lima perusahaan lagi yang berencana masuk. Hingga 2024, nilai investasi China bisa mendekati 50 miliar dollar AS. Negara-negara lain siap, seperti Uni Emirat Arab, berencana investasi 20 miliar dollar AS, Bank Pembangunan Amerika DFC, dan banyak lagi.
Ke depan, proyek-proyek investasi kita jangan government guarantee supaya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) kita tetap di bawah 30 persen. Pemerintah hanya sebagai fasilitator, BUMN silakan garap.
Di era sebelumnya, sektor kemaritiman didorong dengan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Bagaimana sekarang?
Sama, tetap jalan. Kami sekarang mau membuat Kebijakan Kelautan Indonesia. Sekarang sedang dalam tahap finalisasi, di antaranya mengatur diplomasi maritim. Persoalan Natuna juga terkait dengan diplomasi maritim. Orang teriak kita enggak mau perang karena investasi. Enggak ada urusan investasi dengan kedaulatan. Masalahnya, kamu enggak hadir di situ (Natuna) berpuluh-puluh tahun. Musim menangkap ikan hanya beberapa bulan. Saat musimnya, kita enggak ada, orang lain yang datang. Kalau kamu hadir terus di situ mungkin lain cerita. Pengelolaan Natuna kita perbaiki.
Masih banyak zona lain yang rawan pencurian. Bagaimana antisipasinya?
Coast guard harus kita perkuat. Bakamla (Badan Keamanan Laut) harus diperkuat menjadi coast guard. Selama ini, pengawasan ada di 6 sampai 7 kementerian/instansi, akan kita satukan di Bakamla. Kapal-kapal kita tambah, termasuk ada kapal ocean going (pelayaran samudra).

Target prioritas dalam lima tahun?
Di aspek kemaritiman, kami melanjutkan yang sudah dicapai lima tahun ini, baik pemetaan laut, perbatasaan laut, maupun perjanjian perbatasan yang belum selesai. Saya juga minta diplomasi maritim dan membuat pelabuhan dengan kedalaman 12-14 meter supaya kapal yang datang bisa lebih besar dan biaya lebih efisien.
Kami juga sedang menghitung berapa hub (pelabuhan titik kumpul) yang diperlukan. Hub sudah terlalu banyak. Studi Bappenas, jika direct call (ekspor rute langsung) ke negara tujuan hanya dibuat di beberapa pelabuhan, maka biaya logistik bisa turun 35 persen. Dari tonase kapal 33 juta Teus yang masuk ke Singapura, 17 juta Teus di antaranya dari Indonesia. Kalau kita bisa mengurangi biaya rute ke Singapura dan langsung ke Amerika Serikat, kenapa tidak? Kami mau buat hub di Medan, Jakarta, Surabaya, Bali, Makassar, dan Manado. Harus terlaksana tahun ini.
Di aspek investasi, semua berjalan paralel. Peluang dari sumber daya alam saja banyak. Morowali, dari bijih nikel sampai baterai litium sudah satu garapan sendiri. Sedang kita hitung, tahun ini atau tahun depan kita stop nikel thin kalau sudah ada produk turunannya. Arahnya, investor saja yang ke sini. Memang tidak semua barang jadi kita buat disini, ada juga bagian tertentu kita ekspor, tetapi ekspor sudah harus bernilai tambah. Itu hak kita untuk memberikan kesejahteraan bagi Indonesia.
Saya kira (nilai investasi) mendekati 200 miliar dollar AS, bahkan lebih dalam empat tahun ke depan. Orang sudah percaya kita, aturan omnibus law jalan, maka trust jalan. Dulu investor kesulitan cari saya, menteri, karena birokrasi. Sekarang, saya yang panggil investor, menanyakan apa yang harus saya buat supaya investasi jalan. Pemerintah harus jemput bola.
Orang sudah percaya kita, aturan omnibus law jalan, maka trust jalan.
Di periode sebelumnya, sering terjadi kementerian koordinator tidak sinkron dengan kementerian teknis terkait kebijakan. Ke depan, bagaimana mekanismenya jika ada yang tidak sinkron?
Gaduh itu karena tidak paham dan ego, padahal program bisa jalan kalau tidak ego. Arahnya tetap satu pintu karena saya bilang ke presiden. Kalau semua ini suka-sukanya sendiri, ya, kapan mau selesai. Tidak mungkin semuanya harus match, tetapi harus ada loyalitas juga. Kementerian enggak boleh melenceng dari maunya Presiden. Menteri koordinator hanya menerjemahkan maunya Presiden. Tugas saya hanya dirigen, tetapi kalau tidak didengarkan dan (menteri) tidak suka, lapor saja sama Presiden. Kalau ada menteri melenceng, saya sampaikan bahwa saya akan bilang kepada Presiden. Sampai hari ini enggak ada (menteri) yang berani. (BM Lukita Grahadyarini)