Leak Bukal
Untuk mengisi waktu di pagi buta itu, Dadong biasanya berkebun. Menanam pohon-pohon pisang. Memisahkan tunas-tunas kecil pisang dari batang induknya.

Supriyanto
Matahari belum sepenuhnya terbit. Cahayanya menyembul malu-malu dari bilik peraduan. Burung-burung terlalu enggan menyaringkan bunyi, dan ayam jago pun tampaknya masih pulas menelungkup paruh.
Namun, sudah terlihat Dadong Ririg terbangun, keluar gubuknya dan mulai mencangkul tanah di belakang gubuk, berteman cahaya petromaks. Dadong Ririg memang selalu bangun terlampau pagi. Mungkin faktor usia menyebabkan matanya sudah tak bisa dipejam berlama-lama, meski sang kala belum beranjak subuh.
Untuk mengisi waktu di pagi buta itu, Dadong biasanya berkebun. Menanam pohon-pohon pisang. Memisahkan tunas-tunas kecil pisang dari batang induknya. Hingga lambat laun pohon-pohon pisang itu rimbun menutupi belakang gubuk. Baginya, pohon pisang banyak gunanya. Selain buah yang bisa dimakan, juga bisa digunakan untuk membuat banten-sesajen hari raya.
Bak semut yang mencium tumpahan gula, bukal atau kelelawar pun berdatangan, mengisi kekosongan selongsong daun-daun pisang muda. Menjadikan daun-daun pisang itu sebagai sarang yang melindungi mereka dari sengat matahari.
Mereka akan beramai-ramai keluar sarang tatkala sendikala tiba, dan akan pulang kembali saat subuh mulai merayap. Mereka beterbangan tanpa rasa takut, di atas kepala Dadong Ririg yang sedang berkebun.
Orang-orang desa yang tidak sengaja melihat hal itu, merasa heran, oleh banyaknya bukal yang beterbangan disekitar gubuk Dadong Ririg. Mereka lalu menceritakan hal itu kepada rekan-rekan mereka.
Cerita tersebut kemudian menyebar cepat dari mulut ke mulut. Diceritakan berantai saat orang-orang bekerja di sawah atau pun berbelanja ke pasar. Tak lupa ditambah berbagai bumbu agar semakin dramatis.
Hingga lambat laun, mereka memakan sendiri bumbu-bumbu yang mereka tabur. Menjadikan cerita Dadong Ririg, yang awalnya hanya menanam pohon pisang dan dijadikan sarang oleh para bukal, sampai akhirnya berkembang menjadi rumor bahwa Dadong Ririg adalah Leak Bukal!
”Jangan dekat-dekat dengan Dadong Ririg, nanti kau dicelakai! Leak Bukal itu suka membunuh bocah rare seperti kamu.” Seorang ibu tampak berbisik pada anaknya tatkala melewati sebuah gubuk tua yang terletak terasing, di pinggir perbatasan desa.
”Bagaimana dia memakan bocah rare, Me ?” Tanya anak yang bernama Teguh itu.
”Sssttt…. Jangan banyak tanya. Pokoknya memang begitu ! Ayo cepat jalan, Meme takut berlama-lama di area sini.” Teguh tak bisa memberi alasan. Wanita itu kemudian lekas-lekas menarik tangan anaknya untuk segera pergi.
Gubuk tua itu tampak menyeramkan, dengan bukal-bukal yang bergelayut di sekitarnya. Dadong Ririg memang tinggal sebatang kara. Suaminya sudah lama berpulang karena sakit, dan saat itu mereka belum dikaruniai seorang anak pun.
”Sssttt…. Jangan banyak tanya. Pokoknya memang begitu ! Ayo cepat jalan, Meme takut berlama-lama di area sini.” Teguh tak bisa memberi alasan. Wanita itu kemudian lekas-lekas menarik tangan anaknya untuk segera pergi.
Dadong Ririg menatap tumpukan kayu bakar yang berserakan di halaman gubuk. Padahal baru beberapa jam yang lalu dia bersusah payah menumpuk kayu-kayu itu dengan rapi. Ada saja orang-orang usil yang selalu mengganggunya.
Kadang, gubuk tua itu dilempari potongan bata, hingga membuat dinding gubuk yang rapuh menjadi berlubang di beberapa sisi. Padahal ia sudah tidak kuat untuk sering-sering membetulkan gubuk. Usia terus merongrong raga renta itu.
Kadang pula orang-orang usil itu mencuri pisang maupun ubi jalar hasil panen. Lain waktu, buntilan berisi rempah yang dia jemur dengan menggantung di atas kusen, tiba-tiba sudah berhamburan.
Masih banyak lagi perlakuan tidak mengenakkan yang dia dapat, hanya karena menyandang predikat sebagai Dadong Leak Bukal. Dan sesungguhnya ia tak begitu paham, kenapa orang-orang menjauh dan sangat membencinya.
Ketakutan penduduk desa kian menjadi-jadi, tatkala ada anak-anak kecil yang nakal di desa itu dan sulit dinasehati, maka para orang tua akan menggunakan nama Dadong Ririg sebagai satu-satunya cara ampuh menakut-nakuti hati si anak.
”Jangan nakal! Nanti kamu dicari sama Dadong Ririg, diubah menjadi bukal dan tinggal di selongsong daun-daun pisang!” Begitu para orang tua mengancam anak-anak mereka. Hingga saat si anak tumbuh besar pun, kata-kata itu dianggapnya sebagai sebuah kebenaran.
Suatu hari, tampak warga mengerumuni salah seorang rumah penduduk. Wajah-wajah mereka tampak tegang. Seorang wanita yang habis melahirkan, dengan mata sembab sedang memeluk bayinya. Bayi itu diam saja, meski sang ibu terus mengguncang-guncang badan bayi.
Dukun beranak yang membantu proses persalinan bayi tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya meminta maaf dan berkata bahwa dirinya telah membantu persalinan sebisa mungkin.
Dia telah melakukan prosedur ritual yang diajarkan turun temurun oleh leluhurnya dengan baik. Salah satunya yaitu pemotongan tali pusar dengan menggunakan ngaad-semacam pisau yang terbuat dari batang bambu.
”Pasti ini ulah Dadong Ririg!” celetuk salah seorang warga. ”Padahal baru kemarin dia memakan tumbal. Bukankah cucu Pan Sejar juga meninggal setelah persalinan? Kalau terus-menerus begini, lama-lama generasi kita bisa habis!”
Seakan memantik api di tengah genangan minyak, warga tersulut. Amarah mulai membakar jiwa-jiwa mereka. Membabat habis logika pikiran. Meniadalah wiweka, akal sehat.
Kembali mereka menambah-nambahi cerita agar semakin seru dan hidup. Lalu bersama-sama mereka pun larut dalam alur cerita yang dibuat sendiri. Seakan hal itu benar adanya. Fakta mutlak tak terbantah.
”Leak suka dengan darah bayi, Dadong Ririg pasti telah menumbalkan bayi-bayi malang itu untuk santapan Buta Kala di malam Kajang Kliwon!” Seorang lain mulai menimpali.
”Bagaimana kalau kita datangi saja rumahnya ?! Kita bakar gubuk itu dan kita ikat Dadong di kuburan desa! Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya membunuh anak-cucu kita yang tak bersalah!” ujar Pan Mandi, kakek dari sang jabang bayi yang baru saja meninggal.
Penduduk mengangguk setuju. Tanpa basa-basi, mereka pun membunyikan kulkul bulus, sejenis kentongan yang hanya disuarakan jika terjadi hal-hal gawat.
Warga lain yang mendengar suara kulkul bulus bergegas keluar rumah, mengikuti rombongan penduduk desa yang diliputi emosi. Hingga sepanjang perjalanan, rombongan itu menjadi semakin banyak saja jumlahnya.
Sesampai di gubuk, suasana tampak sepi. Hanya ada sesajen dengan asap dupa yang masih membubungkan bara. Pertanda sesajen itu baru saja dihaturkan.
”Ini pasti segehan, ritual pengeleakan itu! Hari ini Kajeng Kliwon bertemu Purnama, hari keramat,” ucap Pan Mandi, yang diikuti oleh anggukan warga lain. ”Ayo, kita cari lagi nenek itu! Dalam kondisi hidup atau pun mati.” Warga kembali terprovokasi.
Warga pun menyusuri sawah ladang, hingga sungai untuk mencari Dadong Ririg. Namun tak kunjung jua bertemu tatap. Akhirnya mereka pulang dengan tangan hampa.
Malam itu mereka kembali berkumpul. Membawa arit, menyalakan obor, membunyikan kentungan. Warga masuk hutan berteriak-teriak gusar. Tiba-tiba Pan Sroja salah seorang warga, melihat bukal besar terbang rendah. Hampir saja menabrakkan diri ke wajahnya.
”Leak bukal-leak bukal!” Sontak warga berteriak, sambil mengejar bukal tersebut. ”Keparat, seberapa sakti nenek tua itu!” Pan Sroja membuang ludah. Dirinya merasa dipermainkan.
Mereka melanjutkan perjalanan semakin masuk ke tengah hutan. Tiba-tiba Pan Sejar melihat seekor celeng alas mengendap-endap di balik semak.
Seketika ia berteriak ”Bukal itu berubah menjadi celeng alas !” Maka mereka pun segera mengejar celeng hitam itu. Tetapi lagi-lagi tiada hasil. Celeng itu menghilang di tengah malam. Mereka melihat burung hantu, pun lagi-lagi mereka mengejarnya. Namun tak dapat.
Malam semakin larut. Mereka memutuskan untuk pulang. Sosok Dadong Ririg tak ditemukan juga. Orang-orang itu bersumpah serapah. Berbagai marga satwa keluar dari mulut-mulut mereka.
Paginya ibu-ibu ramai bergosip. Mereka bercerita apa yang terjadi kepada suami-suami mereka tadi malam. Tentang kesaktian Dadong Ririg yang bisa berubah wujud menjadi bukal, menjadi celeng, menjadi burung hantu. Cerita itu kembali ditambah-tambah dengan menggebu-gebu.
Kata salah seorang ibu, yang anaknya biasa melempari gubuk tua Dadong dengan potongan bata, mengaku sempat melihat buntilan tergantung di depan pintu masuk gubuk. ”Pastilah gantungan itu berisi mantra-mantra leak ilmu hitam !” Begitu ia berkata dengan yakin.
”Kasihan sekali cucunya Pan Sejar dan Pan Mandi, pasti sekarang roh bayi-bayi itu sedang terikat di suatu tempat. Diperbudak para roh jahat.”
Tiada seorang pun yang tau akan kebenarannya. Sosok Dadong itu hilang begitu saja, menjadi sebuah misteri.
Ada yang mengatakan ia moksah tanpa meninggalkan jasad, ada yang mengaku melihat sesosok lutung aneh, bergelayut sungsang menatap bulan purnama, yang diyakini sebagai penglekasan, jelmaan Dadong. Ada juga yang mengatakan Dadong itu kini menjadi yis-yis poh semacam hewan lunak yang sering tampak tatkala hujan.
Mereka kini mulai merasa berhak menghakimi atas benar salahnya seseorang. Menyumpah serapah Dadong yang kebenarannya entah bagaimana. Mereka mengutuk perilaku leak menjadi semacam kisah pembunuhan keji terhadap bayi yang diakibatkan oleh praktik ilmu hitam.
Mereka tetap percaya bayi-bayi yang meninggal, pastilah dimakan leak. Maka mendengar kata leak saja, sudah membuat bulu kuduk merinding.
Hingga dunia kedokteran berkembang, dengan berbagai kajian yang dilakukan terus-menerus dan berkesinambungan, diketahuilah bahwa tingginya angka kematian ibu dan bayi kala itu, disebabkan oleh adanya infeksi tetanus yang terkontaminasi dari alat-alat persalinan yang tidak steril.
Baca juga : Sihir Angsa
Ngaad yang digunakan dalam ritual pemotongan tali pusar bayi, dicurigai sebagai salah satu faktor utama masuknya infeksi sehingga sejak saat itu dilarang penggunaannya. Pemerintah pun kini mewajibkan ibu hamil melakukan vaksinasi tetanus sebanyak dua sampai tiga kali sebelum persalinan.
Cerita tentang leak memang masih ada hingga kini. Hidup bertahun-tahun sebagai bagian dari budaya masyarakat. Diceritakan turun-temurun dari generasi ke generasi. Bahkan sampai hingga ke seberang pulau.
Tuduhan-tuduhan tentang seseorang yang konon katanya bisa ngeleak pun, masih biasa disematkan pada nenek-nenek yang hidup menjanda seorang diri.
Dadong Ririg mungkin sekarang telah tiada, atau benarkah hidupnya abadi ? Sebagai bukal, sebagai celeng, sebagai burung hantu, atau sebagai rasa takut dalam diri sendiri, yang akan selalu hadir mengintai sudut pikiran gelapmu, yang tak diterangi pengetahuan.
***
Ni Wayan Wijayanti, lahir di kota seni Gianyar, Bali, pada 30 April. Menulis cerpen adalah hobinya sejak masih anak-anak. Saat ini aktif sebagai Online Sales and Marketing di salah satu penginapan yang berlokasi di wilayah Ubud-Bali.