Hilang
Hingga malam menjelang, Nirmala tak kunjung kembali. Suami dan anak-anaknya mulai resah dan bertanya ke sana kemari.

Didie SW
Sudah 14 hari lebih Nirmala hilang. Entah ke mana perginya perempuan itu, setelah dini hari pergi bersama tukang ojek kampung langganannya. Tidak seperti hari-hari biasanya saat hendak pergi berdagang sayuran, pagi itu ia mengenakan baju yang rapi bahkan terkesan sangat berlebihan untuk pergi berdagang. Ia pun memoleskan pupur dan gincu pada wajah dan bibirnya. Bakul sayur yang isinya sayuran kering sisa kemarin, ia geletakkan sembarangan di ruang tengah. Tanpa pamit kepada suami dan ketiga anaknya, ia pergi begitu saja, saat semua orang rumah masih terlelap.
Tidak ada yang sadar perginya perempuan itu. Semua orang rumah berpikir, ia pergi berkeliling menjajakan sayuran seperti biasanya. Namun, hingga malam menjelang, Nirmala tak kunjung kembali. Suami dan anak-anaknya mulai resah dan bertanya ke sana kemari. Telepon genggam yang ia bawa tidak aktif, SMS dan chat bahkan tidak dibalas.
Pada hari kepergiannya, ada desas-desus Jahidin si tukang ojek membawanya kabur. Hal ini dikarenakan pada pagi buta, beberapa orang melihat Jahidin membawanya pergi. Orang-orang pun mulai menaruh curiga pada Jahidin, begitu pun dengan Harun suami Nirmala. Namun, Jahidin bersikukuh telah mengantarnya pulang.
“Sumpah! Saya sudah membawanya pulang, saya hanya mengantarnya sebentar,” jawab Jahidin.
“Kau mengantarnya kemana?” tanya Harun.
“Aku mengantarnya ke dukun ujung Kulon di desa tetangga. Dia bilang hendak mencari dukun karena pusing dengan utang-utangnya yang sudah menggunung, sedangkan dagangannya tidak laku.”
Memang akhir-akhir ini sayuran Nirmala tidak terlalu laku. Sejak pandemi, orang-orang lebih suka membeli sayuran secara online yang langsung dikirim ke rumah untuk menghindari paparan Covid-19. Sedangkan, Nirmala masih bertahan dengan kebiasaan yang sama, yaitu menjajakan sayuran berkeliling ke setiap rumah. Orang-orang yang membeli sayurannya, hanya orang-orang yang merasa kasihan padanya.
Selain penjualan sayuran yang sepi, pekerjaan lain pun kian menurun. Pekerjaan serabutan yang biasa ia lakoni sudah semakin langka. Orang-orang berusaha bertahan hidup ditengah pandemi yang terus menghimpit perekonomian. Jangankan untuk memberi pekerjaan kepada orang lain, mereka juga banyak yang kehilangan pekerjaan.
Semakin hari, beban hidup Nirmala semakin berat. Biaya anak sekolah yang semakin ragam bentuknya, kebutuhan pangan yang terus naik, serta keinginan-keinginan yang menuntut pun, menjelma menjadi kebutuhan yang tidak bisa ia lewatkan. Semua membuatnya meminjam uang ke sana kemari dan akhirnya terjerat pinjaman online.

Didie SW
Pada awalnya, Nirmala meminjam tidak seberapa besar dengan jangka waktu satu bulan. Namun, baru satu minggu dari jangka waktu yang ditetapkan, ia terus ditagih utang dengan bunga yang tinggi. Ia dan keluarganya bahkan terus diteror. Semua kontak yang ada di telepon selulernya mendapat pesan dengan nada mengancam, jika Nirmala tidak segera melunasi utangnya. Nirmala begitu malu dan ketakutan karena ulah penagih utang itu. Ia pun akhirnya meminjam lagi ke pinjaman online yang lain dan kembali diteror dan diancam, begitu seterusnya hingga akhirnya ia seperti terjebak dalam lingkaran setan yang melilitnya.
“Memang benar, Kang, Mang Jahidin sudah membawa Nirma pulang sebelum Dzuhur, saya juga melihatnya.” kata Euis tetangganya.
“Iya, saya turunkan di beranda rumahmu persis, setelah itu saya langsung pergi dan saya tidak melihatnya lagi sejak itu.” tambah Jahidin.
Harun merasa berada dalam kebingungan. Pikirannya melayang-layang ke tempat yang jauh entah ke mana. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjadi suami yang baik, yang bahkan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Mungkin ia yang menyebabkan istrinya kesusahan dan kabur dari rumah. Hal ini membuatnya gundah, kemana ia harus mencari istrinya dan kepada siapa ia meminta bantuan.
Terbesit untuk meminta bantuan kepada Pak Lurah, orang yang selalu diandalkan di kampungnya jika terjadi sesuatu. Namun, lelaki tua itu tidak akan mungkin mau membantunya, terlebih lagi Harun juga enggan berbicara dengannya. Berpapasan dengannya saja, akan membuatnya naik darah, apalagi harus mencari Nirmala bersama-sama, hal yang sulit baginya.
Hubungan mereka yang tidak baik, bermula karena perlakuan Pak Lurah kepada Nirmala yang sering kali membuatnya cemburu. Ada-ada saja tingkah lelaki tua itu, terkadang ia duduk sangat dekat dengan istrinya. Beberapa kali bahkan ia melingkarkan tangannya ke pinggang Nirmala. Tanpa rasa malu dan segan kepada Harun, Pak Lurah sering sekali menggoda Nirmala di depan Harun.
Citra Pak Lurah di kampungnya memang sangat buruk. Ia terkenal sering menyewa pelacur berhari-hari di rumahnya untuk memuaskan nafsu birahinya. Sejak ditinggal mati oleh istrinya ia hidup sendirian sebagai tua bangka yang genit. Beberapa kali pula ia memanfaatkan janda-janda yang terlilit utang untuk di sewa di rumahnya. Desas-desus tingkah Pak Lurah itu bukan rahasia umum lagi bagi warga, namun Pak Lurah tetap menjadi pemimpin di kampungnya karena dianggap pintar dan sangat cepat dalam menyelesaikan masalah.
Konflik yang terjadi antara keluarga Harun dan Pak Lurah pun terus berlanjut, ketika Nirmala mendapat Bantuan Sosial pandemi dari pemerintah. Kala itu, ada seorang wartawan bertanya tentang dana BST kepada Nirmala. Nirmala jujur mengatakan bantuan dari pemerintah kerap kali dipotong untuk administrasi kelurahan. Tak jarang sebagai uang tanda terima kasih juga. Setiap warga yang mendapat dana bantuan harus menyetor kepada Pak Lurah.
Dengan kejadian tersebut, orang-orang mengatakan, Pak Lurah didenda bahkan sampai berjuta-juta. Entah itu benar atau tidak, namun, nama keluarga Nirmala akhirnya dihapus dari daftar penduduk miskin. Setiap kali ada dana bantuan dari pemerintah, Pak Lurah akan melewatkan keluarga Nirmala dalam survei penduduk miskin. Begitulah hingga akhirnya Nirmala tidak pernah mendapat bantuan lagi dari pemerintah.
“Kamu seharusnya tidak mengatakan apapun pada lelaki itu.” kata Harun kala itu.
“Memang iya kan setiap dana bantuan dari pemerintah, selalu berkurang setelah beberapa kali dipotong dari atas dan atasnya lagi, belum lagi kita juga harus memberi uang tanda terima kasih.” tegas Nirmala.
“Kita sudah dapat saja bersyukur, meski harus dipotong sana sini. Toh, akhirnya kita sama sekali tidak dapat sepeser pun.”
“Itu hak kita, Kang! Jika pemerintah memberi bantuan, dana yang harus kita terima harus sesuai yang diberikan pemerintah, bukan sesudah dipotong ini dan itu.”
“Sekarang kita bahkan tidak dapat sepeser pun, apakah masih layak dikatakan hak kita?” bentak Harun kesal.
Nirmala hanya menggelengkan kepala dan tetap teguh pada prinsipnya, meski akhirnya ia menyesalinya, karena keadaan ekonomi yang semakin terpuruk. Haruskah ia meminta maaf kepada Pak Lurah dan memohon untuk dicantumkan lagi pada daftar orang miskin ataukah ia harus tetap pada prinsipnya dan menjaga harga dirinya? Semua membuatnya kabur tak tergambar, terkadang harga diri tidak menjadi penting saat hidup sudah di ambang putus asa.
Minggu ke minggu, bulan ke bulan ia harus bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Suaminya yang hanya kuli bangunan, penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan anak sekolah. Di tengah pandemi yang terus mencekiknya, Nirmala bekerja apa saja yang ia dapatkan. Ia mulai berjualan sayuran berkeliling, menyapu halaman rumah orang, membuka jasa mencuci baju, terkadang ia juga jadi kuli angkat kayu saat ada yang menebang pohon dan lainya. Semua pekerjaan ia lakoni dengan sepenuh hati.
Baca juga : Partai Asu
Nirmala seorang pekerja keras, namun kehidupannya tetap tidak berubah. Ia tetap sengsara dengan keadaan ekonomi yang melilit hidupnya. Orang-orang bergosip apa yang terjadi kepadanya adalah sebuah karma, karena pada pernikahan dengan suami pertamanya dia memilih bercerai.
Nirmala pernah menikah dengan anak Pak Lurah. Namun, pernikahan itu akhirnya kandas setelah tahu suaminya menikah lagi tanpa izin, dengan perempuan lain. Saat itu suami pertamanya mengatakan ia harus menikahi perempuan itu karena tengah hamil. Karena tidak ingin dimadu Nirmala akhirnya memilih bercerai.
Sejak saat itulah, untuk menjaga harga dirinya yang terluka, ia berjanji akan terus membenci keluarga Pak Lurah, ditambah lagi perlakuan yang tidak senonoh kerap ia dapatkan dari mantan mertuanya. Namun, dendam sudah ia lupakan dan harga diri sudah tidak ada artinya baginya.
Sempurna setelah 30 hari, Nirmala mengetuk pintu rumahnya. Badannya sangat kurus, pipinya tirus dan wajahnya sangat pucat. Ia memberikan uang kepada suaminya untuk melunasi utang-utangnya. Kemudian ia menangis tersedu-sedu sendirian di kamarnya.
Siti Hajar sehari-hari bekerja sebagai staff accounting di salah satu perusahaan.