Partai Asu
Slamet alias Mamik di kampungku sangat terkenal karena sikapnya sangat ramah dan setiap hari bergaul dengan banyak kalangan, di banyak tempat.

Didie SW
Nama aslinya Slamet. Tetapi, seperti kebiasaan yang sudah turun-temurun di tengah masyarakat Jawa, semua orang yang namanya Slamet pasti alias Mamik. Masyarakat pun lebih suka memanggilnya Mamik daripada Slamet.
Begitulah. Slamet alias Mamik di kampungku sangat terkenal karena sikapnya sangat ramah dan setiap hari bergaul dengan banyak kalangan di banyak tempat. Sebagai putra tunggal, ayahnya seorang pensiunan pegawai negeri, Mamik hidup dengan uang pensiun ayahnya. Mungkin karena itu, tiap hari Mamik bisa selalu ngobrol dengan teman-temannya dari tempat satu ke tempat lain.
Semua orang tidak heran jika melihat Mamik sedang ngobrol di pojok perempatan dengan teman-teman pada jam tujuh pagi, tapi pada jam delapan berikutnya sudah terlihat ngobrol di depan warung kopi, lalu pada jam sembilan berikutnya nampak ngobrol dengan teman-temannya di depan pasar, kemudian setelah Lohor terlihat nongkrong di warung nasi pecel di depan masjid. Sejak habis Maghrib, Mamik juga biasa nongkrong di depan terminal, tapi setiap habis Isya sudah terlihat nongkrong di depan balai desa, menjelang tengah malam tampak ngobrol dengan satpam di depan kantor kecamatan.
Mobilitas Mamik didukung dengan sepeda motor 4 tak generasi pertama yang dulu dibeli ayahnya saat masih bujangan. Motor butut itu pun sudah sangat terkenal sehingga di mana ada motor butut itu di situ pasti ada Mamik.
Sejak dulu, kunci kontak motor butut itu selalu menancap di lubangnya, meskipun sedang diparkir di pinggir jalan dan tidak ada yang menjaganya, sedangkan Mamik pun tak terlihat di sekitarnya. Sebab, mustahil ada yang berani mencuri motor butut itu. Begitu keyakinan Mamik, begitu pula keyakinan masyarakat. Ya, bagaimana mungkin pencuri berani menyikat motor butut itu kalau pemiliknya adalah tokoh preman paling ditakuti?
Mamik memang terkenal sebagai tokoh preman paling ditakuti, padahal tak pernah berkelahi. Mamik juga tak pernah membawa senjata tajam. Mamik ditakuti karena ramah dan punya teman di mana-mana. Tapi, tetangga dekatnya menduga Mamik ditakuti karena selalu memakai gelang akar hitam. Konon, gelang akar hitam itu warisan Ken Arok. Menurut cerita yang pernah didengar tetangga dekatnya, saat menemukan gelang akar hitam itu, Mamik sedang memancing di pantai. Ketika gelang akar hitam itu kepancing, tiba-tiba bisa bersuara seperti manusia: Aku ini milik Ken Arok. Siapa yang menemukanku akan menjadi raja. Sejak saat itu, Mamik selalu memakai gelang akar hitam itu.
Namun, cerita itu di mata sebagian orang dianggap omong kosong atau klenik, seperti halnya cerita tentang benda-benda lain yang dikeramatkan yang konon berisi kekuatan gaib yang hebat, yang dipercaya bisa menyembuhkan macam-macam penyakit, menumpas kejahatan, mencegah bencana, meraup kekayaan, kekuasaan dan lain sebagainya.
Anehnya, mereka yang tidak mau memercayai klenik juga menghormati Mamik dan ingin memanfaatkannya untuk kepentingan politik.
Seperti Jolodi, sebagai mantan kades, meskipun tak percaya bahwa gelang akar hitam milik Mamik itu benda istimewa, justru meminta Mamik menjadi ketua tim suksesnya nanti ketika hendak bertarung di pemilu legislatif mendatang.
Jolodi yakin, jika Mamik mendukungnya, pasti dirinya akan berhasil mendapatkan kursi di DPRD. Setelah itu, dirinya akan bertarung di pilkada dan berharap terpilih sebagai bupati. Setelah itu dirinya akan bertarung di pilgub dan berharap akan terpilih menjadi gubernur.
Ternyata, karena didukung Mamik, Jolodi berhasil mendapatkan kursi di DPRD. Lalu ketika bertarung di pemilihan bupati berhasil terpilih menjadi bupati. Tapi Jolodi urung bertarung di pilgub, karena ingin bertarung di pilpres agar bisa terpilih menjadi presiden. Kalau tidak ada partai yang bersedia mengusungnya sebagai capres, Jolodi akan membentuk partai baru sebagai kendaraan politiknya menuju pilpres dan meminta Mamik untuk menjadi ketua umum partai baru.
”Apa nama partai baru yang akan kamu bentuk?” tanya Mamik saat diajak Jolodi diskusi politik.
”Namanya Partai Asu.”
”Mengapa harus Partai Asu?”
”Karena semakin banyak orang yang senang memakai kaus bergambar lima anjing dengan tulisan Asu Kabeh. Percayalah, Partai Asu akan langsung didukung mayoritas warga di negara ini sehingga bisa menjadi partai terbesar. Di ranah politik, tak ada yang mustahil.”
Mamik menerawang dengan dahi berkerut, teringat fenomena aneh yang belakangan makin masif. Yakni semakin banyak orang tua, muda, pria, wanita yang senang memakai kaus bergambar lima anjing dengan tulisan Asu Kabeh. Mamik pernah bertanya kepada beberapa orang mengapa senang memakai kaus begitu? Mereka menjawab bukan dengan kata-kata, melainkan dengan tertawa. Jawaban mereka sudah jelas: Mereka benar-benar gembira bisa memakai kaus begitu. Jadi, kalau misalnya nanti ada Partai Asu, mereka pasti dengan senang hati akan mendukung.
Jolodi kemudian mengundang sejumlah jurnalis yang sudah dianggap sebagai sahabat. Jolodi meminta mereka memviralkan rencana membentuk partai baru bernama Partai Asu. Mereka ternyata sangat mendukung rencana tersebut karena mereka sudah lama mengoleksi kaus bergambar lima anjing dengan tulisan Asu Kabeh.
Hari-hari berikutnya, semakin banyak media memberitakan rencana pembentukan Partai Asu. Berita itu bagai bola salju, terus menggelinding dan membesar kemudian pecah berhamburan ke semua penjuru. Nyaris semua warga negara mengikuti berita itu dan langsung ingin mendukung Partai Asu.
Bahkan, banyak pengurus cabang partai-partai yang berkoalisi dan sedang berkuasa sekarang ikut-ikutan menyatakan mendukung Partai Asu dengan memakai kaus bergambar lima anjing dengan tulisan Asu Kabeh.
Betul-betul luar biasa. Partai Asu pun dideklarasikan serentak di semua provinsi dan semua kabupaten, yang diwarnai eksodus besar-besaran kalangan elite politik pusat dan daerah dari partai masing-masing yang ingin bergabung dan berikrar akan memenangkan Partai Asu pada pemilu mendatang.

Didie SW
Mamik pun menjadi Ketua Umum Partai Asu. Mamik langsung mengumumkan bahwa Partai Asu akan mengusung Jolodi sebagai capres di pilpres mendatang. Pengumuman itu bagaikan gempa politik yang mahadahsyat. Serta-merta semua partai menyatakan ingin berkoalisi dengan Partai Asu sehingga Jolodi menjadi capres tunggal. Karena regulasi tidak mengenal capres tunggal di pilpres, langsung direvisi.
Apa sih sulitnya merevisi regulasi jika semua kekuatan politik sudah bersatu menghendaki?
Mamik betul-betul sangat terkenal dan dihormati semua elite politik dan warga negara. Bahkan, Jolodi yang dinobatkan sebagai capres pun mengaku hanya sebagai petugas partai yang akan patuh kepada Mamik.
”Untuk apa banyak partai, kalau kita semua sudah sepakat bersatu mendukung Partai Asu?” Itulah pernyataan politik yang disampaikan dalam pidato politik rutin tiap awal bulan oleh Mamik, yang disiarkan langsung di semua media.
Pidato politik itu bagai sihir. Semua orang terpesona. Semua partai lain langsung dibubarkan karena semua elite politik sepakat hanya ada Partai Asu. Semua warga negara pun semakin kompak menjadi anggota Partai Asu.
Mamik menyampaikan pidato politik lagi di bulan berikutnya yang disiarkan langsung oleh semua media: ”Persatuan dan kesatuan politik adalah kekuatan bangsa yang tak akan bisa dikalahkan. Kita akan menjadi bangsa besar yang kuat karena sudah bersatu dalam Partai Asu.”
Di tempat masing-masing, semua yang mendengarkan pidato politik langsung berseru dengan mengepalkan tangan ke atas. ”Hidup Partai Asu. Asu kabeh! Merdeka!”
Betul-betul bagai sihir. Semua terpesona. Pidato politik itu tiba-tiba memunculkan spirit baru dalam berbangsa dan bernegara. Semua memiliki rasa setia kawan yang sama. Yang punya banyak uang segera membagikannya kepada yang membutuhkan. Semua yang punya banyak makanan segera mengajak banyak orang menikmatinya bersama.
Spirit baru itu membuat semua bank diserbu nasabah yang hendak mencairkan simpanannya untuk dibagikan kepada banyak orang. Perusahaan transportasi menggratiskan semua armada kendaraan kepada semua yang memerlukannya. Yang bermobil dengan senang hati mencari warga yang butuh tumpangan gratis.
Di bulan berikutnya, Mamik menyampaikan pidato politik lagi: ”Selama ini bisnis yang hanya mementingkan laba terbukti memperlemah ekonomi kita. Negara kita pun makin terbelit banyak utang. Semakin banyak usaha berjalan dengan modal asing. Saatnya bisnis macam itu dihentikan semua. Kita harus betul-betul seperti asu kabeh. Merdeka!”
Betul-betul bagai sihir. Pidato politik itu membuat semua yang digaji oleh negara menolak menerima gaji mereka. Bekerja tanpa gaji untuk bangsa dan negara dianggap sebagai kewajiban bagi semua warga, tapi semua kebutuhan hidup mereka harus diurus pemerintah.
Semua pekerja swasta pun membagikan upahnya kepada mereka yang tidak bekerja. Jangan sampai ada warga yang sengsara hanya gara-gara tidak punya uang. Semua ingin bahagia sejahtera bersama. Tak akan ada yang bisa bahagia jika masih ada yang sengsara.
Baca juga: Api Menari di Belantara
Mamik berpidato lagi, menjelang tahapan-tahapan menuju pileg dan pilpres sesuai jadwal yang sudah ditentukan oleh regulasi yang berlaku. ”Untuk apa repot-repot melaksanakan tahapan-tahapan seperti yang pernah berlangsung menuju pileg dan pilpres, kalau hanya ada Partai Asu dan satu capres, yakni Bapak Jolodi? Pidato politik itu memang hanya pertanyaan tanpa disertai jawaban. Mamik seperti sengaja menyerahkan urusan politik kepada semua warga negara.
Setelah mendengarkan pidato politik yang hanya berupa pertanyaan itu, banyak warga negara dan elite politik menggelar diskusi di tempat masing-masing.
”Sebaiknya tak perlu ada pileg dan pilpres. Jolodi langsung dilantik menjadi kepala negara.”
”Setelah itu, kepala negara punya kewenangan penuh memilih wakilnya, menteri-menterinya, gubernur, bupati, dan wali kota dan sebagainya?”
”Memilih wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan lain-lain, berdasarkan prestasi akademik dan prestasi kinerja dan sanggup kerja keras demi bangsa dan negara, bisakah?”
”Tak ada yang tak bisa, kalau semangatnya betul-betul semangat asu. Jujur dan dapat dipercaya, meskipun tanpa gaji, karena semua kebutuhan hidup diurus pemerintah.”
”Pokoknya semua bisa beres jika semua pihak betul-betul seperti yang tertulis di kaus yang kita pakai: Asu Kabeh.”
”Hidup Partai Asu!”
”Merdeka!”
Griya Pena Kudus, 2021
***
Maria M Bhoernomo, lahir di Kudus, 23 Oktober 1962. Banyak menulis prosa, puisi, dan esai berbahasa Indonesia dan Jawa yang dipublikasikan di sejumlah media.